Sunat pada laki-laki adalah salah satu prosedur bedah paling umum di dunia. Prosedur bedah ini diperkirakan juga menjadi salah satu yang tertua, kemungkinan mendahului sejarah manusia yang tercatat.
Biasanya, pertimbangan agama dan budaya adalah alasan utama di balik praktik sunat, akan tetapi, semakin banyak penelitian kini membuktikan bahwa sunat pada laki-laki dapat memberikan manfaat medis dan kesehatan masyarakat yang signifikan.
Manfaat kesehatan, medis, seksual, dan kosmetik dapat menjelaskan mengapa sunat laki-laki adalah bagian mendasar yang melekat pada beragam budaya manusia secara global, terutama di lingkungan kering yang panas.
Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2007 memperkirakan bahwa sekitar 30 persen laki-laki di dunia berusia 15 tahun atau lebih telah disunat. Pada tahun 2011, perkiraan oleh peneliti independen menemukan prevalensi sunat global adalah 37 hingga 40 persen.
Survei paling akhir dilakukan pada tahun 2016 oleh Population Health Metrics memuat perkiraan prevalensi sunat laki-laki di setiap negara di dunia. Secara keseluruhan, temuan dari survei ini menunjukkan bahwa prevalensi sunat laki-laki secara global adalah sekitar 37,7 persen, meskipun persentase sebenarnya bisa sedikit lebih tinggi atau lebih rendah dari hasil survei ini.
WHO merekomendasikan sunat untuk mencegah penyebaran HIV, terutama di negara atau daerah dengan tingkat kasus HIV yang tinggi. Selain itu sunat juga dapat mengobati phimosis, mencegah infeksi saluran kemih, dan penyakit kelamin lainnya.
Tercatat dalam survei di atas bahwa beberapa negara di Asia Tenggara tercatat memiliki prevalensi sunat laki-laki yang cukup tinggi. Beberapa negara tersebut di antaranya adalah Indonesia dengan persentase terbesar yakni 92,5 persen.
Posisi kedua diraih oleh Filipina dengan persentase 91,7 persen. Selanjutnya di posisi ketiga diikuti oleh Malaysia dengan persentase 61,4 persen, sedangkan Brunei Darussalam menempati posisi keempat dengan persentase 51,9 persen.
Adapula negara-negara dengan persentase sunat laki-laki tergolong rendah di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara tersebut adalah Thailand dengan persentase 23,4 persen, Singapura dengan persentase 14,9 persen, Timor Leste dengan persentase 6,4 persen, dan Kamboja serta Myanmar dengan persentase yang sama yakni 3,5 persen. Lalu posisi paling bawah adalah Vietnam dan Laos yang masing-masing memiliki persentase 0,2 persen dan 0,1 persen.
Penulis: Diva Angelia
Editor: Iip M Aditiya