Bagi Indonesia, laut tidak hanya dipandang sebagai perairan yang menyatukan gugusan pulau-pulau di Nusantara. Hamparan birunya sedari dulu juga sudah dikenal sebagai perairan yang menyimpan kekayaan beragam jenis ikan.
Melimpahnya jenis ikan di perairan Indonesia, tak khayal membuat negara ini pun disoroti banyak pihak. Salah satunya, terkait dengan perlindungan atas ancaman kepunahan ikan bertulang rawannya.
Sejak 2013, kelompok ikan bertulang rawan seperti hiu dan pari telah menjadi isu internasional, setelah masuknya beberapa spesies hiu dan pari manta dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).
CITES sebagai pengaturan pemanfaatan komoditas hiu dan pari secara internasional telah diratifikasi oleh Indonesia. Keikutsertaannya menjadi bagian dalam CITES tak dimungkiri karena Indonesia menjadi salah satu negara dengan penangkapan hiu dan pari dalam jumlah banyak, bahkan diasumsikan sebagai salah satu yang terbesar di dunia.
Padahal, banyak manfaat lain dari hiu dan pari selain dijadikan komoditi yang punya nilai jual. Hiu dan pari faktanya memiliki manfaat besar bagi kelangsungan ekosistem di perairan, bahkan eksistensinya di perairan dapat membantu meminimalisir perubahan iklim.
Bernilai penting bagi ekosistem perairan
Hampir seluruh bagian tubuh hiu dan pari menjadi target perburuan manusia karena nilai jualnya yang menjanjikan. Sehingga, penangkapannya pun tak dapat dihindari terjadi secara berlebihan (Overfishing). Tindakan yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan sumber daya ikan, pada akhirnya memberikan dampak langsung kepada rantai makanan di perairan.
Hal ini karena hiu berperan sebagai predator puncak (apex predator) dari rantai makanan, sedangkan pari memiliki peran ekologis yang tidak kalah penting, terutama sebagai indikator dari keseimbangan ekosistem laut dengan berperan sebagai pemangsa organisme kecil yang ada di perairan (predator benthos).
Keberadaan hiu dan pari juga merupakan penyerap karbon alami, 10-15 persen jaringan tubuh hiu dan pari mengandung karbondioksida. Bila populasi hiu dan pari berenang bebas di lautan, ini artinya lebih banyak karbon yang diserap dan membantu meminimalisir perubahan iklim.
Selain berkontribusi menahan karbon, hiu dan pari juga berperan sebagai "mixer" laut alami yang dapat membawa nutrisi dari lapisan laut dalam ke permukaan dengan cara migrasi vertikal. Ketika di permukaan, hiu melepaskan nutrisi yang memastikan keberadaan fitoplankton di laut alga berukuran mikroskopik yang berperan penting dalam rantai makanan di laut, dan menghasilkan 50 persen oksigen di atmosfir. Ini artinya, hiu dan pari di lautan sana telah berperan dalam penyediaan sebagian oksigen yang kita hirup saat ini.
Sehingga, perlindungan populasi hiu dan pari menjadi suatu yang mendesak agar lebih banyak karbon yang diserap, kemudian juga berujung membantu meminimalisir perubahan iklim.
Overfising hiu-pari
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan populasi ikan hiu dan pari di seluruh dunia disebut turun drastis sebanyak 70 persen selama 50 tahun terakhir. Penangkapan ikan secara berlebih menjadi ancaman terbesar kepunahan ikan laut.
Indonesia dinilai menjadi negara dengan penangkapan hiu dan pari terbesar. Pada 1987 eksploitasi di wilayah perairan Indonesia tercatat sebesar 36.884 ton. Lalu mengalami peningkatan hampir dua kali lipat tahun 2000, dengan hasil tangkapannya sebesar 68.366 ton. Kemudian baru-baru ini tangkapannya kembali meningkat menjadi 88.790 ton per tahun atau mencapai porsi 12,31 persen secara global.
Menurut data KKP tahun 2016, Indonesia merupakan negara produsen hiu terbesar di dunia, dengan kontribusi sebesar 16,8 persen dari total tangkapan dunia. Tidak hanya ancaman tangkapan sampingan (satwa yang tertangkap secara tidak sengaja), penurunan populasi hiu juga terjadi akibat eksploitasi berlebihan yang didorong oleh tingginya permintaan akan produk-produk satwa tersebut.
Pemanfaatan dan eksploitasi hiu dan pari secara global sangat mengkhawatirkan. Tingginya jumlah permintaan sirip hiu dan insang pari manta di pasar internasional, mendorong tanda-tanda eksploitasi berlebih dengan adanya penangkapan hiu dan pari di banyak negara.
Shark Diving, Memadukan Pariwisata Selam dan Penelitian Hiu di Morotai
Hiu-Pari diambang kepunahan
Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) KKP Prof Sjarief Widjaja mengatakan, jumlah biodiversity hiu dan pari di dunia berjumlah sekitar 531 jenis, di mana Indonesia memiliki kurang lebih 118 jenis, di mana seperempatnya diberi status Terancam Punah oleh IUCN.
Spesies hiu endemik khusus yang spesifik ada di Indonesia, salah satunya adalah Squalus hemipinnis, yang berada di wilayah selatan Bali, Lombok dan laut Jawa.
Di Selat Makassar, terdapat spesies hiu Apristurus sibogae. Selain itu terdapat spesies hiu endemik lainnya seperti Squatina legnota, Atelomvcterus baliensis, dan Mustelus widodoi, yang juga berada disekitar wilayah Laut Jawa, Bali dan Lombok atau di sekitaran Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 572.
Sayangnya Hiu dan pari di Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang kritis, baik spesies yang hidup daerah terumbu karang atau di wilayah samudera karena mengalami penurunan populasi yang signifikan. Spesies hiu, pari, dan chimera terancam punah karena penangkapan ikan yang berlebihan, baik dengan sengaja maupun tidak.
Pemanfaatan ikan hiu-pari
Hiu-pari merupakan salah satu biota laut yang amat bernilai, dagingnya dapat dijadikan bahan pangan bergizi tinggi, siripnya untuk ekspor, dan kulitnya dapat diolah menjadi bahan industri kerajinan kulit berkualitas tinggi, serta minyak hiu sebagai bahan baku farmasi atau untuk ekspor.
Tanpa kecuali gigi, empedu, isi perut, tulang, insang dan lainnya masih dapat diolah untuk berbagai keperluan seperti bahan lem, ornamen, pakan ternak, bahan obat dan lain-lain.
WWF Indonesia melaporkan pada tahun 2014, konsumsi sirip hiu di Jakarta sendiri terhitung setidaknya 15.000 kg per tahun. Jakarta Fisheries University juga menyebutkan bahwa hiu di perairan laut Indonesia adalah bisnis besar yang tersembunyi.
Harga satu kilogram sirip hiu pada tahun 2007 saja mencapi 660 dolar AS di pasaran Asia, dengan nilai ekspor produk mencapai 13 juta dolar AS setiap tahun. Harga itulah yang menggiurkan nelayan Indonesia untuk memburu hiu dan menjualnya terutama ke Taiwan, Hongkong, dan China.
Tingginya permintaan terhadap ikan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia, pada akhirnya menuntut kebijakan pemanfaatan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan. Hal ini bermaksud untuk menjaga populasi ikan, khususnya spesies hiu dan pari agar tidak menuju ambang kepunahan.
Menjaga Populasi Hiu, Menjaga Masa Depan Indonesia
Regulasi konservasi hiu-pari di perairan Indonesia
Pengaturan tentang pemanfaatan hiu dan pari pertama kali diluncurkan pada 1999, melalui peraturan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dimana dalam peraturannya, ikan pari gergaji menjadi jenis yang dilindungi secara penuh, sedangkan jenis hiu dan pari lainnya masih dapat dimanfaatkan secara bebas.
Seiring berjalannya waktu, regulasi tentang penetapan perlindungan jenis hiu dan pari terus diperluas. Seperti halnya, pada 2013 disusul dengan status penetapan perlindungan ikan hiu paus dan pada 2014 terhadap hiu koboi dan hiu martil. Pada tahun 2014 juga, dikeluarkan Kepmen KP nomor 4/KEPMEN-KP/2014 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Pari Manta.
Adapun tantangan terbesar dari penyusunan regulasi konservasi terkait hiu dan pari di Indonesia adalah pengumpulan informasi ilmiah mengenai sumber daya ikan tersebut. Menurut CEO Yayasan WWWF Indonesia, Dicky P. Simorangkir, basis kajian ilmiah terkait populasi dan perilaku spesies hiu dan pari harus dikumpulkan agar regulasi nantinya kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Lewat simposium hiu dan pari ini kami harap dapat mengumpulkan banyak informasi mengenai populasi dan perilaku spesies ini dari seluruh pelosok dunia. Laut kita sangat luas, kita perlu berkolaborasi dari semua pihak, mulai dari nelayan, petugas penyuluh perikanan, mahasiswa, sampai pengelola wisata bersama hiu,” ujarnya dikutip greeners.co (10/4/2021).
Peta persebaran enumerator hiu-pari di Indonesia
Untuk menjaga habitat penting dan populasi hiu-pari di Indonesia, Yayasan WWF Indonesia melakukan upaya konservasi melalui beberpa strategi-strategi, salah satunya Pengumpulan Enumerasi atau Pendataan pendaratan hiu dan pari di beberapa lokasi di Indonesia
Enumerator menjadi bagian penting dari kegiatan perlindungan dan pemanfaatan hiu dan pari di perairan Indonesia. Dengan fungsinya, sebagai konsultan yang melakukan pengumpulan data hiu dan pari. Maka diharapkan hasil penelitian nantinya dapat meningkatkan keakurasian data informasi perikanan nasional dan regional.
Yayasan WWF Indonesia menjadi salah satu yang berkomitmen mendukung upaya penyediaan data mengenai hiu dan pari. Organisasi nirlaba tersebut telah melakukan program enumerasi di berbagai lokasi di Indonesia sejak tahun 2014.
Tercatat, lebih dari 50 enumerator dari 27 Universitas di Indonesia yang tersebar di 12 lokasi untuk melakukan penelitian. Persebaran enumerator hiu-pari di Indonesia pun telah menghasilkan lebih dari 30 kajian ilmiah, baik dipublikasin berupa skripsi, thesis, prosiding, maupun jurnal.
Penulis: Iip M Aditiya