Rilis yang diterbitkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada 8 Mei 2022 menunjukkan adanya fenomena suhu panas di sejumlah wilayah Indonesia. Suhu panas ini lantas menimbulkan kepanikan bagi beberapa masyarakat karena dikaitkan dengan kejadian gelombang panas yang tengah terjadi di India.
Fenomena suhu panas yang terjadi pada awal Mei bertepatan dengan momentum Idulfitri 2022 ini banyak dikeluhkan oleh masyarakat. BMKG mencatat ada sekitar 2 hingga 8 stasiun cuaca BMKG yang melaporkan suhu udara maksimum mencapai lebih dari 35 derajat Celsius.
Namun masyarakat tidak perlu panik karena BMKG telah mengonfirmasi bahwa fenomena suhu panas di Indonesia belakangan ini tidak dikategorikan sebagai gelombang panas seperti yang terjadi di India. Suhu panas di Indonesia tidak memenuhi definisi kejadian ekstrim meteorologis dari Badan Meteorologi Dunia atau World Meteorological Organization (WMO).
Suhu panas yang wajar terjadi
Lebih lanjut BMKG mengungkapkan bahwa peningkatan suhu pada bulan Mei ini merupakan sesuatu yang wajar. Menurut analisis klimatologi, bulan April atau Mei dan September merupakan 2 periode di mana sebagian besar lokasi pengamatan suhu udara di Indonesia menunjukkan puncak suhu maksimum.
Hal tersebut dipengaruhi oleh posisi gerak semu matahari serta dominasi cuaca cerah awal atau puncak musim kemarau. Rekor suhu tertinggi di Indonesia diraih oleh daerah Larantuka di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mencatatkan suhu sebesar 40 derajat Celsius pada 5 September 2012.
Namun adanya anomali suhu yang lebih panas dibandingkan beberapa wilayah lainnya di Indonesia mengidikasikan terdapat faktor lain yang mengamplifikasi periode puncak suhu udara di beberapa wilayah tersebut.
Suhu panas di sebagian wilayah Sumatra dan Jawa
Berdasarkan analisis iklim dasarian yang dilakukan oleh BMKG pada 1 hingga 10 Mei 2022 menunjukkan suhu muka laut yang lebih hangat di wilayah Samudra Hindia sebelah barat Sumatra dan Laut Jawa.
Kemudian menurut analisis sirkulasi angin menunjukkan adanya pusaran kembar (double vortex) di bagian utara dan selatan belahan bumi sebelah barat Sumatra yang merupakan manifestasi dari aktifnya gelombang atmosfer (Madden Julian Oscillation) pada area tersebut. Hal ini menambah suplai udara lembab akibat penguapan yang lebih intensif dari permukaan lautan.
Tidak hanya di sekitar Sumatra, vortex juga ditemukan di Kalimantan walaupun lebih lemah. Hal tersebut lantas menyebabkan angin di atas sebagian wilayah Sumatra dan Jawa menjadi lemah serta stabil yang mana kemudian mengakibatkan udara lembab dan panas cenderung tertahan di sekitar wilayah Sumatra dan Jawa.
Daerah terpanas di Indonesia
Lantas, mengutip data dari BMKG pada tanggal 9 hingga 10 Mei 2022, Sanggau di Kalimantan Barat menempati peringkat pertama daerah terpanas di Indonesia. Adapun daerah ini mencatatkan suhu sebesar 36 derajat Celsius pada periode 9-10 Mei 2022.
Sementara itu posisi ke-2 diraih oleh Kertajati di Jawa Barat yang mencatatkan suhu maksimum sebesar 35,8 derajat Celsius. Masih di wilayah Jawa, Ciputat di Banten menempati posisi ke-3 dengan rekor suhu maksimum sebesar 35 derajat Celsius.
Posisi ke-4 diraih oleh Palembang, Sumatra Selatan dengan catatan suhu sebesar 34,7 derajat Celsius. Kota Jambi kemudian menyusul di posisi ke-5 dengan rekor suhu maksimum sebesar 34,3 derajat Celsius.
Sementara itu, Lampung dan Sumba Timur di NTT menempati posisi berikutnya dengan catatan rekor suhu maksimum yang sama yakni sebesar 34,2 derajat Celsius pada periode 9 hingga 10 Mei 2022. Di sisi lain bila memantau rata-rata suhu nasional, angkanya sebesar 27 derajat Celsius.
Temuan BMKG mengungkapkan baik suhu minimum, rata-rata, dan maksimum di Indonesia memiliki tren bernilai positif. Adapun nilainya bervariasi sekitar 0,03 derajat Celsius setiap tahunnya. Hal ini berarti dalam kurun waktu 30 tahun, daerah-daerah di Indonesia akan mengalami kenaikan suhu dengan kisaran sebesar 0,9 derajat Celsius.
Dari seluruh analisis yang dilakukan oleh BMKG, dapat ditarik kesimpulan bahwa fenomena suhu panas kali ini memang dipengaruhi oleh faktor klimatologis yang diamplifikasi oleh dinamika atmosfer skala regional dan meso.
Hal ini yang kemudian menyebabkan udara terasa lebih gerah. Namun fenomena ini bukanlah kondisi ekstrim yang membahayakan seperti gelombang panas atau heatwave sebagaimana dikhawatirkan masyarakat Indonesia.
Penulis: Diva Angelia
Editor: Editor