Ketahanan pangan menjadi bagian dari poin kedua SDGs, yaitu zero hunger atau tanpa kelaparan. Untuk menunjang ketahanan pangan di Indonesia, salah satunya dapat dilakukan dengan urban farming. Tak butuh lahan luas, urban farming menjadi solusi mencegah kerentanan pangan, dimulai dari ketahanan pangan dalam keluarga.
Menurut Food and Agriculture Organization, kerentanan pangan adalah situasi ketika individu atau kelompok tidak dapat mengakses makanan yang aman dan bergizi untuk tumbuh kembang normal dan hidup sehat.
Ada empat status untuk menentukan kondisi kerentanan pangan, yaitu ketahanan pangan (food security), kerentanan pangan ringan (mild food insecurity), kerentanan pangan sedang (moderate food security), dan kerentanan pangan parah (severe food insecurity).
Kerentanan pangan sedang dinilai sudah cukup mengkhawatirkan, karena akses pangan yang tak pasti dan belum tentu bergizi. Pada tingkat parah, individu atau kelompok kemungkinan besar mengalami kelaparan.
Dalam The State of Food Security and Nutrition in The World 2023, prevalensi kerentanan pangan sedang atau parah dan kerentanan pangan parah berdasarkan aktivitas urbanisasi Asia Tenggara sebanyak 2,1 persen dari total penduduk di 2022. Angka ini khususnya untuk area perkotaan. Pada area pedesaan, prevalensi ini mencapai 3,1 persen dan untuk area pinggiran kota sebanyak 2,4 persen.
Angka kerentanan pangan di Asia Tenggara jauh lebih rendah dari persentase prevalensi dunia yang mencapai 9,4 persen di area perkotaan, 12,8 persen di area pedesaan, dan 11,6 persen di area pinggiran kota.
Di Indonesia, jumlah masyarakat yang terdampak kerentanan pangan sedang atau parah mencapai 13,4 juta jiwa. Angka ini mengalami penurunan dari 2014 lalu dengan masyarakat terdampak sejumlah 15,5 juta jiwa.
Ketahanan pangan tak hanya bergantung pada lahan luas. Bahkan, ketahanan pangan dapat dimulai dari kemandirian keluarga tak terkecuali di area perkotaan, melalui urban farming. Lebih dari itu, urban farming juga dapat dimanfaatkan sebagai usaha mendukung perekonomian.
Urban farming merupakan kegiatan pertanian yang dilakukan di lahan terbatas dengan teknik menanam hidroponik, aquaponik, vertikultur, media terpal, dan lain sejenisnya. Hasil dari urban farming dapat dikonsumsi langsung atau dijual.
Pada 2023, jumlah rumah tangga usaha pertanian perkotaan atau urban farming di Indonesia mencapai 12.919 rumah tangga. Jumlah paling banyak disumbang oleh Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Dilansir dari situs Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI, selain menunjang ketersediaan sayuran dan bahan pangan lainnya, urban farming dapat meningkatkan nilai ekologi dengan menambah ruang hijau di perkotaan, meningkatkan perekonomian, memberi nilai edukasi, sekaligus menambah produktivitas masyarakat.
Urban farming menjadi salah satu opsi ideal pertanian di masa kini dan masa depan. Akan tetapi, yang tak boleh luput dari perhatian adalah tantangan dalam mengatur, mengawasi, dan meminimalisasi risiko dari aspek lingkungan, sosial-lingkungan, serta ekonomi. Kementerian LHK juga menyebut pentingnya memahami sistem pangan perkotaan sebagai aktivitas berkelanjutan secara global.
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Iip M Aditiya