Kejahatan terorganisasi menjadi salah satu ancaman besar di seluruh dunia, tak hanya di negara-negara berkembang tapi juga di negara maju.
Selain ancaman di tingkat domestik, ini juga bisa menghambat berbagai kerja sama internasional yang kini sangat dibutuhkan di tengah konflik, kesenjangan, dan krisis global.
Komitmen politik sangat diperlukan dalam mengatasi tantangan ini, salah satunya dengan membangun jaringan ketahanan di komunitas yang terkena dampak.
Lembaga nirlaba multinasional, Global Initiative Against Transnational Organized Crime (GI-TOC), pada 2023 lalu merilis laporan Indeks Kejahatan Terorganisasi Global atau Global Organized Crime Index (GOCI).
Laporan ini menyajikan analisis komparatif terkait gambaran tingkat kriminalitas dan ketahanan di 193 negara terhadap kejahatan terorganisasi.
Indeks ini terdiri dari dua komponen skor, yakni skor kriminalitas (2 subkomponen, 20 indikator) dan skor resiliensi/ketahanan (12 indikator).
Skor kriminalitas pada subkomponen pertama memperhitungkan dampak moneter dan non-moneter dari suatu pasar kriminal (15 indikator), dan pada subkomponen kedua menilai struktur dan pengaruh yang ditimbulkan dari para pelaku kriminal (5 indikator).
Sementara skor resiliensi menilai sejauh mana keberadaan dan kapasitas negara dalam menghadirkan ketahanan terhadap kejahatan terorganisasi.
Pada GOCI 2023, ditemukan bahwa hampir 82,7% dari populasi global hidup di negara dengan tingkat kriminalitas yang tinggi, naik dari 79% di 2021, tahun pertama indeks ini dirilis.
Selain itu, gap antara kriminalitas dan resiliensi juga semakin melebar di 2023, di mana skor kriminalitas global naik 0,16 poin menjadi 5,03, sedangkan skor resiliensi tetap di angka 4,81.
Pada subkomponen pasar kriminal, kejahatan finansial (financial crimes) menjadi pasar kriminal terbesar dengan skor 5,98, menggeser perdagangan manusia yang pada edisi sebelumnya berada di urutan pertama.
Bentuk kejahatan ini berkembang cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan pesatnya inovasi teknologi digital, yang membuat aksinya dapat dilakukan secara lebih sederhana dengan dampak transnasional yang lebih signifikan.
Setelah kejahatan finansial, pasar kriminal terbesar kedua di tingkat global ialah perdagangan manusia (5,82), diikuti perdagangan ganja (5,34), dan perdagangan senjata (5,21).
Pada subkomponen pelaku kriminal, aktor negara masih menjadi kelompok paling dominan yang berperan dalam kejahatan terorganisasi. Kelompok ini memperoleh skor 5,95 pada GOCI 2023, naik 0,20 poin dari edisi 2021.
Adapun keterlibatan aparat negara dalam kejahatan terorganisasi menurut GOCI 2023 paling marak terjadi pada pasar perdagangan manusia, perdagangan senjata, dan kejahatan sumber daya alam tak terbarukan (mis. mineral dan batubara).
Selain aktor negara, pelaku kejahatan terorganisasi lainnya yang diidentifikasi oleh GOCI 2023 ialah jaringan kriminal (5,66), aktor asing (5,54), aktor swasta (4,76), dan kelompok bergaya mafia/mafia-style (4,02).
Sementara itu pada komponen resiliensi, kerja sama internasional menjadi elemen penyusun ketahanan yang paling kuat dengan memperoleh skor tertinggi, yakni 5,87 naik 0,19 poin dari 2021.
Kenaikan skor juga terjadi pada indikator kebijakan dan hukum nasional yang berada di urutan kedua dengan skor 5,48, naik 0,06 poin.
Namun demikian, terjadi juga penurunan skor pada 7 dari 12 elemen penyusun ketahanan.
Penurunan skor terbesar terjadi pada indikator aktor non-negara sebesar 0,16 poin menjadi 4,72, menunjukkan bahwa terjadi penyusutan ruang bagi aktor-aktor non-negara dalam upaya pengembangan ketahanan terhadap kejahatan terorganisasi.
Hal ini jelas dapat menghadirkan kerentanan tersendiri bagi masyarakat di tengah meluasnya peran para aktor negara dalam memfasilitasi tindak kejahatan tersebut.
“Dalam konteks global di mana aktor-aktor yang berasal dari negara mendominasi dunia kriminal, melemahnya peran aktor-aktor non-negara mempunyai implikasi yang signifikan terhadap kerentanan suatu negara terhadap kejahatan terorganisir, sehingga menutup peluang alternatif untuk memberantas kejahatan tersebut,” seperti ditulis GA-TOC dalam laporan ini.
Berdasarkan tingkat kerentanan, Myanmar boleh dikatakan menjadi negara yang paling rentan terhadap kejahatan terorganisasi di 2023 dengan memperoleh skor kriminalitas tertinggi sebesar 8,15, sedangkan skor resiliensinya menjadi yang terendah ketiga di angka 1,63.
Sebaliknya, Liechtenstein menjadi negara yang paling kuat atau kokoh terhadap ancaman kejahatan terorganisasi dengan mencatat skor resiliensi sebesar 8,46, dan skor kriminalitas di angka 2,27.
Kawasan Asia Tenggara menjadi kawasan yang cukup rentan terhadap tindak kejahatan terorganisasi di 2023.
Rata-rata skor kriminalitas regional Asia Tenggara di 2023 naik 0,36 poin menjadi 5,81, sedangkan skor resiliensinya turun 0,13 poin menjadi 4,45.
Sebanyak 7 dari 11 negara di kawasan ini memiliki tingkat kriminalitas tinggi dan ketahanan yang rendah, mereka adalah Myanmar, Indonesia, Kamboja, Filipina, Vietnam, Thailand, dan Laos.
Sementara kondisi ideal hanya terjadi di 2 negara, Brunei dan Singapura, yang memiliki tingkat kriminalitas rendah dan tingkat ketahanan yang tinggi terhadap kejahatan terorganisasi.
Indonesia, pada GOCI 2023 mencatat kenaikan skor kriminalitas sebanyak 0,48 poin menjadi 6,85, menempati urutan ke-20 tertinggi dari 193 negara, dan tertinggi ke-2 di kawasan setelah Myanmar.
Pada subkomponen pasar kriminal, bentuk kejahatan terorganisasi yang paling besar di Indonesia ialah kejahatan flora, kejahatan fauna, kejahatan sumber daya alam tak terbarukan, dan kejahatan keuangan dengan skor masing-masing 8,00.
Menurut pelakunya, aktor negara dan aktor swasta memegang peranan paling dominan dengan skor masing-masing sebesar 8,00.
Di sisi lain, ketahanan Indonesia terhadap kejahatan terorganisasi juga melemah dengan adanya penurunan skor resiliensi sebesar 0,08 poin menjadi 4,25.
Pada komponen ini, kerja sama internasional menjadi elemen penyusun ketahanan paling kuat dengan skor 6,00.
Penulis: Raka B. Lubis
Editor: Editor