Kesehatan mental adalah salah satu aspek penting dari kesejahteraan secara keseluruhan, namun sering kali terabaikan dalam kesibukan hidup sehari-hari. Di tengah tuntutan hidup yang semakin kompleks, terutama dalam dunia kerja modern, stres menjadi fenomena yang hampir tidak bisa dihindari.
Tekanan deadline, tanggung jawab yang menumpuk, lingkungan kerja yang kurang mendukung, hingga ketidakjelasan prospek karier, semuanya dapat menjadi pemicu stres yang berkelanjutan. Jika tidak dikelola dengan baik, stres yang berasal dari pekerjaan ini bisa berujung pada gangguan kesehatan mental yang serius, seperti kecemasan, burnout, bahkan depresi.
Dampak stres akibat pekerjaan tidak hanya terbatas pada aspek emosional, tetapi juga memengaruhi fisik dan kehidupan sosial seseorang. Dalam konteks sosial, stres juga bisa mengganggu hubungan dengan keluarga, pasangan, dan teman.
Data dari survei dalam laporan 2025 Mind Health Report: Mind Your Health dilakukan oleh AXA, dampak stres paling umum adalah gangguan tidur, dengan 38% responden mengalami kesulitan tidur.
Masalah ini sangat serius karena kurang tidur tidak hanya menurunkan produktivitas, tetapi juga berpengaruh besar terhadap kesehatan fisik dan mental secara keseluruhan. Gangguan tidur sering kali menjadi gejala awal dari stres yang lebih dalam dan berkepanjangan.
Selain itu, 32% responden mengalami sakit kepala atau otot tegang, sementara 31% mengaku menjadi lebih mudah marah. Reaksi fisik dan emosional ini menunjukkan bagaimana stres kerja tidak hanya membebani mental, tetapi juga memengaruhi kondisi tubuh dan kestabilan emosi.
Ketegangan otot dan sakit kepala, misalnya, merupakan manifestasi dari stres yang tak tertangani, dan kondisi ini bisa berujung pada kelelahan kronis jika terus dibiarkan. Sementara itu, meningkatnya kecenderungan untuk marah bisa memperburuk hubungan antar kolega maupun keluarga.
Stres juga berdampak pada motivasi dan kemampuan kognitif. Sekitar 30% responden merasa demotivasi, dan 24% mengalami kesulitan berkonsentrasi. Ketika seseorang kehilangan motivasi dan kesulitan fokus, kinerja kerja pun akan menurun, yang ironisnya justru dapat memperparah stres itu sendiri.
Tak kalah penting, stres kerja juga memengaruhi kehidupan sosial dan gaya hidup seseorang. Sebanyak 18% responden mengalami gangguan dalam hubungan pribadi dan perubahan nafsu makan.
Dalam jangka panjang, gangguan ini bisa memperburuk kondisi mental seseorang karena hilangnya dukungan sosial dan terganggunya pola hidup sehat. Bahkan, beberapa individu mengandalkan konsumsi kafein atau alkohol (12%) sebagai pelarian, dan sebagian lainnya (9%) mulai sering absen, bolos, atau datang terlambat ke tempat kerja.
Berdasarkan data dari survei AXA tahun 2024 tersebut, masyarakat global paling banyak mengandalkan tenaga kesehatan sebagai sumber informasi utama terkait kesehatan mental, yaitu sebesar 52%. Ini menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap profesional seperti psikolog dan psikiater masih sangat tinggi.
Di samping itu, sebanyak 41% responden mengakses informasi dari sumber online, menandakan peran besar internet dalam menyediakan edukasi kesehatan mental secara cepat dan luas. Sumber informasi lain yang cukup signifikan adalah teman dan keluarga (36%), serta media sosial (31%).
Namun, yang menarik untuk dicermati adalah bahwa hanya 14% responden yang menjadikan tempat kerja sebagai sumber informasi kesehatan mental. Angka ini memperkuat kesenjangan yang sebelumnya ditunjukkan dalam data dampak stres kerja, di mana stres banyak muncul dari lingkungan kerja, namun justru minim solusi atau dukungan yang datang dari institusi tempat bekerja itu sendiri.
Padahal, perusahaan memiliki potensi besar sebagai garda terdepan dalam membangun budaya kerja yang sehat secara mental, misalnya dengan menghadirkan program konseling, pelatihan manajemen stres, hingga ruang diskusi psikologis.
Adapun survei ini dilakukan pada 17.000 responden berusia antara 18 hingga 75 tahun yang tersebar di 16 negara, meliputi Amerika Serikat, Meksiko, Inggris, Irlandia, Prancis, Spanyol, Belgia, Jerman, Swiss, Italia, Turki, China, Jepang, Thailand, Hong Kong, dan Filipina.
Baca Juga: Perbandingan Tingkat Stres Kota-kota Besar di ASEAN
Penulis: Brilliant Ayang Iswenda
Editor: Editor