Beberapa waktu ke belakang, ramai pembicaraan di media sosial X (Twitter) mengenai generasi Z yang disebut-sebut tidak bisa bekerja dengan benar. Topik tersebut menjadi masif diperbincangkan setelah ada akun yang mengungkapkan emosinya pada unggahan di sebuah komunitas di X mengenai gen Z yang tidak dapat bekerja dengan benar.
“GEN Z ADA YANG BISA KERJA BENER GA SIH 😡👹👹😡,” cuit pengguna akun X dengan nama @edhldra pada Kamis (14/11/2024), lengkap dengan huruf kapital beserta emoji marah.
Dalam cuitan yang dibuat menjadi sebuah utas tersebut, pengguna @edhldra menyebutkan bahwa selalu ada jadwal sakit bagi para generasi Z di kantornya pada setiap minggunya. Ia menambahkan bahwa gen Z juga seringkali tidak melaporkan hasil pekerjaannya jika tidak ditanya, tetapi langsung pulang begitu saja. Saat pekerjaan membutuhkan banyak koordinasi pun gen Z malah memasang headset-nya di telinga.
Cuitan tersebut seketika menjadi viral dan mendapat tanggapan dari banyak pihak. Banyak yang menilai bahwa akun dengan nama pengguna @edhldra tersebut terlalu menggeneralisasi gen Z, padahal tidak semua gen Z bersifat demikian.
“Bermasalah dengan segelintir orang, tapi yang disalahkan satu generasi,” cuit akun X dengan nama pengguna @sufisijawara, menyanggah hal tersebut.
Akun lain dengan nama pengguna @muhabdel mengatakan hal serupa. Ia menyarankan agar perusahaan juga membuka lowongan pekerjaan untuk seseorang dengan usia di atas 30 tahun, alih-alih hanya membuka lowongan untuk orang usia kurang dari 25 tahun yang didominasi oleh gen Z.
“Kalo emang ga percaya gen Z, suruh HR buat ngebuka loker buat 30+, jangan nyalahin gen Z mulu, tapi open hiring yang bisa daftar cuma gen Z. Ya sama aja. Gen Z itu banyak yang oke, kebetulan kamu dapat yang jelek,” ungkapnya.
Melihat diskursus yang terjadi di dunia maya mengenai problematika gen Z di dunia kerja tersebut, lantas apakah benar gen Z tidak bisa bekerja? Lalu, apa alasan umum dari perusahaan jika memecat karyawan yang merupakan gen Z?
Alasan Perusahaan Memecat Karyawan Gen Z
Sebuah survei yang dilakukan oleh Intelligent dengan melibatkan 966 pemimpin perusahaan yang menjadi pengambil keputusan perekrutan gen Z lulusan perguruan tinggi, mengungkapkan bahwa sebagian besar perusahaan (75%) yang merekrut gen Z tidak puas dengan hasil pekerjaan mereka.
Lebih lanjut, 9 dari 10 manajer juga mengatakan bahwa lulusan perguruan tinggi (yang didominasi gen Z) harus belajar pelatihan etika terlebih dahulu sebelum masuk dunia kerja. Sebanyak 1 dari 7 perusahaan pun mengungkapkan bahwa mereka akan menahan dulu untuk merekrut dan mempekerjakan gen Z tahun depan.
Survei tersebut turut menyertakan hal-hal apa saja yang menjadi pertimbangan atau alasan perusahaan dalam memecat gen Z. Adapun infografik selengkapnya adalah sebagai berikut.
Baca Juga: Lingkungan Kerja yang Nyaman Buat Gen Z Enggan Resign
Data di atas menunjukkan sejumlah alasan mengapa perusahaan memecat karyawan gen Z. Beberapa alasan tersebut adalah kurangnya motivasi atau inisiatif (50%), kurangnya profesionalisme (46%), keterampilan berorganisasi yang buruk (42%), keterampilan komunikasi yang buruk (39%), dan kesulitan menerima feedback (38%).
Lebih lanjut, alasan-alasan lain perusahaan ketika memecat karyawan gen Z adalah kurangnya pengalaman kerja gen Z yang relevan (38%), keterampilan pemecahan masalah atau problem solving yang buruk (34%), keterampilan teknis yang tidak memadai (31%), ketidakcocokan budaya (31%), serta kesulitan bekerja dalam tim (30%).
Sebanyak 79% perusahaan mengakui bahwa mereka menempatkan karyawan yang kurang profesional tersebut ke dalam rencana peningkatan kinerja, sedangkan 60% perusahaan melaporkan bahwa karyawan yang kurang profesional tersebut akhirnya dipecat. Kepala Penasihat Pendidikan dan Pengembangan Karier Intelligent Huy Nguyen pun mengungkapkan pendapatnya mengenai fenomena ini.
“Banyak lulusan perguruan tinggi yang baru saja lulus mungkin kesulitan masuk dunia kerja untuk pertama kali karena hal ini bisa jadi sangat berbeda dari apa yang mereka jalani di perkuliahan/saat masih sekolah. Mereka seringkali tidak siap dengan lingkungan yang kurang terstruktur, dinamika budaya di tempat kerja, dan ekspektasi untuk bekerja secara mandiri,” ungkap Huy Nguyen, melansir Intelligent.
Huy Nguyen menambahkan bahwa meskipun lulusan perguruan tinggi mungkin memiliki kemampuan teoritis yang baik, mereka sering tidak memiliki kemampuan praktis, pengalaman di dunia nyata, dan keterampilan khusus (soft skill) yang diperlukan untuk berhasil di dunia kerja.
Ditambah ekspektasi yang didapatkan para lulusan perguruan tinggi gen Z dari para pekerja berpengalaman, hal tersebut dapat menciptakan tantangan bagi para lulusan baru gen Z di tempat mereka bekerja. Lantas, apakah gen Z seburuk itu di dunia kerja?
Cap Buruk Gen Z di Dunia Kerja Hanya Stereotype Semata
Seto, salah satu HRD di sebuah perusahaan di Jakarta, mengungkapkan bahwa penilaian mengenai gen Z yang mendapat cap buruk di dunia kerja tersebut serampangan. Alih-alih profesional, penilaian tersebut cenderung bersifat personal, padahal dalam dunia kerja, penilaian tersebut memiliki indikator tersendiri, seperti key performance indicator (KPI) dan standard operating procedure (SOP).
Dengan begitu, stereotype bahwa gen Z tidak becus bekerja tidak valid karena standar penilaian yang tidak jelas.
Berkaitan dengan attitude dan etika gen Z di dunia kerja, Seto menambahkan bahwa masyarakat juga tidak boleh sembarangan menghakimi gen Z. Alih-alih menghakimi, SPV dan koordinator dapat me-monitoring dan mengingatkan mereka.
“Selayaknya orang yang baru terjun di dunia kerja, pada umumnya, gen Z juga butuh arahan. Fair saja, kalau keliru, beri arahan. Kalau benar, beri apresiasi,” ucap Seto, seperti yang dilansir dari Mojok.
Seto juga mengatakan bahwa menurut pengalaman pribadinya, di generasi milenial atau generasi sebelumnya di dunia kerja, ditemui juga orang-orang dengan kelakuan yang buruk. Hanya saja, Seto tidak mau memukul rata kelakuan segelintir orang tersebut kemudian mengecap buruk satu generasi.
Pada dasarnya recruiter di perusahaan akan tetap memproses lamaran seseorang menurut kualifikasi yang dibutuhkan perusahaan secara profesional. Para HRD dan recruiter tidak bisa memberikan bias tertentu pada generasi Z.
“Kalaupun memaksakan seperti itu (tidak suka gen z), sayang banget, malah bisa buang-buang kandidat yang barangkali potensial mengisi suatu posisi yang dibutuhkan,” ujar seto, mengutip Mojok.
Baca Juga: Cari Kerja Kian Pelik, 70% Gen Z Akui Minta Bantuan Orang Tua
Penulis: Elvira Chandra Dewi Ari Nanda
Editor: Editor