Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia tengah menghadapi krisis eksistensial yang mengancam masa depan pendidikan tinggi di tanah air. Kampus-kampus yang dulunya ramai dengan mahasiswa kini perlahan kehilangan pamornya, tergerus oleh berbagai faktor, mulai dari peningkatan daya tampung Perguruan Tinggi Negeri (PTN) hingga tantangan kualitas akademik.
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan dinamika mencolok dalam perkembangan jumlah mahasiswa di Indonesia. Meskipun jumlah PTS menunjukkan tren penurunan dari 3.044 pada tahun 2020 menjadi 2.812 pada tahun 2024, di sisi lain, data jumlah mahasiswa justru memperlihatkan bahwa PTN berhasil meningkatkan daya tariknya secara signifikan. Pada tahun 2020, jumlah mahasiswa PTN tercatat 2.994.015, dan angka ini terus meroket hingga mencapai 3.88 juta pada tahun 2024.
Sementara itu, PTS, meskipun pada awalnya memiliki jumlah mahasiswa lebih tinggi (4.37 juta di tahun 2020), mengalami fluktuasi dan akhirnya sedikit menurun menjadi 4.58 juta pada tahun 2024, setelah sempat mencapai puncaknya di 4.67 juta pada tahun 2023. Lonjakan daya tampung PTN secara agresif, bahkan hingga merekrut mahasiswa baru dua hingga tiga kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya, jelas menjadi faktor utama.
Akibatnya, banyak calon mahasiswa yang sebelumnya mengandalkan PTS kini lebih memilih PTN, sehingga mempersulit keberlanjutan PTS. Indonesia memiliki lebih dari 4.000 perguruan tinggi, di mana mayoritas adalah PTS. Sebaran geografisnya menunjukkan dominasi di Pulau Jawa, menegaskan peran vital PTS sebagai tulang punggung pendidikan tinggi, terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki akses ke PTN karena keterbatasan kuota atau faktor lainnya.
Tantangan Kualitas dan Jajaran Elite Perguruan Tinggi Indonesia
Di tengah persaingan yang kian ketat, kualitas program studi di PTS menjadi sorotan. Dari ratusan program studi yang dianalisis, hanya sebagian kecil yang berstatus unggul. Akreditasi menjadi hambatan utama, bahkan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) mengidentifikasi puluhan PTS berisiko dicabut izinnya.
Kontras dengan kondisi tersebut, Indonesia patut berbangga dengan 7 perguruan tinggi yang berhasil masuk dalam jajaran Top 100 di Asia menurut UniRank tahun 2025:
- Universitas Indonesia (UI) – Peringkat 26
- Universitas Gadjah Mada (UGM) – Peringkat 34
- Universitas Telkom – Peringkat 58
- Institut Teknologi Bandung (ITB) – Peringkat 61
- Universitas Airlangga (UNAIR) – Peringkat 82
- Universitas Bina Nusantara (BINUS) – Peringkat 87
- Universitas Brawijaya (UNIBRAW) – Peringkat 88
Kehadiran dua PTS (Universitas Telkom dan BINUS) dalam daftar prestisius ini menunjukkan bahwa PTS dengan kualitas dan daya saing tinggi mampu bersaing di kancah internasional. Ini menjadi contoh nyata bahwa investasi pada kualitas akademik dan relevansi kurikulum adalah kunci.
Faktor Perizinan dan Daya Saing Serapan Kerja
Di tengah persaingan yang kian ketat, kualitas program studi di PTS menjadi sorotan. Dari ratusan program studi yang dianalisis, hanya sebagian kecil yang berstatus unggul. Akreditasi menjadi hambatan utama, bahkan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) mengidentifikasi puluhan PTS berisiko dicabut izinnya.
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Brian Yuliarto, turut menyoroti fenomena ini. Dalam pertemuan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada 19 Maret 2025. Brian mendapat paparan mengenai tren penurunan jumlah pendaftar mahasiswa di PTS. Salah satu dugaan kuat penyebabnya adalah kecilnya serapan lapangan kerja yang disediakan industri dibandingkan jumlah lulusan PTS yang lebih besar, yang pada akhirnya mengurangi minat calon mahasiswa.
"Struktur dan pelaksanaan sektor industri di Indonesia masih kalang kabut (untuk menyerap lulusan perguruan tinggi)," kata Brian, mengutip Tempo.co.
Ia menambahkan bahwa perkembangan teknologi dan kondisi perekonomian global turut memicu transformasi industri, dari yang dulunya berorientasi produksi kini banyak yang hanya bergerak di bidang penjualan.
"Hal itu yang memicu makin minimnya lapangan kerja dan serapan lulusan perguruan tinggi. Padahal sebuah negara tidak akan menjadi negara maju ketika tidak memiliki kemampuan memproduksi," tegas Brian.
Penulis: Diyan Sari
Editor: Editor