Indonesia memiliki potensi energi baru dan terbarukan (EBT) yang bervariasi dan melimpah mencapai 3.686 GW. Potensi tersebut berasal dari energi surya dengan 3.295 GW, energi angin sebesar 155 GW, hidrogen sebesar 95 GW, laut sebesar 60 GW, bienergi sebesar 57 GW, dan panas bumi sebesar 24 GW.
Mengutip Medcom.id, pemerintah percaya bahwa Indonesia bisa mengejar target net zero emission (nol emisi karbon) di tahun 2060 mendatang. Emisi sektor energi dikatakan dapat ditekan menjadi hanya 400 juta ton CO2e pada tahun 2060.
“Kami (juga) akan optimalkan soal pemanfaatan tenaga nuklir. Nanti juga banyak menggunakan tenaga surya, (untuk) mengistirahatkan PLTU. Sehingga, zero emission di tahun 2060 bisa tercapai,” kata Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) ESDM Dadan Kusdiana.
Akan tetapi, Indonesia juga membutuhkan anggaran yang besar untuk mencapai target nol emisi karbon. Melansir Katadata.co.id, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membutuhkan dana hingga Rp28.223 triliun. Sedangkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sejauh ini hanya cukup untuk menutup sepertiga kebutuhan anggaran.
Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Joko Tri Haryanto merincikan kebutuhan anggaran tersebut. Mayoritas kebutuhan pendanaan tersebut atau sekitar 94 persennya digunakan untuk sektor energi dan transportasi sebesar Rp26.602 triliun. Sedangkan sisanya digunakan untuk penanganan sampah yang mencapai Rp829 triliun, Industrial Processes and Product Use (IPPU) mencapai Rp730 triliun, kehutanan sebesar Rp70 triliun, dan pertanian Rp1,4 triliun.
Perusahaan Listrik Negara (PLN) sudah membuat skenario low carbon untuk periode 2021-2030 yang memuat rencana untuk mengoptimalkan EBT. Pengoptimalan EBT diproyeksikan sebesar 23 persen di tahun 2025 dan mengurangi penggunaan batu bara dari 66,98 persen menjadi 59,4 persen di tahun 2030.
Melansir Databoks, dalam proyeksi skenario tersebut, emisi gas rumah kaca (GRK) akan tetap meningkat dari 259,1 juta ton CO2 pada 2021 menjadi 334,6 juta ton CO2 di tahun 2030.
Sementara itu, batu bara menjadi bahan bakar yang paling banyak menyumbang emisi GRK. Emisi GRK batu bara diperkirakan akan meningkat sebesar 34,5 persen dengan rincian dari 222,2 juta ton CO2 pada 2021 menjadi 298,9 juta ton CO2 pada 2030 mendatang.
Adapun, menurut laporan International Energy Agency (IEA), emisi karbon global naik hingga mencapai 36,3 gigaton CO2 di tahun 2021. Angka ini meningkat sekitar enam persen dari tahun sebelumnya dan menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Tercatat bahwa emisi karbon global paling banyak berasal dari pembakan batu bara dan gas alam pada tahun 2021. Sementara, emisi karbon dari pembakaran Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk transportasi menurun dan lebih rendah delapan persen dibandingkan sebelum pandemi.
IEA menyebutkan bahwa peningkatan emisi karbon terjadi di hampir semua negara secara global. Adapun, peningkatan paling besar ada di negara India, Brasil, China, Amerika Serikat, serta negara-negara Uni Eropa.
Penulis: Nada Naurah
Editor: Iip M Aditiya