Penetapan tarif cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) diperkirakan akan mulai berlaku di tahun ini. Isu yang sudah muncul beberapa waktu ke belakang ini diperkuat Kementerian Keuangan dalam siaran APBN KiTa di saluran Youtube resmi Kemenkeu pada 22 Februari lalu.
“Mengenai cukai MBDK, jadi dapat kami sampaikan memang Menkes sangat men-support untuk implementasi MBDK pada 2024,” jelas Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, Askolani.
Dalam siaran yang melaporkan APBN edisi Februari 2024 tersebut, Kemenkeu juga sudah berkomunikasi dengan berbagai pihak untuk mempersiapkan regulasi dan review kebijakan baru, sebelum menetapkan kebijakan tersebut. Persiapan ini termasuk diskusi dengan Komisi XI DPR RI.
Mengenakan tarif cukai pada minuman kemasan berpemanis telah menjadi rekomendasi WHO dan UNICEF. Kebijakan ini bermaksud untuk mendukung pergeseran konsumsi masyarakat ke air minum yang sehat, mengurangi konsumsi gula masyarakat, mengedukasi bahwa minuman kemasan berpemanis bukan pola konsumsi yang sehat, meningkatkan harga eceran pembelian, dan meningkatkan pendapatan pemerintah untuk investasi kesehatan.
Pada laporan USDA yang sama, beberapa negara dengan konsumsi gula tertinggi juga memproduksi gula dalam jumlah banyak. Posisi pertama ditempati Brazil, disusul India, Uni Eropa, China, Thailand, dan Amerika Serikat. Sementara itu, Indonesia menempati peringkat ke-13 sebagai produsen gula tertinggi secara global.
Meskipun tidak signifikan, konsumsi kategori minuman sari buah kemasan, minuman kesehatan, dan minuman berenergi mengalami penurunan angka. Di samping itu, konsumsi kategori air teh kemasan dan minuman bersoda dengan CO2 justru naik 1%.
Nilai yang stagnan tidak menurunkan esensi perlunya mengurangi konsumsi gula masyarakat, mengingat Indonesia mengalami kenaikan beban penyakit tidak menular seperti diabetes, stroke, dan penyakit kardiovaskular.
Dalam catatan Cukai untuk Minuman Berpemanis, faktor penyakit-penyakit tersebut diantaranya karena kelebihan berat badan, didorong tingginya konsumsi makanan atau minuman mengandung gula, garam, dan lemak tak sehat.
Penerapan cukai untuk minuman berpemanis ini terbukti berdampak di beberapa negara. Di Barbados, Inggris, Arab Saudi, atau Thailand, cukai 10% yang diterapkan telah menurunkan 8-10% pembelian dan konsumsi minuman berpemanis.
Di Thailand, penerapan cukai juga berhasil menurunkan prevalensi kelebihan berat badan sebanyak 1-3% dan prevalensi obesitas sebanyak 1-4%. Kebijakan ini juga mengurangi kasus penyakit jantung, stroke, diabetes tipe-2, dan kematian dini secara signifikan.
Di beberapa negara seperti Hungaria, Tonga, dan Amerika Serikat bahkan, kebijakan ini mampu meningkatkan pendapatan pemerintah secara substansial. Pendapatan ini pada akhirnya dapat diinvestasikan untuk aspek kesehatan dan sosial masyarakatnya.
Meskipun demikian, pengaplikasian tarif cukai ini perlu mempertimbangkan tujuan, implikasi internasional, dan mampu memberikan alternatif konsumsi yang lain.
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Iip M Aditiya