Beberapa hari terakhir, masyarakat Indonesia dibuat heboh oleh putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, atas dugaan penggunaan jet pribadi untuk bepergian. Isu ini bermula ketika Erina mengunggah foto jendela pesawat yang ditumpanginya melalui Instagram Story pada Selasa (21/8) lalu. Pasangan suami istri tersebut tengah melakukan perjalanan ke Amerika Serikat (AS).
Warganet yang jeli kemudian membandingkan bentuk jendela tersebut dan menyadari adanya perbedaan dengan pesawat komersil pada umumnya. Usut punya usut, pesawat yang ditumpangi keduanya merupakan pesawat Gulfstream G650ER dengan nomor penerbangan N588SE, dari Bandara Halim Perdanakusuma, Indonesia menuju Bandara Internasional Philadelphia, AS.
Biaya penerbangan dengan menggunakan jet pribadi Gulfstream tersebut ditaksir mencapai Rp10 miliar. Menurut laman penerbangan Paramount Business Jets,Gulfstream G650ER memiliki kapasitas 13 kursi dan biaya sewa per jamnya mencapai US$13.000, atau sekitar Rp202 juta per jam. Jika estimasi perjalanan Jakarta-Philadelphia selama 24 jam, maka estimasi biaya penerbangant ersebut mencapai Rp9,7 miliar untuk perjalanan pulang pergi.
Sontak hal ini memantik amarah warganet, mengingat Kaesang dan istrinya memilih memamerkan kemewahan di tengah kondisi ekonomi yang sedang sulit. Penggunaan jet pribadi ini dipandang sebagai simbol hilangnya empati terhadap situasi ekonomi yang dihadapi warga Indonesia, terutama dari kelompok berpenghasilan rendah. Apalagi, ketimpangan ekonomi di Indonesia masih terus dirasakan hingga sekarang.
Ketimpangan Ekonomi Indonesia Nomor 10 Dunia
Menurut UBS Global Wealth Report, ketimpangan ekonomi Indonesia pada 2023 tercatat cukup tinggi. Indonesia bahkan masuk 10 besar negara dengan ketimpangan ekonomi terburuk di dunia, dinilai berdasarkan indeks Gini.
Indeks Gini mengkuantifikasi perbedaan antara kaum terkaya dan termiskin di suatu negara. Skor 0 menggambarkan keseimbangan yang sempurna, yang berarti semua orang punya kekayaan yang sama. Sebaliknya, nilai 100 mencerminkan ketimpangan maksimum, yang berarti kekayaan suatu negara hanya dikuasai oleh segelintir orang saja, sedangkan kelompok mayoritas lain tidak mendapatkan bagian sama sekali.
Pada 2023, indeks Gini Indonesia tercatat sebesar 68, naik dibanding 2008 yang sebesar 59. Hal ini sekaligus menempatkan Indonesia di urutan ke-10 negara dengan ketimpangan ekonomi tertinggi di dunia.
Peringkat pertama dipegang oleh Afrika Selatan dengan skor sebesar 82, disusul Brasil dengan 81 poin, serta Uni Emirat Arab dan Arab Saudi dengan 77 poin. Di kawasan Asia, India berada di posisi ke-7 dengan 73 poin dan Singapura tepat di atas Indonesia dengan indeks Gini sebesar 70.
Ketimpangan di Indonesia nyatanya tidak hanya dirasakan di bidang ekonomi, melainkan juga di sektor pendidikan hingga kesehatan. Akses terhadap pendidikan yang tidak merata membuat sebagian besar masyarakat Indonesia belum bisa memperoleh pendidikan yang layak. Perbedaan ini terasa jelas antara wilayah perkotaan dan pedesaan.
Tidak hanya pendidikan, akses kesehatan juga masih tidak merata di Indonesia. Dari 9.599 puskesmas dan 2.184 rumah sakit di Indonesia, mayoritas berada di kota-kota besar. Masyarakat yang tinggal di daerah masih kesulitan untuk menjangkau layanan kesehatan terdekat. Bahkan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga mencatat bahwa 52,8% dokter spesialis berada di Jakarta, dan di Indonesia bagian TImur hanya tercatat 1-3% saja.
Hanya Untuk Kaum 1% Teratas
Muncul istilah “kaum 1%”, yang merujuk pada kelompok crazy rich yang menguasai mayoritas kekayaan nasional dan bisa menikmatinya dengan bebas. Hal ini membuat jurang ketimpangan semakin luas.
Menurut World Inequality Lab, pada 2022 lalu, 1% penduduk Indonesia menguasai 30,16% dari total aset rumah tangga nasional. Angkanya bahkan meningkat dari tahun 2021 yang sebesar 25,75%.
Keberpihakan yang tinggi pada kaum 1% Indonesia membuat mayoritas masyarakat lainnya harus hidup dalam ketidakpastian. Ketimpangan ekonomi di suatu negara tak pernah berakhir baik. Si kaya menjadi semakin kaya dan miskin menjadi maskin miskin. Hanya sedikit kesempatan untuk mereka yang masuk status ekonomi terendah untuk menaikan kondisi sosial ekonominya.
Indonesia tidak sendirian dalam menghadapi hal ini. Fenomena jet pribadi ini hanya menggarisbawahi kembali tingginya kesenjangan ekonomi dalam negeri. Potret berjejeran antara kemewahan dan kelaparan nyatanya masih nyata terlihat di Indonesia.
Apa Ketimpangan Ekonomi Bisa Dihilangkan?
Meski berat, ketimpangan ekonomi di suatu negara takkan bisa benar-benar dihilangkan. Namun untuk menurunkannya masih ada harapan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (Bappenas RI) menyatakan beberapa upaya untuk menekan ketidakmerataan Indonesia melalui 5 kebijakan utama.
1. Menurunkan Angka Stunting
Salah satu langkah untuk mengatasi ketimpangan adalah dengan menurunkan angka stunting. Langkah ini dicapai dengan meningkatkan kualitas pelayanan dasar publik di tingkat lokal (air bersih, sanitasi, gizi, pengetahuan ibu, hingga pelayanan kesehatan).
2. Menurunkan Angka Kemiskinan
Upaya yang tampak jelas namun tetap sulit dilakukan, dengan menurunkan kemiskinan. Hal ini dicapai melalui stabilisasi harga pangan, pengurangan beban penduduk miskin, dan subsidi tepat sasaran (lewat program bantuan sosial).
3. Memberikan Peluang Pekerjaan
Pemerintah berupaya meningkatkan keahlian dan sertifikasi, magang, kemitraan tentang industri, dan investasi yang dapat menyerap tenaga kerja besar. Harapannya, tingkat pengangguran bisa ditekan, dan angka kemiskinan semakin berkurang.
4. Menurunkan Ketimpangan Kekayaan
Penurunan ketimpangan kekayaan dilakukan melalui pajak/subsidi, program afirmasi yang efektif, penuntasan NIK, kredit UMKM pertanian dan perikanan, dan lain-lain.
5. Menguatkan Industri Berbasis Rakyat
Pemerintah menguatkan industri berbasis rakyat lewat penguatan industri kecil strategis, pemaksimalan potensi lokal perhutanan sosial, reforma agraris, peningkatan skala usaha petani dan nelayan, hingga pengembangan destinasi wisata.
Ketimpangan ekonomi selalu menjadi masalah, bahkan negara-negara maju dan kaya sekalipun menghadapi masalah serupa. Sebagai negara kesatuan yang membebaskan rakyat untuk mencari penghasilan sendiri, ketimpangan akan selalu melekat di Indonesia.
Situasi mungkin akan berbeda di negara yang menganut komunisme, yang melarang adanya perbedaan kelas, status sosial, dan ekonomi. Meski begitu, ketimpangan juga sejatinya masih tetap ditemukan di negara-negara tersebut.
Mengayomi kaum dengan status ekonomi terbawah saja tidak cukup. Ego kaum teratas yang semakin tinggi membuat jurang ketimpangan semakin terasa. Pada akhirnya, tidak ada upaya yang benar-benar pasti untuk menjamin penurunan ketimpangan. Perbedaan akan terus ada, yang bisa dikendalikan saat ini adalah soal sikap.
Ke depannya, ketimpangan Indonesia niscaya bisa terus menurun, meski takkan mencapai angka sempurna. Setiap orang berhak menikmati kekayaan yang tersedia, bukan hanya dikhususkan untuk kaum 1% saja.
Baca Juga: Negara dengan Ketimpangan Gaji Terbesar Antar Gender, Banyak dari Negara Maju?
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor