Daya beli merupakan salah satu indikator penting yang mencerminkan kekuatan ekonomi suatu masyarakat, khususnya bagi kelas menengah yang memegang peranan signifikan dalam perekonomian.
Secara umum, daya beli adalah kemampuan individu atau kelompok untuk membeli barang dan jasa sesuai dengan pendapatan yang dimilikinya.
Dalam beberapa waktu terakhir, daya beli masyarakat, terutama pada kelas menengah, mengalami penurunan yang cukup mencolok. Hal ini berdampak langsung pada pola konsumsi, di mana masyarakat cenderung lebih selektif dalam membelanjakan pendapatan mereka.
Kelas menengah yang selama ini menjadi motor penggerak ekonomi karena kontribusi besar mereka dalam sektor konsumsi, mulai merasakan penurunan dalam kemampuan belanjanya. Penurunan ini bukan hanya terlihat pada kebutuhan tersier, tetapi mulai merambah pada pengeluaran primer.
Dalam banyak kasus, masyarakat kelas menengah harus menyesuaikan pola hidup mereka, baik dalam hal konsumsi sehari-hari maupun rencana jangka panjang seperti investasi atau tabungan. Akibatnya, terjadi perubahan signifikan dalam pola konsumsi, di mana mereka menjadi lebih berhati-hati dalam mengatur keuangan.
Penurunan daya beli masyarakat kelas menengah di Indonesia tampak jelas dari beberapa faktor yang tercermin dalam survei terbaru yang diselenggarakan oleh Inventure.
Berdasarkan survei ini, salah satu alasan terbesar menurunnya daya beli adalah lonjakan harga kebutuhan pokok yang diungkapkan oleh 85% responden.
Kenaikan harga kebutuhan dasar ini membuat masyarakat kelas menengah harus mengalokasikan lebih banyak penghasilan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pengeluaran ini menekan anggaran keluarga yang sebelumnya bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain.
Selain kebutuhan pokok, 52% responden mengungkapkan biaya pendidikan dan kesehatan terus meningkat yang juga menjadi beban tambahan bagi kelas menengah. Pendidikan berkualitas dan layanan kesehatan yang memadai kini semakin sulit dijangkau tanpa pengeluaran yang lebih besar.
Survei juga menunjukkan bahwa pendapatan kelas menengah cenderung stagnan, dengan 45% responden mengalami kondisi ini. Meskipun harga kebutuhan meningkat, tidak banyak peningkatan pada pendapatan yang dapat mendukung daya beli masyarakat.
Hal ini menyebabkan mereka merasa sulit untuk mengejar kenaikan biaya hidup. Di sisi lain, ancaman PHK yang meningkat serta lapangan kerja yang terbatas, dialami oleh 37% responden, turut memperbesar kekhawatiran di kalangan masyarakat kelas menengah akan stabilitas ekonomi pribadi dan kemampuan untuk menjaga pengeluaran.
Selain itu, peningkatan pajak yang dirasakan oleh 31% responden semakin menekan penghasilan yang diterima bersih oleh kelas menengah. Peningkatan pajak ini menjadi tantangan tersendiri, mengingat banyak di antara penduduk kelas menengah yang sudah terbebani dengan berbagai pengeluaran tinggi.
Kondisi ini diperburuk oleh hutang yang semakin menumpuk, sebagaimana disebutkan oleh 27% responden. Banyak keluarga kini terpaksa berhutang untuk mempertahankan standar hidup yang sebelumnya, meskipun harus mengorbankan stabilitas finansial jangka panjang.
Terakhir, kenaikan suku bunga cicilan juga menjadi faktor penting yang menambah tekanan finansial bagi 23% responden masyarakat kelas menengah. Kenaikan suku bunga ini membuat biaya cicilan menjadi lebih mahal, baik untuk kredit kepemilikan rumah, kendaraan, maupun kebutuhan lain yang sebelumnya terjangkau.
Survei Inventure yang dilakukan secara langsung dengan melibatkan 450 responden dari berbagai kota besar seperti Jabodetabek, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar ini, mencerminkan betapa kompleksnya tantangan yang dihadapi kelas menengah saat ini dalam mempertahankan daya beli di tengah ekonomi yang penuh tekanan.
Baca Juga: Deflasi Berkepanjangan Tanda Lemahnya Daya Beli Konsumen
Penulis: Brilliant Ayang Iswenda
Editor: Editor