Masalah ketimpangan ketersediaan tenaga medis di indonesia masih cukup mencolok. Tenaga medis yang cenderung tersentral di wilayah tertentu sangat membatasi akses kesehatan bagi penduduk Indonesia yang tidak hanya berpusat di satu wilayah saja. Hal ini menjadi persoalan tersendiri, di mana hanya penduduk di wilayah tertentu yang bisa memperoleh akses layanan kesehatan yang memadai dengan tenaga medis yang lengkap, sedangkan di wilayah lain, penduduknya harus menempuh jarak yang tidak sedikit untuk bisa memperoleh akses layanan kesehatan terdekat.
Tenaga medis disebut-sebut sulit dijumpai terutama di daerah 3T (terpencil, terluar, dan tertinggal). Kebanyakan tenaga medis terkonsentrasi di wilayah perkotaan, mengakibatkan ketidakseimbangan distribusi tenaga medis yang masih terasa. Lantas, apa fenomena ketimpangan ini benar-benar terjadi?
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa jumlah tenaga medis pada 2024 mencapai 207.174 orang. BPS mendefinisikan tenaga medis sebagai dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui pemerintah Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan).
Sejalan dengan isu yang ada di lapangan, kebanyakan tenaga medis berada di provinsi di wilayah Jawa, mencakup Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, hingga Jawa Tengah. Provinsi lain di luar Jawa mencatatkan jumlah tenaga medis yang lebih rendah.
Seluruh provinsi dari Jawa berhasil masuk dalam jajaran provinsi dengan tenaga medis terbanyak. Jawa Barat berada di posisi pertama dengan 31.627 tenaga medis, disusul Jawa Timur dengan 25.238 tenaga medis, DKI Jakarta dengan 25.127 tenaga medis, Jawa Tengah dengan 19.944 tenaga medis, kemudian di urutan keenam ada Banten dengan 10.949 orang dan di posisi kesepuluh ada DI Yogyakarta dengan 5.468 orang.
Di luar Jawa, Sumatra Utara tercatat memiliki 11.105 tenaga medis, Sulawesi Selatan dengan 7.406 orang, Bali dengan 7.344, dan Riau dengan 5.979 orang.
Hal serupa juga ditemukan pada sebaran psikologi klinis, di mana paling banyak berada di DKI Jakarta (205 orang), kemudian Jawa Tengah (203 orang). Untuk tenaga keperawatan, terbanyak berada di Jawa Barat dengan total 74.368, berbanding jauh dengan Papua Pegunungan yang hanya memiliki 1.590 orang saja.
Solusinya?
Presiden RI Prabowo Subianto sempat menyinggung kurangnya jumlah tenaga medis di Indonesia, terutama di daerah 2T. Ketika itu, Prabowo menyebutkan pihaknya berencana mendirikan 300 fakultas kedokteran baru dan mengirim 10.000 mahasiswa kedokteran ke luar negeri untuk memenuhi kebutuhan dokter. Meski begitu, solusi ini baru menjawab permasalahan kekurangan dokter, bukannya isu ketimpangan distribusi tenaga medis yang juga perlu perhatian khusus dalam penanganannya.
Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, jumlah tenaga medis di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, meski belum bisa memenuhi rasio dokter per penduduk yang dikeluarkan World Health Organization (WHO) yang sebesar 1:1.000. Artinya, untuk setiap 1.000 penduduk, dibutuhkan seorang dokter. Per 2023 lalu, rasio Indonesia masih di angka 0,47 dokter per 1.000 penduduk.
Studi pada tahun 2024 turut menegaskan ketimpangan distribusi jumlah tenaga medis di Indonesia, yang menurunya sudah terjadi sejak 1992 silam. Dokter masih terkonsentrasi di Jawa, sedangkan wilayah timur seperti Papua, Maluku, hingga Sulawesi masih kekurangan jumlah dokter. Kepadatan penduduk, jumlah fasilitas kesehatan, dan rumah sakit di setiap wilayah turut mengakibatkan distribusi tenaga medis yang kurang merata ini.
Menambah jumlah dokter semata takkan menyelesaikan masalah ketimpangan. Jepang dan Australia bisa jadi contoh, di mana kedua negara itu mempunyai program untuk menambah jumlah dokter dengan membangun fakultas kedokteran baru. Namun hingga sekarang, isu ketimpangan masih terus dirasakan di wilayah 3T. Kedua negara tersebut akhirnya menempatkan langsung lulusan dokter di wilayah tertentu yang kekurangan.
Dalam hal ini, pemerintah perlu fokus mengembangan pendidikan di wilayah pedesaan, mendorong lebih banyak tenaga medis yang berasal dari wilayah 3T.
Mengenai pemberian beasiswa ke luar negeri, pemerintah Indonesia harus mengawasi program ini dengan ketat, mewajibkan para lulusan untuk kembali ke dalam negeri dan mengabdi terutama di wilayah terpencil. Thailand salah satu negara yang menerapkan program ini. Pemerintahnya mengirimkan banyak pelajar, terutama dari desa, ke luar negeri dengan beasiswa, dengan syarat mereka wajib kembali bekerja di daerah asal sehabis masa studi. Hasilnya, jumlah dokter di daerah terpencil naik 4 kali lipat dalam 10 tahun terakhir, dari 300 dokter pada 1976 menjadi 1.162 pada 1985. Indonesia bisa belajar dari Thailand dalam menjalankan program beasiswa ini.
Pembangunan fasilitas kesehatan baru di daerah 3T juga dapat mendorong meningkatnya jumlah tenaga medis di wilayah tersebut. Dengan dukungan peralatan yang memadai, akses terhadap layanan kesehatan bisa membaik, dan setiap penduduk di mana pun mereka tinggal bisa meraih kesehatan terbaiknya. Diharapkan, distribusi tenaga medis di Indonesia bisa lebih merata, memberikan kesempatan yang sama bagi setiap lapisan penduduk untuk menikmati akses kesehatan terbaik.
Baca Juga: Bakal Penuhi Standar WHO, Jumlah Dokter di Indonesia Masih Tidak Merata
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor