Persepsi Sosial (Ableism) oleh Masyarakat terhadap Keberdayaan Lansia
Pada 2023, jagat media sosial Indonesia sempat diramaikan oleh informasi adanya kafe di daerah Jakarta Selatan yang mempekerjakan ibu-ibu lansia, biasa disebut Oma.
Keberadaan kafe tersebut disambut hangat oleh warga media sosial. Berangsur-angsur masyarakat menyempatkan hadir untuk menikmati suguhan menu kafe tersebut, serta sembari bertemu dengan “para Oma”.
Kafe tersebut juga memperkuat personanya dengan menyematkan kata “Oma” pada penamaan kafenya, yaitu Uma Oma. Penamaan tersebut semakin memperkental nuansa selayaknya kehangatan rumah dan kekeluargaan.
Hal tersebut pun dilansir pada laman resmi Instagram Uma Oma bahwa konsep bisnisnya memang mengutamakan kebermanfaatan bagi sekitar, pengutamaan kesan positif dan kehangatan.
Kehadiran Uma Oma yang disambut baik oleh masyarakat Indonesia khususnya para anak muda dilatarbelakangi oleh persepsi Uma Oma berhasil membuktikan bahwa pemberdayaan kepada kelompok lansia merupakan suatu hal yang sangat baik dan sudah patut dinormalisasi.
Anggapan bahwa lansia tidak berdaya dan sering kali dianggap “beban sosial maupun keluarga”, hingga tidak terhindarkan kejadian-kejadian tidak mengenakkan terhadap lansia kerap terjadi, juga tidak luput disorot masyarakat sebagai suatu permasalahan dan menjadikan konsep bisnis Uma Oma sebagai suatu resolusi yang menjawab permasalahan tersebut.
Tidak khayal, lansia sering kali akhirnya juga dipandang sama rata dengan kelompok disabilitas oleh masyarakat. Persepsi atau sandangan “disabilitas” itu muncul tentunya diiringi persepsi bahwa individu-individu dengan usia senja kemudian dianggap tidak lagi berdaya.
WHO sebagai Organisasi Kesehatan Dunia pada 2017 turut menegaskan bahwa hampir setengah lansia di atas 60 tahun “mengalami kondisi disabilitas”.
Pada 2020, Yeni Rosa Damayanti dilansir dari Tempo.co mengungkapkan bahwa 46% Manusia Lanjut Usia (Manula) di dunia mengalami kondisi disabilitas. Adapun keberadaan Manula pada pernyataan saat itu berjumlah 12% di dunia.
Selain keterbatasan fisik dikarenakan oleh penuaan, kondisi yang paling menyedihkan dan menjadi faktorial lansia kemudian “mengalami kondisi disabilitas” yaitu persepsi sosial oleh masyarakat bahwa lansia sebagai aktor sosial yang sudah “tidak berdaya”.
Oleh karena itu, keberadaan bisnis-bisnis berkonsep seperti Oma Uma sudah seyogyanya mendapatkan kesan baik dari masyarakat, selama partisipasi lansia pada proses atau aktivitas bisnisnya tidak berupa eksploitasi.
Rata-Rata Penghasilan Pekerja Lansia Per Bulan
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa jumlah lansia sebagai pekerja di Indonesia berangsur-angsur meningkat. Persentase tersebut merupakan perbandingan antara tahun 2022 dengan tahun 2023.
BPS menegaskan bahwa pada 2023 terdapat peningkatan 1,38% mengenai jumlah lansia sebagai pekerja, yaitu lansia bekerja pada 2023 mencapai 53,93% sedangkan pada 2022 mencapai 52,55%. Sayangnya, rata-rata penghasilan mereka terbilang rendah.
Berdasarkan data BPS tersebut, proyeksi rata-rata pendapatan pekerja lansia memang naik sebanyak 5,5% dibandingkan rata-rata penghasilan tahun sebelumnya. Pada 2023, pekerja lansia menduduki rata-rata penghasilan sebesar 1,71 juta sedangkan pada 2022 mencapai 1,62 juta.
Peningkatan tersebut memang terjadi tetapi faktanya rata-rata jumlah penghasilan tersebut masih dapat dianggap jauh dari kata setara, dikarenakan rata-rata pekerja lansia tersebut sangat berada jauh di bawah rata-rata buruh nasional sebanyak 3,18 juta per bulan.
Pengelompokan data tersebut diperoleh dari para pekerja lansia di Indonesia dengan landasan umur sesuai berdasarkan usia penduduk lansia nasional, kemudian dengan karakteristik telah bekerja dan tidak bekerja dalam seminggu terakhir mencakup sebagai upah, gaji, dan pendapatan lainnya dalam sebulan.
Perbedaan Rata-Rata Penghasilan Pekerja Lansia Berdasarkan Jenis Kelamin
BPS juga mengungkapkan bahwa kompleksitas yang dialami lansia pekerja tidak sekadar persoalan persepsi sosial dan rata-rata gaji seluruh pekerja lansia, tetapi juga adanya perbedaan rata-rata gaji antara lansia pekerja laki-laki dengan lansia pekerja perempuan.
Berdasarkan data tersebut memang menunjukkan bahwa lansia pekerja dengan jenis kelamin laki-laki dapat memperoleh penghasilan per bulan rata-rata 2,045 juta dibandingkan perempuan, hanya mencapat taraf sebanyak 1,18 juta.
BPS juga menegaskan bahwa perbedaan rata-rata penghasilan terdapat pada jenis pekerjaan yang dilakukan oleh lansia pekerja. Profesi di bidang jasa lebih besar dibandingkan mereka yang bekerja pada sektor manufaktur dan pertanian.
Ketidaksetaraan ternyata harus dialami lansia tidak hanya dengan lingkup sosial masyarakatnya, tetapi juga terjadi pada satu lingkup kelompoknya, termasuk gender dan juga jenis pekerjaan.
Pemberdayaan terhadap lansia tentu dapat direvitalisasi penuh selain oleh sektor non-formal seperti para pembisnis maupun lingkup lainnya, alih-alih ini merupakan tanggung jawab regulator dalam sistem pemerintahan dan kenegaraan Indonesia untuk menciptakan lebih banyak aktivasi pemberdayaan lansia.
Penulis: Andini Rizka Marietha
Editor: Iip M Aditiya