Bekerja dapat dilihat melalui 2 sudut pandang yaitu sebagai kebutuhan intelektual atau sekadar tuntutan ekonomi. Namun, tidak terelakan bila rutinitas pekerjaan terkadang menghadirkan rasa jenuh.
Lalu perdebatan hadir ke permukaan mengenai batas waktu kerja ideal yang dapat dijalani manusia dalam 1 hari. Beberapa berpendapat bila jam kerja yang ekstrem dapat menghadirkan kemajuan pada negara.
Namun beberapa negara maju justru memberlakukan jam kerja yang sangat minimalis karena dinilai dapat meningkatkan produktivitas serta mengurangi tingkat stres.
Mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, waktu kerja yang ditetapkan di Indonesia ialah selama 40 jam dalam 1 minggu, yang mana setara dengan 7 jam dalam 1 hari untuk 6 hari kerja atau 8 jam dalam 1 hari untuk 5 hari kerja.
Ketentuan waktu kerja di Indonesia mengacu pada standar ketenagakerjaan internasional yang diadopsi dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), Konvensi Empat Puluh Jam, 1935 Nomor 47.
Lebih lanjut dalam UU Cipta Kerja pasal 81 nomor 21 menyatakan bahwa pelaksanaan jam kerja bagi pekerja atau buruh di perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Kendati UU Ketenagakerjaan dan Cipta Kerja telah menetapkan durasi kerja di Indonesia selama 40 jam per minggu, namun kenyataan di lapangan menunjukkan minimnya penerapan jam kerja sesuai dengan peraturan.
Beberapa negara sudah terapkan jam kerja pendek
Sebuah survei dilakukan oleh Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) pada tahun 2021 untuk mendata jam kerja di masing-masing negara. Hasilnya, mayoritas negara di Benua Eropa dan negara maju sudah menerapkan jam kerja pendek.
Lebih lanjut, menurut data OECD rata-rata negara maju memiliki rentang jam kerja hanya 26 hingga 35 jam per minggu. Hal ini tentunya berbeda dengan peraturan di Indonesia yang menetapkan aturan waktu kerja 40 jam per minggu.
Perbedaan kondisi sumber daya manusia dan jenis pekerjaan menjadi faktor penyebab waktu kerja di Indonesia tergolong lebih lama dibandingkan negara-negara tersebut. Sebagaimana yang tercantum dalam UU Cipta Kerja pasal 81 nomor 21 ayat 3 menyatakan bahwa ketentuan waktu kerja tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Jika melihat kondisi di lapangan, pekerja sektor tertentu ini jumlahnya masih mendominasi di Indonesia.
Selain itu, pemanfaatan teknologi untuk memudahkan pekerjaan belum semasif dan seoptimal negara-negara di atas, sehingga banyak perusahaan maupun sektor lapangan pekerjaan lainnya di Indonesia yang masih bertumpu pada tenaga manusia. Hal-hal tersebut menjadi pemicu alasan di balik masih banyaknya para pekerja di Indonesia yang bekerja lebih 40 jam per minggu.
Jam kerja terlalu tinggi kontraproduktif dengan efektivitas
Mengutip dari Forbes, John Pencavel, peneliti dari Stanford University mengungkapkan bahwa output bekerja selama 70 jam per minggu hanya memiliki selisih relatif sedikit dibandingkan bekerja selama 56 jam per minggu. Jika meninjau hasil studi di atas, sisa waktu 14 jam dapat dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan penunjang kesehatan serta kesejahteraan psikologis pekerja seperti istirahat maupun memperoleh hiburan.
Lebih lanjut Travis Bradberry, pakar intelegensi emosional mengungkapkan bahwa waktu kerja selama 8 jam per hari sudah tidak efektif lagi. Pada abad ke-18, sistem kerja 8 jam per hari diterapkan sebagai upaya untuk mengurangi jam kerja manual para pekerja pabrik. Sistem tersebut sudah terlampau usang dan sepatutnya diperbaharui sesuai dengan kondisi lingkungan pekerjaan di era yang sudah lebih mengedepankan optimasi teknologi seperti saat ini.
Penambahan jam kerja justru akan menimbulkan dampak negatif dari sisi psikologis pekerja seperti stres hingga berujung burnout. Lebih lanjut, studi yang dilakukan oleh Melbourne Institute of Applied Economic and Social Research menunjukkan bahwa pekerja berusia di atas 40 tahun yang memiliki waktu kerja lebih dari 25 jam per minggu rentan mengalami gangguan fungsi kognitif seperti fungsi ingatan, bahasa, serta kemampuan fokus yang diakibatkan oleh faktor stres dan kelelahan.
Studi yang dilakukan di Indonesia pun juga menunjukkan argumen serupa. Triyono, S.Sos selaku Peneliti Ketenagakerjaan Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan bahwa penambahan jam kerja tidaklah efektif apabila meningkatkan produktivitas menjadi tujuan dari perusahaan.
Opsi yang dapat ditawarkan untuk meningkatkan produktivitas pekerja ialah dengan penguatan kapasitas dan keterampilan pekerja. Menurut hasil survei LIPI, keterampilan adalah kunci untuk mampu bersaing dengan kompetitor dari negara lain.
Solusi berikutnya yang diutarakan Triyono ialah dengan memupuk rasa percaya pekerja melalui alokasi jaminan sosial, perlindungan kesehatan, dan keselamatan kerja (K3) dari perusahaan. Melalui rasa percaya yang dibangun pada pekerja diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran diri dan mendongkrak keinginan pekerja untuk memberi kontribusi maksimal terhadap perusahaan.
Kontribusi seluruh pihak baik perusahaan maupun pemerintah dalam meningkatkan produktivitas pekerja melalui pemberdayaan SDM dan teknologi menjadi kunci agar mampu mendongkrak efektivitas serta output dari masing-masing perusahaan.
Melihat realita situasi para pekerja di Indonesia, rasanya dibutuhkan evaluasi lebih lanjut mengenai pengelolaan waktu kerja agar mampu meningkatkan efektivitas, produktivitas, serta kesejahteraan pekerja sehingga ke depannya perusahaan juga memperoleh timbal balik berupa output yang lebih berkualitas.
Penulis: Diva Angelia
Editor: Iip M Aditiya