Koalisi masyarakat sipil Indonesia mendesak pemerintah Indonesia dan Australia untuk memperkuat perlindungan hak pengungsi menjelang kunjungan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese ke Indonesia. Kunjungan ini, yang merupakan kunjungan resmi pertama Albanese setelah terpilih kembali pada 3 Mei 2025, dianggap sebagai momen strategis untuk mengatasi tantangan pengelolaan pengungsi di kawasan. Dengan lebih dari 12.000 pengungsi dan pencari suaka terlantar di Indonesia, koalisi menyerukan pendekatan berbasis hak asasi manusia yang menjamin solusi jangka panjang.
Pers rilis yang diterbitkan oleh organisasi seperti SUAKA dan Refugee Action Coalition menyoroti kompleksitas hubungan Indonesia-Australia seputar isu pengungsi.
“Kunjungan ini harus menghasilkan tindakan nyata yang menempatkan kemanusiaan sebagai inti kebijakan pengungsi kawasan,” ujar SUAKA dalam keterangan tertulis, Rabu (14/5/2025). Koalisi menekankan perlunya mengakhiri penahanan tanpa batas, memperluas jalur legal, dan menegakkan prinsip non-refoulement untuk melindungi pengungsi dari pengembalian paksa.
Data dari UNHCR menunjukkan bahwa jumlah pengungsi di Indonesia terus menjadi perhatian, dengan 8.450 pengungsi pada 2023, turun dari 13.800 pada 2019. Sementara itu, Australia memukimkan kembali 15.223 pengungsi pada 2023, namun kebijakan ketatnya membatasi akses bagi pengungsi di Indonesia yang tiba setelah Juli 2014. Koalisi berharap dialog antara Albanese dan presiden terpilih Prabowo Subianto dapat membuka jalan bagi reformasi kebijakan yang lebih inklusif.
Baca Juga: Jumlah Pengungsi Tahun 2024 Capai 122 Juta Jiwa
Kompleksitas Hubungan Bilateral dalam Pengelolaan Pengungsi
Hubungan Indonesia-Australia dalam pengelolaan pengungsi telah lama ditandai oleh ketegangan politik dan pendekatan yang tidak seimbang. Melalui Regional Cooperation Agreement (RCA), Australia memberikan dana signifikan kepada Indonesia via International Organization for Migration (IOM) untuk mencegah arus pengungsi ke wilayahnya. Namun, pendanaan ini memunculkan pertanyaan tentang pembagian tanggung jawab yang adil, sebuah prinsip kunci dalam kerangka perlindungan pengungsi internasional.
Koalisi menyoroti pelanggaran prinsip non-refoulement, di mana pengungsi yang berusaha mencapai Australia dengan perahu dari Indonesia sering dikembalikan secara paksa.
“Pengembalian paksa ini adalah pelanggaran jelas terhadap hukum internasional,” ucap SUAKA dalam keterangan tertulisnya. Tindakan ini menyebabkan pengungsi menghadapi penahanan tanpa batas di Indonesia, memperburuk kerentanan mereka dan mencerminkan celah besar dalam perlindungan hak asasi manusia.
Data sekunder dari UNHCR menunjukkan tren penurunan jumlah pengungsi di Indonesia: 14.000 pada 2018, 13.800 pada 2019, 10.114 pada 2020, 9.982 pada 2021, 9.785 pada 2022, dan 8.450 pada 2023.
Mayoritas berasal dari Afghanistan, Myanmar (Rohingya), dan Somalia. Sementara itu, Australia pada 2023 memukimkan kembali 15.223 pengungsi dan mengakui 14.669 pencari suaka di dalam negeri, menunjukkan kapasitas untuk berkontribusi lebih besar dalam mengatasi krisis pengungsi di kawasan.
Pengungsi Terlantar dalam Ketidakpastian
Pengungsi di Indonesia menghadapi situasi “limbo” yang berkepanjangan karena status negara ini sebagai non-penandatangan Konvensi Pengungsi 1951. Mereka tidak memiliki hak formal untuk bekerja, pendidikan layak, atau akses kesehatan yang terjangkau, yang memperburuk kondisi hidup mereka. Menurut pers rilis, waktu tunggu untuk pemukiman kembali bisa mencapai 8-10 tahun, sebuah situasi yang dianggap tidak berkelanjutan.
Studi Pathway to Refugee Wellbeing (Nickerson et al., 2023) mengungkapkan bahwa ketidakpastian ini meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental seperti PTSD dan depresi.
“Pengungsi dengan gejala PTSD dan depresi yang lebih parah cenderung menghadapi ketidakpastian masa depan,” ujar laporan tersebut. Koalisi menyerukan Australia untuk meningkatkan kuota pemukiman kembali dan memperluas jalur alternatif seperti sponsor swasta dan mobilitas tenaga kerja.
Seruan untuk Solusi Berbasis Hak Asasi Manusia
Kunjungan PM Albanese ke Indonesia dipandang sebagai peluang emas untuk mengubah paradigma pengelolaan pengungsi di kawasan. Koalisi mendesak kedua pemerintah untuk mengadopsi kerangka kerja bilateral yang menjamin perjalanan aman dan perlakuan bermartabat bagi pengungsi.
“Kami mendesak pemerintah untuk mengakhiri penahanan tanpa batas dan menegakkan prinsip non-refoulement,” ujar pernyataan bersama koalisi.
Organisasi masyarakat sipil seperti SUAKA dan Geutanyoe Foundation telah memainkan peran penting dalam memberikan bantuan langsung dan advokasi bagi pengungsi. Namun, keterbatasan sumber daya menghambat upaya mereka. Koalisi menyerukan dukungan pemerintah melalui pendanaan dan kolaborasi multi-pihak untuk memperkuat kapasitas organisasi masyarakat sipil dalam melindungi dan memberdayakan pengungsi.
Data dari Refugee Council of Australia menunjukkan bahwa Australia memukimkan kembali 7.773 pengungsi pada 2022, meningkat menjadi 15.223 pada 2023. Namun, dengan 82.625 permohonan suaka tertunda pada 2023, masih banyak yang harus dilakukan. Koalisi berharap dialog antara Albanese dan Prabowo Subianto akan menghasilkan komitmen konkret untuk memperluas kuota pemukiman kembali, membuka jalur sponsor komunitas, dan mendukung pengungsi yang terlantar di Indonesia.
Langkah Menuju Perubahan
Koalisi menekankan pentingnya transparansi dan akses yang adil dalam semua solusi pengungsi, termasuk pemukiman kembali dan jalur alternatif seperti reunifikasi keluarga atau program mobilitas tenaga kerja.
“Proses yang adil dan terbuka sangat penting untuk memastikan pengungsi paling rentan mendapatkan kesempatan perlindungan,” ujar pernyataan koalisi. Australia, dengan tradisi kemanusiaannya, diharapkan memimpin dalam menyediakan alternatif aman terhadap perjalanan perahu yang berbahaya.
Selain itu, koalisi menyoroti perlunya mendukung pengungsi dalam mempersiapkan kehidupan di negara pemukiman kembali. Organisasi masyarakat sipil Indonesia dapat berperan dalam memberikan pelatihan dan pendampingan, tetapi memerlukan sumber daya yang memadai.
Dengan kunjungan PM Albanese, harapan untuk perubahan nyata semakin besar. Koalisi masyarakat sipil Indonesia dan Australia menyerukan tindakan segera untuk mengatasi krisis pengungsi, memastikan bahwa kemanusiaan menjadi inti dari setiap kebijakan.
“Ini adalah momen untuk menetapkan standar baru dalam kerja sama regional,” tutup laporan tertulis tersebut.
Baca Juga: Suriah Jadi Negara dengan Proporsi Pengungsi Tertinggi 2023
Penulis: Daffa Shiddiq Al-Fajri
Editor: Editor