Ramai persoalan kepemilikan hunian di kalangan Gen Z tidak pernah surut menjadi bahan perbincangan. Marak cuitan-cuitan Gen Z di berbagai media sosial mengungkapkan bahwa kepemilikan rumah saat ini terbilang satu hal yang perlu membutuhkan lebih banyak usaha bagi Gen Z.
Erick Thohir sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sempat menyatakan bahwa ada 81 juta anak muda yang berpotensi terancam tidak punya rumah apabila masih berperilaku konsumtif.
Persepsi seperti itu yang kemudian sempat ramai digaungkan oleh beberapa pihak dengan sedikit mengubah frasanya menjadi, “anak muda tidak akan siap beli rumah apabila masih sering beli kopi”.
Tidak terelakkan, Gen Z sebagai generasi yang terkenal “santai” dalam menghadapi banyaknya stigma-stigma sosial dan stereotipe tertentu mengenai generasinya, masih sempat menjadikan persepsi-persepsi tersebut sebagai suatu pesan sarkastik.
Segelintir pihak pun sebenarnya juga turut mengungkapkan bahwa persoalan ini bukan semata-mata hanya karena perilaku atau gaya hidup Gen Z. Seperti pernyataan yang dilontarkan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan bahwa kemampuan atau daya beli rumah oleh Gen Z itu juga turut bergantung kepada jumlah pendapatannya.
Sri Mulyani menegaskan bahwa harga rumah saat ini tidak sebanding dengan pendapatan Gen Z. Harga rumah di Indonesia saat ini dikatakannya semakin “liar".
IDN Research Institute mengungkapkan bahwa terdapat ketertarikan sebanyak 29% Gen Z dengan rentang usia 21-26 tahun terhadap pembelian rumah. Persentase tersebut lebih tinggi dibandingkan persentase untuk memiliki tabungan pendidikan.
Pola Manajemen Keuangan Gen Z
Selain itu, apabila merujuk kepada pola perilaku Gen Z dalam pemenuhan pendapatan, terdapat 74% Gen Z yang telah memiliki dana darurat dan peduli terhadap kepemilikan dana darurat.
Penemuan terhadap pola keuangan terhadap Gen Z tersebut mengungkapkan bahwa faktanya, Gen Z juga telah menjadi generasi yang peduli keuangan, sadar hingga mengaplikasikan manajemen keuangan yang cermat.
Investasi juga menjadi salah satu sarana pendapatan yang diperhitungkan oleh Gen Z. Terdapat 58% Gen Z telah memulai kebiasaan berinvestasi dan menyiapkan tujuan finansialnya.
Mengingat bahwa kepemilikan rumah terbukti menjadi salah satu tujuan finansial utama Gen Z, maka tak ayal apabila segala sarana dan proses proyeksi finansial yang dilakukan Gen Z mengarah kepada pertimbangan kepemilikan rumah.
Fakta tersebut dapat menjadi setitik “pencerahan” bahwa nyatanya Gen Z yang dianggap sebagai generasi paling “santai” nyatanya merupakan generasi yang sangat “matang” dalam mempersiapkan proyeksi finansial.
Di tengah hiruk-pikuk inflasi biaya kepemilikan rumah, Gen Z sebagai salah satu aktor sosial pun tetap senantiasa menempatkan ruang untuk tetap optimis memiliki suatu hunian di waktu mendatang.
Hunian dengan harga 400 juta ditaksir menjadi “idaman” para Gen Z dengan ukuran ideal yaitu 100 meter persegi menurut temuan IDN Research Institute.
Berdasarkan temuan ini diungkapkan bahwa Gen Z memang sangat memprioritaskan kenyamanan dan ksederhanaan dibandingkan pamor atau kemewahan.
Berdasarkan data oleh IDN Research Institute yang bekerja sama dengan 99 Group sebagai platform properti terbesar di Asia Tenggara, diartikan bahwa harga dan lokasi menjadi faktor kunci bagi Gen Z dalam memutuskan untuk membeli hunian.
Harga menjadi pertimbangan Gen Z tentunya disebabkan oleh faktor psikologis dan demografis, bahwa Gen Z saat ini sedang berada di usia produktifnya. Stabilitas finansial tentu menjadi suatu tonggak estafet bagi keberlangsungan hidup Gen Z sendiri.
Mengingat pula iklim ekonomi global yang semakin tidak menentu setiap waktunya, akibat pergolakan hegemoni politik maupun perubahan iklim.
Gen Z: “Apartemen sebagai Hunian Masa Depan, Namun Pendapatan Juga Harus Mapan”
99 Group mengungkapkan bahwa faktanya Gen Z saat ini lebih tertarik untuk menjadikan apartemen sebagai huniannya dibandingkan rumah.
Hal ini juga berkaitan dengan latar belakang Gen Z yang berorientasi menjadikan kepemilikan propertinya menjadi suatu investasi, selain hanya sebagai beban ekonomi.
Berdasarkan data oleh The Global Property Guide, nyatanya sewa apartemen bulanan di Jakarta yang saat ini masih sebagai ibu kota Indonesia, berada di rentang harga 15 juta per bulan.
Dengan harga tersebut, menjadikan Jakarta menempati peringkat empat dengan rata-rata harga sewa apartemen per bulan termahal di Asia.
Perlu diketahui bahwa saat ini upah minimum regional (UMR) Jakarta berada di angka rata-rata lima juta, menandakan bahwa rata-rata gaji pekerja di Jakarta hanya mencapai 33% dari harga sewa apartemen Jakarta per bulannya.
Lantas, berdasarkan per data di atas, benarkah permasalahan sulitnya kepemilikan hunian saat ini benar-benar sepenuhnya persoalan gaya hidup Gen Z atau juga perihal pergolakan ekonomi dan sosial?
Penulis: Andini Rizka Marietha
Editor: Editor