Perdagangan karbon (carbon trading) merupakan sistem pembelian dan penjualan kredit yang memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk mengeluarkan karbon dioksida maupun gas rumah kaca lainnya.
Pemerintah telah mengeluarkan aturan mengenai pasar karbon sebagai wujud komitmen Indonesia terhadap Nationally Determined Contributions (NDC) terkait isu perubahan iklim. Regulasi tersbeut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021.
Mengutip laman Otoritas Jasa Keuangan (OJK), adanya regulasi tersebut memungkinkan Indonesia untuk menerima pendanaan yang lebih luas terkait pengendalian perubahan iklim. Skema regulasi tersebut dinilai akan efektif melalui komando dan kendali serta pendekatan berbasis pasar (market-based instruments/MBI).
Lebih jelasnya, instrumen perdagangan itu terdiri dari cap and trade serta offsetting mechanism. Di sisi lain, instrumen non-perdagangan mencakup pembayaran berbasis kinerja (result-based payment/RBP) dan pungutan atas karbon.
“Pemerintah paham bahwa untuk mencapai target NDC itu perlu inovasi-inovasi instrumen kebijakan. Penerapan Perpres ini merupakan tonggak penting dalam menentukan arah kebijakan Indonesia menuju target NDC 2030 dan NZE 2060,” jelas Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu.
Tren volume emisi karbon di Indonesia
Penggunaan energi memiliki efek sampingan berupa emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer. Gas-gas tersebut di antaranya adalah gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O).
Mengutip National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), gas CO2 pada tahun 2022 di atmosfer kini 50% lebih banyak dari tingkat pra-industri. Gas ini tercatat mengalami kenaikan lebih dari 2 ppm selama sebelas tahun berturut-turut.
"Riset pengamatan yang dikumpulkan oleh para ilmuwan NOAA pada tahun 2022 menunjukkan bahwa emisi GRK terus meningkat dengan kecepatan yang mengkhawatirkan dan akan bertahan di atmosfer selama ribuan tahun," kata Rick Spinrad selaku Administrator NOAA.
Sehubungan dengan hal itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melalui laporannya mencatat penggunaan energi dan emisi CO2 di Indonesia sepanjang tahun 2017-2021. BPS mengatakan, subsektor pengadaan listrik dan gas menjadi lapangan usaha penyumbang emisi CO2 terbesar di tanah air pada 2017-2021.
Berdasarkan tren, volume emisi CO2 lapangan usaha terlihat fluktuatif. Pada tahun 2017, lapangan usaha menyumbang emisi CO2 sebesar 456,9 juta ton. Kemudian, angkanya naik cukup tajam setahun setelahnya mencapai 548,3 juta ton.
Selanjutnya, volume emisinya masih terus meningkat di tahun 2019 sebesar 593,7 juta ton. Namun, emisi Co2 dari seluruh sektor usaha menurun pada tahun 2020 sejalan dengan pembatasan mobilitas karena penyebaran virus Covid-19, yaitu sebesar 535,5 juta ton. Lalu, emisinya mengalami sedikit peningkatan di tahun 2021 menjadi 536,8 juta ton.
BPS menyebut, besarnya volume emisi CO2 pada sektor lapangan usaha di Indonesia disebabkan oleh tingginya kebutuhan energi untuk keperluan transformasi energi. Sehingga, emisi CO2 yang dihasilkan pun lebih besar dibanding sektor lainnya.
Persiapan mekanisme pasar karbon RI
Perdagangan karbon di Indonesia ditargetkan bakal dimulai pada September 2023. Adapun, mekanisme pelaksanaannya terkait tata kelola perdagangan karbon berada di dalam bursa karbon yang diawasi oleh OJK. Sementara, registrasi akan dilakukan melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Sebelum masuk ke bursa karbon, diregistrasi dulu oleh KLHK. Setelah itu baru bisa melakukan perdagangan di bursa karbon dan melakukan trading, seperti trading saham,” jelas Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadahlia dikutip dari Kompas.com.
Lebih lanjut, pemerintah RI telah menyepakati bahwa harga karbon di Indonesia tidak boleh dijual ke pasar karbon lain di luar negeri. Bahlil mengatakan, larangan tersebut muncul karena pemerintah tidak ingin potensi penghimpunan karbon di Indonesia justru dikapitalisasi oleh negara lain.
“Negara tetangga yang tidak memiliki penghasil karbon tidak punya tempat CO2, tapi mereka membuka bursa karbon itu,” ujarnya.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan bahwa Indonesia selalu memenuhi target penurunan karbon selama periode tahun 2019-2021. Tercatat, Indonesia berhasil mengurangi CO2 ekuivalen (CO2e) sebanyak 54,8 juta ton pada 2019. Ini melebihi target yang telah ditetapkan sebelumnya, yakni 51 juta ton.
Di tahun 2020, CO2e tercatat turun sebesar 64,4 juta ton dari target sebesar 58 juta ton. Kemudian, Indonesia kembali menurunkan CO2e sebesar 69,5 juta ton dari target sebesar 67 juta ton pada 2021. Adapun, penggunaan energi baru terbarukan (EBT) rupanya berkontribusi besar dalam mengurangi emisi karbon di Indonesia.
Penulis: Nada Naurah
Editor: Editor