Berbagai belahan bumi di seluruh dunia kini sedang menghadapi dampak dari perubahan iklim. Tidak hanya menyebabkan kenaikan pada suhu bumi dan permukaan air laut, perubahan iklim pun berkontribusi pada terjadinya bencana alam mulai dari cuaca ekstrem, kekeringan, banjir, gelombang pasang dan abrasi, hingga kebakaran hutan.
Dilansir dari data oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), di Indonesia terjadi peningkatan jumlah kejadian bencana secara signifikan dari tahun 2017 hingga 2021. Dari keseluruhan total bencana, sebagian besar merupakan bencana-bencana hidrometeorologi atau disebabkan oleh adanya krisis iklim ini.
Bencana-bencana alam yang terjadi tentu menyebabkan kerugian material dan sosial. Pada kerugian material, banyak warga yang kehilangan tempat tinggal dan harta benda lainnya akibat bencana yang terjadi. Secara sosial, kerusakan infrastruktur dapat mempersulit akses untuk menjangkau fasilitas kesehatan dan pendidikan.
Selain kerugian material dan kerugian sosial, masyarakat yang terdampak bencana juga mengalami kerugian emosional seperti kehilangan anggota keluarga, meningkatkan kecemasan dan ketakutan, meningkatkan risiko gangguan panik, trauma, dan lainnya.
Emisi karbon sebagai kontributor pemanasan global
Pelepasan karbon ke atmosfer merupakan penyebab utama terjadinya pemanasan global. Aktivitas manusia yang paling banyak menghasilkan karbon adalah pembakaran fosil seperti batu bara, gas alam, minyak bumi, dan limbah lainnya yang tidak dapat diperbaharui.
Tidak dapat dipungkiri, pembakaran fosil hingga kini masih dilakukan untuk menunjang aktivitas di kehidupan sehari-hari. Pada tahun 2021, sebanyak 88,5 persen bauran energi primer di Indonesia berasal dari bahan bakar fosil.
Selain Indonesia, masih banyak negara-negara lain yang menggunakan bahan bakar fosil sebagai bauran energi utama. Hal ini tentu saja dapat memperparah suhu global apabila tidak diterapkan energi alternatif lain yang lebih ramah lingkungan.
Perjanjian Paris dalam rangka memperlambat laju kenaikan suhu bumi
Sebagai bentuk kekhawatiran akan bencana alam hidrometeorologi dan dampak-dampak negatif yang menghantui, 194 negara termasuk Indonesia yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyepakati Perjanjian Paris pada tahun 2016.
Secara singkat, Perjanjian Paris merupakan bentuk komitmen negara-negara PBB untuk memperlambat laju kenaikan suhu bumi akibat emisi karbon ke atmosfer. Tujuannya adalah menurunkan frekuensi maupun intensitas dari ancaman besar yang timbul akibat perubahan iklim.
Salah satu cara untuk membatasi emisi karbon adalah melakukan transisi energi dari yang tidak terbarukan ke energi-energi baru terbarukan. Beberapa contoh energi baru terbarukan antara lain energi nuklir, bioenergi, tenaga angin, geotermal, serta yang saat ini sedang populer yaitu energi surya.
Negara-negara penghasil energi surya terbesar di dunia
Energi surya memanfaatkan sinar matahari yang membuatnya menjadi salah satu energi bersih dan ramah lingkungan, tidak mahal, dan tentunya dapat diperbaharui. Pemanfaatan energi surya sebagai alternatif pembakaran fosil kian tahun kian meningkat di seluruh dunia.
Pada tahun 2021, World Population Review merangkum sepuluh negara yang memproduksi energi surya terbesar dalam satuan megawatt. Negara-negara mana sajakah yang sudah menerapkan pembatasan emisi karbon dengan transisi ke tenaga surya?
China merupakan negara yang menduduki peringkat pertama sebagai penghasil energi surya terbesar. Pada tahun 2021, China telah menghasilkan 306.973 megawatt. Presiden China, Xi Jinping, menargetkan pada tahun 2030 China dapat meningkatkan produksi energi dari tenaga surya hingga mencapai 1.200.000 megawatt.
Selain China, Amerika Serikat pun tidak ingin kalah dalam mempercepat transisi menuju energi terbarukan. Per 2021, panel surya Amerika Serikat menghasilkan 95.209 megawatt energi yang mampu memberi daya untuk sekitar 18 juta rumah tangga.
Di peringkat ke-3, ada Jepang yang progres peningkatan penggunaan energi surya berjalan cepat. Di tahun 2009, Jepang memiliki target untuk menghasilkan sebesar 53.000 megawatt energi dari tenaga surya di tahun 2030. Namun, target ini telah berhasil dicapai pada tahun 2018. Per 2021, Jepang telah menghasilkan 74.191 megawatt energi melalui energi surya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Hingga tahun 2021, bauran energi terbarukan di Indonesia baru mencapai 11,7 persen. Padahal di tahun 2025, Indonesia memiliki target bauran energi terbarukan ada di angka 23 persen.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia menyatakan bahwa sebetulnya Indonesia kaya akan potensi energi terbarukan yang salah satunya berasal dari tenaga surya hingga mencapai 3.686 gigawatt.
Indonesia perlu menerapkan terobosan-terobosan baru dalam mengakselerasi transisi menuju energi terbarukan untuk dapat mencapai target emisi nol karbon di tahun 2060. Penggunaan tenaga surya dapat menjadi alternatif yang baik mengingat potensi energi Indonesia cukup besar.
Penulis: Diva Angelia
Editor: Iip M Aditiya