Bekerja merupakan salah satu bagian esensial dari kehidupan banyak orang. Dahulu, tujuan bekerja mungkin hanyalah untuk memenuhi kebutuhan dasar. Namun seiring berjalannya waktu, aspek kesehatan mental pun mulai mendapat perhatian khusus dalam dunia pekerjaan.
Tekanan dan beban yang seseorang dapatkan di dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari dapat membuat seseorang mengalami masalah-masalah mental seperti stres, kecemasan, hingga depresi. Penyebab munculnya masalah mental pun datang dari berbagai faktor, salah satunya ketidakmampuan seseorang untuk mengelola diri dalam dunia pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Seseorang dengan pekerjaan menghadapi tantangan dalam menemukan keseimbangan antara beban dan tanggung jawabnya sebagai pekerja dan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Work-life balance secara esensial berfokus pada bagaimana individu berhasil mencapai keadaan mental yang sejahtera dalam upaya menyeimbangkan kehidupan dan pekerjaan.
Apa saja aspek-aspek dalam work-life balance?
Work-life balance adalah tentang pengelolaan, termasuk pengelolaan diri, pengelolaan waktu, pengelolaan stres, pengelolaan perubahan, serta pengelolaan teknologi. Selain itu, work-life balance juga mengenai bagaimana individu mengelola waktu luang yang dimiliki.
Kemampuan untuk mengelola dengan baik keenam aspek yang telah disebutkan di atas dapat membantu seseorang untuk mencapai kesejahteraan mental di tengah gempuran tugas-tugas pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Meski work-life balance menekankan kemampuan pengelolaan yang dimiliki oleh seorang individu, gagalnya individu dalam mencapai kesejahteraan mental saat berusaha menyeimbangkan kehidupan dan pekerjaan juga dipengaruhi oleh faktor luar.
Faktor luar tersebut yakni jam kerja yang dihabiskan dalam seminggu. Jam kerja yang berlebihan dapat berpotensi mengancam kesehatan seorang pekerja, mengancam keamanan, hingga menyebabkan stres dan burnout. Inilah yang kemudian menjadi aspek yang diukur dalam menilai tinggi-rendahnya work-life balance seseorang.
Negara-negara di OECD dengan work-life balance terburuk
Negara-negara yang tergabung dalam The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) berjumlah 38 negara anggota. Didirikan pada tahun 1961, OECD memiliki misi utama yakni menstimulasi perkembangan ekonomi dan perdagangan dunia.
Sebagian besar negara anggota OECD merupakan negara-negara maju di berbagai benua yang memiliki indeks perkembangan manusia yang tinggi.
Meski demikian, beberapa negara OECD dinilai memiliki rerata work-life balance yang buruk. Penilaian ini didasarkan pada dua indikator, antara lain waktu yang ditujukan untuk bersantai dan merawat diri serta lamanya durasi bekerja karyawan. Negara-negara manakah dengan work-life balance terburuk?
Dari ke-7 negara, tiga besar dengan proporsi karyawan yang memiliki work-life balance terburuk sama-sama berasal dari Benua Amerika. Ketiga negara tersebut antara lain Meksiko, Kolombia, dan Kosta Rika. Sementara itu, terdapat tiga negara dari Benua Asia (Turkiye, Jepang, dan Korea Selatan) dan satu dari Benua Afrika, yakni Afrika Selatan.
Meksiko berada di peringkat pertama sebagai negara dengan kualitas work-life balance terburuk di antara negara-negara OECD lainnya. Negara ini memiliki proporsi karyawan yang bekerja sangat lama paling tinggi per minggunya. Sekitar 27 persen dari karyawan di Meksiko bekerja 50 jam atau lebih dalam satu minggu.
Menyoroti work-life balance di Jepang
Sebuah penelitian oleh Masatoshi Isikawa pada tahun 2022 mengungkap korelasi antara kelebihan bekerja, burnout, dan keinginan bunuh diri pada 4.306 dokter residen yang bekerja di 416 rumah sakit di Jepang.
Dari seluruh responden, 7,8 persen di antaranya dilaporkan menghabiskan 100 jam atau lebih dalam satu minggu di rumah sakit. Sebanyak 5,6 persen responden yang diamati memiliki keinginan bunuh diri. Persentase ini cenderung meningkat seiring meningkatnya pula durasi yang dihabiskan di rumah sakit. Selain itu, tendensi mengalami depresi muncul di 24,1 persen responden.
Di Jepang, terdapat istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan fenomena kematian yang diakibatkan oleh kelebihan bekerja yaitu karoshi. Fenomena karoshi ini menjadi isu sosial utama di Jepang. Penyebab kematian pada karoshi secara garis besar yaitu penyakit kardiovaskular dan gangguan mental akibat bekerja secara berlebihan.
Bagaimanapun juga, menciptakan lingkungan kerja yang sehat tidak hanya tanggung jawab individu maupun perusahaan semata. Namun, pemerintah juga dapat berkontribusi lewat regulasi yang adil dan manusiawi bagi setiap pekerja.
Penulis: Diva Angelia
Editor: Iip M Aditiya