Dalam menyambut perayaan Waisak, serombongan biksu menapaki perjalanan spiritual melintasi ribuan kilometer. Mereka kini mengarahkan langkah mereka menuju Candi Borobudur dan Candi Muaro Jambi. Respons hangat dari masyarakat Indonesia memperkuat semangat perjalanan mereka, memancarkan cahaya harmoni dan persatuan di sepanjang jalan.
Bahkan tampaknya, kedekatan antara rombongan ini dengan masyarakat terlihat begitu mencolok ketika mereka disambut dengan hangat di Masjid Baiturrohmah Bengkal, Temanggung.
Namun, melalui akun Instagram pribadinya, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis menyebut hal ini sebagai bentuk “toleransi yang kebablasan”.
Melihat hal ini, kita dapat melihat iklim toleransi yang ada di indonesia melalui Laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2023 yang dikeluarkan oleh Setara Institute. Laporan ini adalah hasil studi yang mengukur kinerja kota dalam mengelola keberagaman dan toleransi. Tujuannya untuk mendorong pembangunan yang inklusif dan kebijakan yang mendukung nilai-nilai tersebut.
Studi ini menghasilkan rangking 94 kota di Indonesia dengan identifikasi tiga kepemimpinan, seperti kepemimpinan kemasyarakatan (societal leadership),kepemimpinan politik (political leadership) dan kepemimpinan birokrasi (bureaucratic leadership). Setara menilai bahwa ketiga hal ini dapat mengukur ekosistem toleransi sebuah kota.
Lebih lanjut, kolaborasi ketiga aspek tersebut dianggap dapat memperlihatkan hasil yang maksimal dalam pemajuan toleransi di kota-kota yang menjadi area penelitian.
Sebelumnya, Kota Bekasi sempat mendapatkan skor toleransi terendah di tahun 2015 dengan posisi ke-94 dari 94 kota. Raihani ini memperlihatkan contoh sukses dalam peningkatan toleransi pada kota dengan skor toleransi rendah.
Sementara itu, Singkawang dengan Salatiga mempertahankan posisinya dalam peringkat 3 besar dari tahun lalu. Bahkan, ekosistem toleransi yang dibangun di Singkawang pun ikut diakui di tingkat internasional. Kota Singkawang sempat menjadi juru bicara toleransi pada Fora Internasional.
Di lain sisi, terdapat 10 kota yang mendapatkan IKT terendah dari 94 kota dalam pantauan Setara Institute. Kota Depok menjadi salah satu kota yang paling sedikit memiliki skor tersebut.
Keterbatasan akses beribadah bagi Jemaat GBI Cinere Bellevue dan Ahmadiyah Indonesia pun dijadikan sebagai faktor kunci di balik rendahnya skor tersebut.
Meskipun beberapa upaya dalam mendukung toleransi di sejumlah kota di Indonesia telah meningkat, tantangan terbesar tetap berakar pada kepemimpinan politik dan birokrasi yang kurang mendukung upaya-upaya tersebut. Regulasi berbasis agama, yang seringkali menghasilkan tindakan diskriminatif, menjadi salah satu kendala utama dalam mencapai toleransi yang lebih luas dan inklusif.
Menurut Komnas Perempuan (2009), regulasi-regulasi ini dapat dianggap sebagai bentuk pelembagaan diskriminasi, yang masih sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari di beberapa kota seperti Aceh, Padang, Depok, dan Cilegon. Dengan tetap adanya regulasi-regulasi semacam itu, potensi untuk memperkuat diskriminasi terhadap kelompok tertentu masih sangat besar.
Setara menilai bahwa pemerintah pusat pun perlu menginisiasi langkah-langkah penting untuk memerangi intoleransi dengan meninjau ulang hukum daerah yang diskriminatif dan merancang regulasi nasional yang mempromosikan toleransi.
Tidak hanya itu, dibutuhkan inisiasi juga dari pemerintah untuk memfasilitasi kerjasama antar kota-kabupaten guna memperkuat budaya toleransi di seluruh Indonesia.
Hal ini pun diperlukan untuk meningkatkan iklim toleransi, sehingga tidak ada lagi praktik diskriminatif pada berbagai kota di Indonesia
Penulis: Intan Shabira
Editor: Editor