Pemerintah Indonesia pada tahun 2024 memberi kebijakan baru melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 yang memberikan kesempatan penghapusan utang macet bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk petani dan nelayan kecil.
Kebijakan ini, yang meliputi penghapusan piutang macet di bank milik negara, bertujuan untuk meringankan beban jutaan petani dan nelayan yang selama ini kesulitan mengakses pembiayaan perbankan. Di balik sambutan positif ini, muncul pula beberapa pertanyaan mengenai efektivitas sasaran dan potensi dampak kebijakan tersebut di masa mendatang.
Perkembangan Nilai Tukar Petani 2024
Sepanjang tahun 2024, Nilai Tukar Petani (NTP) mengalami fluktuasi yang cukup signifikan. Pada awal tahun, Januari 2024, NTP tercatat pada angka 118,27%. Meskipun NTP sempat mengalami kenaikan di bulan-bulan berikutnya hingga mencapai puncaknya di Oktober dengan nilai 120,70%, terjadi penurunan pada beberapa bulan, yang menunjukkan adanya tekanan pada kesejahteraan petani.
Selain itu, indeks harga yang diterima oleh petani menunjukkan tren kenaikan, dari 140,89% di Januari menjadi 145,56% di Oktober, yang berarti petani mendapatkan harga lebih tinggi untuk produk mereka.
Namun, kenaikan harga yang diterima ini masih dibarengi dengan kenaikan indeks harga yang dibayar oleh petani, yang juga meningkat dari 119,12% di Januari menjadi 120,59% di Oktober. Artinya, meskipun harga produk naik, biaya yang harus dikeluarkan petani untuk kebutuhan produksi dan konsumsi juga meningkat, yang dapat mengurangi keuntungan yang mereka peroleh.
Berikut rincian Nilai Tukar Petani beserta indeks harga yang diterima dan indeks harga yang dibayar di 2024.
Tabel Nilai Tukar Petani 2024 (dalam persentase) |
|||
Bulan | Nilai Tukar Petani | Indeks Harga yang Diterima Petani | Indeks Harga yang Dibayar Petani |
Jan | 118,27 | 140,89 | 119,12 |
Feb | 120,97 | 144,96 | 119,83 |
Mar | 119,39 | 144,28 | 120,86 |
Apr | 116,79 | 141,78 | 121,40 |
Mei | 116,71 | 141,55 | 121,28 |
Jun | 118,77 | 144,17 | 121,38 |
Jul | 119,61 | 144,61 | 120,91 |
Agu | 119,85 | 144,73 | 120,76 |
Sep | 120,30 | 145,01 | 120,54 |
Okt | 120,70 | 145,56 | 120,59 |
Nilai Tukar Petani (NTP) adalah salah satu indikator penting yang mencerminkan kesejahteraan petani di Indonesia. Data dari tahun 2024 menunjukkan adanya fluktuasi NTP pada sektor pertanian. Meski secara nasional NTP sempat mengalami kenaikan pada bulan-bulan tertentu, ada ketimpangan yang dialami oleh petani di sektor-sektor khusus yang sering kali tertekan oleh harga komoditas yang tidak stabil dan tingginya biaya produksi.
Petani sering kali harus berutang sebagai modal tanam awal, dengan harapan dapat melunasi utang setelah masa panen. Namun, kondisi pasar yang tidak selalu menguntungkan membuat banyak dari mereka terjebak dalam lingkaran utang. Menurut Ketua Serikat Petani Indonesia Henry Saragih, masalah kredit macet bukan sepenuhnya kesalahan petani.
"Maka, kalau memang kredit macet ini yang akan diputihkan, kami mendukung," ucap dia seperti yang dikutip dari Tempo.
Tabel perkembangan NTP 2024 menunjukkan bagaimana indeks harga yang diterima dan yang dibayarkan oleh petani berfluktuasi sepanjang tahun. Kenaikan harga input pertanian seperti pupuk, benih, dan obat-obatan telah mempersempit margin keuntungan petani, membuat mereka semakin bergantung pada pinjaman untuk melanjutkan musim tanam berikutnya.
Baca Juga: Analisis Perubahan Nilai Tukar Petani (NTP) Subsektor Terbaru
Perkembangan Nilai Tukar Nelayan 2024
Seperti halnya petani, nelayan kecil di Indonesia juga menghadapi tantangan ekonomi yang berat. Nilai Tukar Nelayan (NTN) mengalami penurunan dalam enam bulan pertama 2024, mencerminkan beban hidup yang semakin berat bagi nelayan kecil.
Data menunjukkan, NTN pada tahun 2024 menunjukkan tren yang tidak stabil, mencerminkan kondisi ekonomi yang menantang bagi nelayan kecil. NTN dimulai pada angka 101,74% di Januari 2024 dan sempat turun hingga 101,27% di Juni, sebelum akhirnya kembali naik sedikit ke 102,03% di Oktober. Ini menunjukkan bahwa kesejahteraan nelayan masih berada dalam tekanan yang cukup tinggi.
Berdasarkan data indeks harga yang diterima oleh nelayan, terjadi peningkatan dari 119,64% di Januari menjadi 121,07% di Oktober. Namun, indeks harga yang dibayar nelayan yang juga naik dari 117,59% di Januari menjadi 118,66% di Oktober. Kenaikan ini menunjukkan bahwa meskipun pendapatan nelayan sedikit meningkat, pengeluaran mereka juga bertambah, sehingga keuntungan yang mereka peroleh tidak mengalami peningkatan signifikan.
Berikut rincian Nilai Tukar Nelayan beserta indeks harga yang diterima dan indeks harga yang dibayar di 2024.
Tabel Nilai Tukar Nelayan 2024 (dalam persentase) |
|||
Bulan | Nilai Tukar Nelayan | Indeks Harga yang Diterima Nelayan | Indeks Harga yang Dibayar Nelayan |
Jan | 101,74 | 119,64 | 117,59 |
Feb | 101,59 | 119,81 | 117,94 |
Mar | 102,10 | 121,21 | 118,72 |
Apr | 102,22 | 121,67 | 119,03 |
Mei | 101,37 | 120,68 | 119,04 |
Jun | 101,27 | 120,74 | 119,23 |
Jul | 101,34 | 120,53 | 118,94 |
Agu | 101,43 | 120,66 | 118,96 |
Sep | 101,98 | 121,13 | 118,77 |
Okt | 102,03 | 121,07 | 118,66 |
”Pengeluaran tidak sebanding dengan pemasukan. Kebutuhan biaya nelayan semakin tinggi, sedangkan pendapatan berkurang karena harga jual ikan turun. Ini membuat beban nelayan bertambah,” ujar Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia, Budi Laksana saat dihubungi oleh Kompas, Senin (4/3/2024).
Akibatnya, banyak nelayan terpaksa membeli bahan bakar dengan harga eceran yang lebih mahal. Selain itu, hasil tangkapan mereka sering kali terjual dengan harga yang lebih rendah di pasar, memperparah situasi keuangan mereka.
Penyediaan infrastruktur pendukung seperti gudang pendingin (cold storage) dan kendaraan berpendingin juga menjadi kebutuhan mendesak bagi nelayan. Tanpa fasilitas ini, hasil tangkapan nelayan sulit untuk disimpan atau dijual dalam kondisi segar, sehingga menurunkan nilai jual di pasar lokal maupun ekspor. Program pemutihan utang diharapkan dapat memberikan sedikit ruang bagi nelayan untuk bangkit dari tekanan ekonomi ini.
Refleksi Sejarah Kredit Macet: Pelajaran dari Krisis Moneter
Sejarah kredit macet di sektor pertanian dan perikanan di Indonesia memiliki akar yang panjang. Pada masa lalu, terutama pada era pemerintahan Soeharto, pemerintah memberikan akses permodalan melalui koperasi dan bank kepada petani dengan harapan dapat meningkatkan produktivitas pertanian.
Namun, lemahnya pengawasan dan ketidaktepatan dalam sasaran penyaluran kredit menyebabkan tingkat kemacetan yang tinggi. Sebuah laporan dari majalah Tempo pada tahun 2001 menunjukkan bahwa sekitar 68,56% dari kredit usaha tani pada periode 1995-2000 macet, dengan jumlah tunggakan mencapai Rp 7,2 triliun.
Henry Saragih menyoroti bahwa kegagalan ini bukan hanya tanggung jawab petani, tetapi juga terkait dengan kebijakan permodalan yang tidak disertai perlindungan harga. Misalnya, ketika harga komoditas pertanian turun drastis, petani yang telah berutang untuk biaya produksi mengalami kerugian besar dan tidak mampu melunasi utang mereka.
Baca Juga: 1 Juta UMKM Dapat Penghapusan Utang, Gimana Kriterianya?
Penulis: Daffa Shiddiq Al-Fajri
Editor: Editor