Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2023 lalu, persentase penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang melek huruf berada di angka 96,53 persen.
Selain itu, persentase penduduk 15 tahun ke atas di Indonesia yang telah mencapai wajib belajar 12 tahun (berijazah SMA) berada di angka 40,37 persen. Ketimpangan antara capaian pendidikan penduduk perkotaan dan perdesaan masih tampak jelas terlihat pada indikator ini.
Per Maret 2023, ada 24 provinsi yang Angka Melek Huruf (AMH) penduduknya berada di atas AMH nasional. AMH tertinggi dicatatkan di Sulawesi Utara dengan persentase sebesar 99,79 persen, mengungguli AMH di DKI Jakarta yang berada di urutan kedua sebesar 99,69 persen.
Selain 2 provinsi tersebut, ada 7 provinsi lain dengan AMH yang telah mencapai 99 persen, yakni Maluku (99,47 persen), Sumatra Barat (99,31 persen), Riau (99,18 persen), Sumatra Utara (99,17 persen), Kep. Riau (99,05 persen), Kalimantan Tengah (99,03 persen), dan Kalimantan Timur (99,01 persen).
Di sisi lain, ada 11 provinsi yang AMH penduduknya berada di bawah AMH nasional. Dua di antaranya masih memiliki AMH di bawah 90 persen, yakni Papua (84,22 persen) dan Nusa Tenggara Barat (89,11 persen).
Sementara, berdasarkan daerah tempat tinggalnya, hasil survei ini menunjukkan AMH penduduk perkotaan (97,94 persen) tercatat masih lebih tinggi dibanding AMH penduduk yang tinggal di perdesaan (94,54 persen).
Di perkotaan, persentase penduduk berusia 15 tahun ke atas yang telah memenuhi wajib belajar 12 tahun angkanya hampir setengah dari jumlah penduduk (49,16 persen). Sebanyak 13,21 persen di antaranya memiliki ijazah pendidikan tinggi.
Kontras, penduduk 15 tahun ke atas di perdesaan yang menyelesaikan wajib belajar 12 tahun persentasenya baru mencapai 27,98 persen. Sementara persentase penduduk 15 tahun ke atas di perdesaan yang memiliki ijazah pendidikan tinggi hanya sebesar 5,84 persen.
Per Maret 2023, tercatat penduduk 15 tahun ke atas di perkotaan paling banyak memegang ijazah tertinggi setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), yakni sebanyak 35,95 persen. Sementara di perdesaan, paling banyak memiliki ijazah tertinggi setingkat Sekolah Dasar (SD) di angka 31,13 persen.
Berdasarkan provinsinya, sebanyak 67,20 persen penduduk usia 15 tahun ke atas di DKI Jakarta telah menyelesaikan wajib belajar 12 tahun, tertinggi di antara provinsi lainnya. Sementara persentase terendah dicatatkan di Nusa Tenggara Timur sebesar 30,21 persen.
Selain itu, dalam skala nasional, persentase penduduk 15 tahun ke atas yang tidak memiliki ijazah pendidikan formal angkanya masih cukup tinggi yakni sebesar 12,26 persen.
Pada kategori ini ketimpangan antara perkotaan dan perdesaan cukup jelas terlihat, di mana di perdesaan angkanya mencapai 17,51 persen, 2 kali lipat dari persentase di perkotaan yang sebesar 8,55 persen.
Papua catatkan persentase tertinggi penduduk 15 tahun ke atas yang tidak memiliki ijazah, di angka 34,38 persen, diikuti Gorontalo sebanyak 23,38 persen. Sementara persentase terendah pada kategori ini terdapat di DKI Jakarta dengan angka 3,46 persen.
Kondisi timpang yang terjadi antara perkotaan dan perdesaan, antara wilayah barat dan wilayah timur Indonesia yang cukup kontras, masih menjadi satu isu yang disoroti dari proses pembangunan pendidikan nasional.
Di acara peringatan Hari Guru di Jakarta, Sabtu (25/11) lalu, Presiden RI Joko Widodo, dalam pidato resminya juga menyinggung terkait ketimpangan infrastruktur pendidikan ini.
"Saya kalau ke daerah mampir ke SMK, saya lihat SMK di sebuah kabupaten, kemudian saya bandingkan dengan SMK yang ada di kota memang gap-nya sarana prasarana memang sangat jauh berbeda," kata Jokowi, dikutip Liputan6.com.
Pada kesempatan itu ia juga mengingatkan Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, perlu mencari solusi untuk memecahkan permasalahan ketimpangan pembangunan pendidikan yang masih terjadi hingga saat ini.
Penulis: Raka B. Lubis
Editor: Iip M Aditiya