Isu mengenai perubahan iklim kembali mencuat dan menjadi topik hangat di seluruh dunia. Perubahan iklim yang drastis akibat pemanasan global telah menyebabkan konsekuensi besar di berbagai sektor kehidupan. Dampaknya pun semakin terasa di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Ini terlihat dari berbagai peristiwa terkait iklim yang melanda dunia, mulai dari suhu udara yang semakin panas, terganggunya siklus hidrologi, hingga maraknya bencana hidrometeorologi seperti kekeringan, banjir, badai, angin puyuh, longsor, dan lainnya.
Bahkan merujuk pada laporan lembaga riset global, Ipsos, isu perubahan iklim telah menjadi permasalahan paling genting yang perlu ditangani sesegera mungkin menurut masyarakat global. Sebanyak 46% responden menganggap isu ini menjadi fokus utama di negaranya.
Merespon kondisi bumi yang semakin parah akibat perubahan iklim, kebijakan transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan gencar diserukan. Sayangnya, ada beberapa negara yang cukup kesulitan untuk menerapkan green financing dan renewable energy, khususnya Indonesia. Sebab, proses transisi ke energi bersih membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
"Untuk proses transisi itu butuh waktu untuk membangunnya untuk kemudian beroperasi. Butuh dana juga untuk membangun alternatif energi terbarukan sebagai pengganti energi fosil yang sekarang ini dipergunakan oleh para lembangkit yang ada terutama PLTU berbasis batu bara," ungkap Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno dikutip dari CNBC Indonesia.
Ancaman nyata risiko-dampak perubahan iklim bagi anak-anak di Indonesia
Anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan terdampak perubahan iklim. Hal ini terjadi karena anak-anak memiliki karakteristik dan fungsi fisiologis yang berbeda dengan orang dewasa.
Dampak dari kerusakan lingkungan dan perubahan iklim bahkan mampu mempengaruhi kesehatan fisik dan mental anak. Studi menyebutkan, permasalahan kondisi psikis yang berasal dari guncangan iklim dan lingkungan dapat meningkatkan kecemasan dan tindak kekerasan terhadap anak. Ini disebabkan oleh kesadaran akan perubahan iklim dan ketakutan terhadap konsekuensinya.
United Nations Children’s Fund (UNICEF) melalui laporannya juga membeberkan bahwa anak muda di Indonesia menjadi salah satu kelompok yang menghadapi risiko-dampak perubahan iklim tertinggi, di mana ancaman terhadap pendidikan dan kesehatan terus menghantui mereka.
Indonesia berada di peringkat 10 teratas dalam daftar negara dengan jumlah pengungsi anak imbas cuaca ekstrem terbesar di dunia. UNICEF mencatat, terdapat sebanyak 960 ribu anak asal Indonesia yang telah mengungsi sepanjang periode 2016-2021.
UNICEF menemukan bahwa sekitar 1 miliar anak atau separuh dari total 2,2 miliar anak di seluruh dunia hidup di salah satu dari 33 negara yang memiliki “risiko sangat tinggi” atau extremely high-risk terhadap dampak perubahan iklim. Dilaporkan, Indonesia berada pada posisi ke-46 dan menjadi salah satu negara dengan risiko tinggi (high risk).
Berdasarkan hasil temuan, anak-anak Indonesia memiliki risiko tinggi terhadap penyakit menular, pencemaran udara, dan banjir rob. Situasi ini diperparah dengan sistem pelayanan kesehatan dan pendidikan yang tidak menyeluruh.
“Indonesia masuk ke dalam 50 negara teratas dengan jumlah anak paling berisiko terpapar dampak perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Namun, jika kita bertindak sekarang, kita dapat mencegah situasi bertambah buruk,” kata UNICEF.
Kontribusi dan komitmen kuat seluruh pihak untuk mengatasi risiko perubahan iklim
Perubahan iklim menjadi isu yang harus diperhatikan karena memiliki dampak dan risiko yang besar, khsusnya pada keberlangsungan makhluk hidup dan generasi di masa mendatang. Oleh karena itu, aksi pengendalian perubahan iklim yang konkret dari seluruh lapisan masyarakat sangat diperlukan.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati mengajak seluruh masyarakat untuk berkontribusi menahan kencangnya laju perubahan iklim. Bentuk kontribusinya pun bisa dimulai dari hal-hal yang mudah. Mulai dari tidak membuang sampah sembarangan, menerapkan 3R (reduce, reuse, recycle), berjalan kaki, menghemat energi, dan lain-lain.
“Khusus sampah, dampaknya sangat besar karena memberikan kontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca. Karenanya, meskipun terlihat sepele, namun langkah konkrit itu berkontribusi besar dalam menahan laju perubahan iklim,” papar Dwikorita.
Sehubungan dengan upaya untuk mengatasi dampak dan risiko perubahan iklim, UNICEF juga membeberkan beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah, sektor swasta, maupun pemangku kepentingan.
Di antaranya ialah meningkatkan investasi di bidang layanan air, sanitasi dan kebersihan, kesehatan, dan pendidikan agar anak mampu beradaptasi dengan perubahan iklim. Selain itu, generasi muda juga harus dilibatkan dalam seluruh negosiasi dan pengambilan keputusan terkait iklim, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional.
Penulis: Nada Naurah
Editor: Iip M Aditiya