Dalam beberapa bulan terakhir, polusi udara di Jakarta dan sekitarnya telah menjadi permasalahan serius. Buruknya kualitas udara di ibukota Indonesia yang terkenal sebagai salah satu kota metropolitan terpadat di dunia tentu merupakan momok yang menakutkan bukan hanya bagi pemerintah, namun juga masyarakat.
Dampak yang dihasilkan dari tingginya paparan polusi udara di Jakarta salah satunya adalah melonjaknya angka pasien yang menderita penyakit infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA.
Mengutip Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes), ISPA merupakan infeksi yang terjadi di saluran pernapasan dan dapat menimbulkan gejala batuk, pilek, hingga demam. Penyakit ini sangat mudah menular dan dapat dialami oleh siapa saja, termasuk bayi, anak-anak, dan lansia.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta, dilaporkan telah terjadi sebanyak 638.291 kasus ISPA di wilayah Jakarta sepanjang periode Januari-Juni 2023. Jika dirinci, tercatat ada 102.609 kasus ISPA selama Januari 2023, yang kemudian melonjak menjadi 104.638 pada bulan berikutnya. Pada bulan Maret 2023, jumlahnya terpantau bertambah menjadi 119.734 kasus.
Angkanya lalu menurun pada bulan April 2023, yakni sebanyak 109.705 kasus. Pada Mei 2023, jumlahnya terus menurun menjadi 99.130 kasus, namun kembali naik menjadi 102.475 kasus pada bulan Juni 2023.
Sejalan dengan tingginya kasus ISPA di Jakarta, Ketua Komite Penanggulangan Penyakit Respirasi dan Dampak Polusi Udara Agus Dwi Susanto menyebutkan jika jumlah penyakit respirasi atau ISPA di Jabodetabek tercatat telah meningkat mencapai 200.000 kasus per Agustus 2023.
“Kita punya data yang disampaikan oleh Pak Dirjen, bulan Agustus mendekati di atas 200 ribu kasus. Ini seiring dengan peningkatan polutan yang ada di DKI Jakarta. Tentunya, ini memberikan pola bahwa ketika peningkatan polutan, terjadilah kasus ISPA,” terang Agus dikutip dari Kompas.com.
Kemenkes siapkan fasilitas kesehatan untuk tangani dampak polusi udara
Kemenkes telah menyiapkan sebanyak 740 fasilitas kesehatan yang dapat mengangani masyarakat apabila terjangkit penyakit ISPA akibat polusi udara. Upaya tersebut merupakan respons atas tingginya polusi udara di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Menteri Kesehatan, Budi Sadikin mengungkapkan bahwa 740 fasilitas kesehatan tersebut terdiri dari 674 Puskesmas, 66 rumah sakit, dan 1 rumah sakit persahabatan sebagai pusat respirasi nasional di Jabodetabek.
“Kita sudah meminta organisasi profesi dan kolegium dokter spesialis paru untuk mendidik dokter-dokter Puskesmas agar paham tentang penyakit paru,” ujar Menkes Budi dikutip dari laman Kemenkes.
Lebih lanjut, 674 Puskesmas yang disiapkan untuk menangani masyarakat yang terdampak polusi udara tersebar ke beberapa Kabupaten/Kota. Rinciannya adalah, sebanyak 333 unit berada di DKI Jakarta, 44 Puskesmas berlokasi di Kabupaten Tangerang, 39 ada di Kota Tangerang, 38 di Kota Depok, 25 unit di Kota Bogor, 101 di Kabupaten Bogor, 48 di Kota Bekasi, dan 46 di Kabupaten Bekasi.
Selain menyiapkan fasilitas kesehatan, Menkes Budi juga memaparkan bahwa pihaknya aktif melakukan kegiatan upaya promotif dan preventif dengan memberikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai tanda-tanda gejala penyakit ISPA.
Bagaimana upaya pemerintah Indonesia dalam menangani polusi udara?
Polusi udara menjadi salah satu ancaman lingkungan terbesar bagi kesehatan manusia selain perubahan iklim. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) memasukkan polusi udara dalam daftar ancaman lingkungan terbesar di dunia.
Pemerintah tentu memiliki beberapa kebijakan untuk mengatasi hal ini, di antaranya adalah penerapan sistem Work From Home (WFH) bagi para Aparatur Sipil Negara (ASN), penghentian operasi di ebebrapa instansi terkait, penciptaan hujan buatan, hingga penyiraman di sepanjang jalan.
Sayangnya, sejumlah kebijakan tersebut belum dapat dinilai sukses karena buruknya kualitas udara dari hari ke hari. Adapun, WHO membagikan sejumlah langkah yang dapat diterapkan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan polusi udara.
Di antaranya adalah rutin melakukan monitor kualitas udara serta transisi ke energi bersih. Penggunaan energi bersih seperti tenaga surya, angin, dan air sangat diperlukan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.
Selain itu, WHO juga merekomendasikan peningkatan penggunaan transportasi umum. Tentunya, sudah bukan rahasia umum bahwa permasalahan pencemaran udara di Jakarta terutama disebabkan oleh asap dari kendaraan. Sehingga, pemerintah harus menerapkan kebijakan pemakaian transportasi publik dan memfokuskan angkutan umum sebagai sarana transportasi sehari-hari.
Di samping itu, terdapat beberapa rekomendasi untuk mengurangi polusi udara, yakni upaya penanaman pohon dan mengurangi limbah. Adapun, upaya untuk mengurangi sampah dapat dilakukan dengan cara mendaur ulang dan membuat kompos.
Penulis: Nada Naurah
Editor: Iip M Aditiya