Di tengah gemuruh aktivitas sehari-hari, terselip suara-suara khawatir terhadap pemerintahan yang merayap diam-diam di benak masyarakat. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, mengingat kondisi sosial dan politik saat ini yang penuh gejolak.
Di masa tren korupsi yang terus memperlihatkan kenaikan, isu korupsi menjadi salah satu isu yang paling meresahkan. Realitas ini dibuktikan melalui survei oleh IPSOS yang mengamati pendapat masyarakat tentang isu sosial dan politik dianggap paling penting.
Survei ini melibatkan sampel sebanyak 24.686 orang dewasa berusia 16-74 tahun, yang diambil selama periode 15 April 2024 hingga 3 Mei 2024. Dari hasil survei tersebut, sebanyak seperempat (26%) responden dari 29 negara mengungkapkan kekhawatirannya terhadap korupsi finansial/politik di negara mereka. Angka ini pun tidak berubah dari bulan sebelumnya.
Di Indonesia, masyarakat menempatkan korupsi sebagai masalah paling mengkhawatirkan. Hal ini mencerminkan betapa besarnya dampak korupsi terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Kekhawatiran masyarakat terhadap korupsi meningkat 8 poin dibanding bulan sebelumnya, sehingga nilai persentasenya menjadi 65%. Angka ini menjadi skor tertinggi untuk Indonesia sejak dicatat pada Agustus 2022.
Bagi banyak orang, fenomena ini tidak hanya sekadar angka dalam survei, tetapi sebuah cerminan dari pengalaman sehari-hari yang menuntut perubahan nyata.
Walau begitu, di tengah kekhawatiran ini, masyarakat pun masih percaya bahwa negara sudah berjalan ke arah yang benar. Angka tersebut sejatinya terlihat meningkat dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 2%, sehingga nilainya menjadi 74% di awal bulan Mei 2024.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun masih banyak tantangan, ada keyakinan bahwa langkah-langkah yang diambil pemerintah mulai menunjukkan hasil positif.
Namun ironisnya, walau kekhawatiran meningkat, sikap masyarakat terhadap melawan korupsi malah menurun. Sikap ini terlihat dari hasil Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) tahun 2023 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Survei ini dibentuk untuk mengukur tingkat perilaku antikorupsi masyarakat, tetapi hanya mencakup tindakan korupsi skala kecil (petty corruption), bukan korupsi skala besar (grand corruption).
Data yang dikumpulkan mencakup pendapat terhadap kebiasaan di masyarakat dan pengalaman berhubungan dengan layanan publik dalam hal perilaku penyuapan (bribery), gratifikasi (graft/gratuities), pemerasan (extortion), nepotisme (nepotism), hingga sembilan nilai antikorupsi.
Adapun indeks tersebut berada dalam rentang 0-5. Semakin besar nilainya, maka semakin tinggi pula sikap antikorupsi dalam masyarakat. Sebaliknya, jika mendekati 0, berarti masyarakat semakin permisif terhadap korupsi.
IPAK disusun berdasarkan dua dimensi, yakni dimensi persepsi dan dimensi pengalaman. Dimensi persepsi mencakup persepsi keluarga, persepsi komunitas, dan persepsi publik. Di lain sisi, dimensi pengalaman mencakup pengalaman publik dan pengalaman lainnya, seperti kampanye pemilu, penerimaan pegawai, masuk sekolah/kampus, dan pengalaman saat ditilang.
Pada tahun 2022, nilai IPAK mencapai 3,93, sedikit naik dari 3,88 di tahun sebelumnya. Namun, pada tahun 2023, nilai tersebut turun menjadi 3,92. Padahal, nilai IPAK sempat terus meningkat, meski sempat turun di tahun 2018, yang menyentuh angka 3,66.
Dilansir CNN Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Hadi Tjahjanto meyakini terdapat beberapa faktor yang menyebabkan turunnya indeks ini. Salah satunya adalah kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya pemberantasan korupsi.
Menurutnya, sistem pelaporan yang mudah diakses perlu ditingkatkan agar masyarakat mau berpartisipasi aktif dalam melaporkan kasus korupsi. Selain itu, petugas terkait harus sigap dalam menindaklanjuti laporan yang diterima.
Hadi juga menekankan bahwa diperlukannya evaluasi menyeluruh di semua lini agar meningkatkan kembali angka IPAK.
Penulis: Intan Shabira
Editor: Editor