Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 akan segera digelar di berbagai wilayah di Indonesia. Sebagai bagian dari siklus demokrasi, Pilkada menjadi momen penting bagi masyarakat untuk menentukan arah pembangunan di daerah mereka.
Namun, di balik euforia demokrasi, selalu ada tantangan yang mengiringi pelaksanaannya, termasuk isu-isu kecurangan yang kerap mencuat dan menjadi perhatian serius berbagai pihak.
Tingginya potensi kerawanan dalam Pilkada berbeda-beda di setiap daerah. Perbedaan ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Beberapa daerah memiliki riwayat konflik politik yang panjang, sementara daerah lain mungkin menghadapi tantangan berupa tekanan kelompok tertentu atau penyalahgunaan wewenang oleh oknum pejabat.
Faktor-faktor ini membuat tingkat kerawanan Pilkada tidak bisa disamaratakan, melainkan perlu diidentifikasi secara spesifik di setiap wilayah.
Indikator kerawanan Pilkada meliputi berbagai aspek, mulai dari pelanggaran kode etik, intimidasi, hingga isu SARA.
"Ada indikator terhadap pelanggaran kode etik, intimidasi, ancaman kekerasan kemudian ada indikator yang sifatnya melihat dari hubungan relasi kekerabatan, ada indikator yang fokus pada isu SARA dan sebagainya, ada indikator juga yang berkaitan dengan isu-isu sensitif di wilayah, isu-isu yang dinamis," ungkap Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya Sugiarto, mengutip CNN.
Dalam beberapa kasus, kerawanan bisa meningkat akibat lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan tahapan pemilu, sehingga membuka celah terjadinya manipulasi hasil atau intimidasi terhadap pemilih.
Berdasarkan laporan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), DKI Jakarta menempati posisi tertinggi dengan indeks kerawanan mencapai 88,95%. Sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi, dinamika politik di Jakarta sering kali mencerminkan kompleksitas nasional.
Tingginya tingkat kerawanan ini dipengaruhi oleh intensitas kompetisi antar-kandidat yang sering melibatkan kepentingan kelompok besar, ditambah tingginya eksposur media yang dapat memperburuk polarisasi di masyarakat.
Sementara itu, Sulawesi Utara berada di peringkat kedua dengan tingkat kerawanan sebesar 87,48%. Provinsi ini dikenal memiliki dinamika politik lokal yang cukup dinamis, termasuk pengaruh kuat elite politik daerah dan potensi konflik antar-pendukung kandidat.
Selain itu, faktor geografis yang mencakup wilayah kepulauan juga menjadi tantangan tersendiri dalam memastikan penyelenggaraan Pilkada yang jujur dan adil.
Maluku Utara menyusul dengan tingkat kerawanan 84,86%. Kondisi serupa dengan Sulawesi Utara, wilayah ini juga menghadapi tantangan geografis yang memengaruhi distribusi logistik Pilkada.
Ditambah lagi, potensi konflik horizontal berbasis etnis atau agama yang pernah terjadi di masa lalu masih menjadi bayang-bayang dalam proses demokrasi di provinsi ini.
Di Jawa Barat dan Kalimantan Timur, tingkat kerawanan masing-masing mencapai 77,04%. Jawa Barat, sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, menghadapi tantangan berupa politik uang dan tekanan dari kelompok-kelompok tertentu yang memiliki pengaruh besar di tingkat lokal.
Sementara itu, Kalimantan Timur, yang akan menjadi lokasi ibu kota negara baru, turut menghadapi dinamika politik yang kompleks, terutama terkait pergeseran kekuasaan dan kepentingan pembangunan strategis.
Provinsi Banten dan Lampung juga menunjukkan tingkat kerawanan yang cukup tinggi, masing-masing sebesar 66,53% dan 64,61%.
Banten sering kali diwarnai dengan konflik politik lokal yang melibatkan elite-elite besar, sedangkan Lampung memiliki tantangan berupa potensi politik uang dan akses informasi yang tidak merata di beberapa wilayah pedesaan.
Riau, dengan tingkat kerawanan 62,59%, menghadapi tantangan berupa pengaruh kuat oligarki lokal serta potensi intimidasi terhadap pemilih di beberapa daerah.
Kondisi serupa juga terjadi di Papua, yang meskipun tingkat kerawanannya lebih rendah yaitu 57,27%, namun tetap membutuhkan perhatian khusus karena sering menghadapi hambatan dalam distribusi logistik akibat medan yang sulit serta potensi konflik horizontal.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), tingkat kerawanan mencapai 56,75%. Wilayah ini menghadapi tantangan berupa pendidikan politik masyarakat yang masih rendah serta distribusi logistik yang sering terkendala oleh infrastruktur yang terbatas.
Meskipun tingkat kerawanannya tidak setinggi daerah lain, hal ini tetap membutuhkan pengawasan yang ketat untuk memastikan Pilkada berlangsung dengan baik.
Data ini menunjukkan bahwa setiap daerah memiliki karakteristik kerawanan yang berbeda-beda.
Dengan pemetaan kerawanan yang jelas, diharapkan langkah-langkah strategis dapat diambil untuk meminimalkan potensi gangguan, sehingga Pilkada Serentak 2024 dapat berjalan lancar dan mencerminkan nilai-nilai demokrasi.
Baca Juga: Pilkada 2024 dan Dinamika Politik Uang di Dalamnya
Penulis: Brilliant Ayang Iswenda
Editor: Editor