Kampanye #SaveRajaAmpat yang digaungkan aktivis lingkungan dan masyarakat menjadi sorotan utama di media sosial, khususnya Twitter, yang menyumbang 97% dari total interaksi publik terkait isu ini.
Isu hilirisasi nikel di Raja Ampat telah memicu polemik antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Aktivitas penambangan oleh perusahaan seperti PT Gag Nikel di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran memunculkan kekhawatiran serius terhadap deforestasi, kerusakan terumbu karang, serta ancaman terhadap biodiversitas dan potensi pariwisata di kawasan yang diakui sebagai UNESCO Global Geopark.
Berdasarkan laporan DroneEmprit, terdapat 23.631 mentions di media sosial dan 4.016 artikel di media online yang membahas hilirisasi Raja Ampat pada 1–9 Juni 2025. Sentimen publik di media sosial didominasi oleh penolakan, dengan 95% sentimen negatif yang menyoroti kerusakan ekosistem dan ketidakadilan sosial-ekonomi.
Sebaliknya, media online menunjukkan sentimen positif sebesar 67%, sebagian besar mengapresiasi langkah pemerintah dalam menangani polemik ini, meskipun narasi positif ini sering dianggap sebagai upaya meredam kritik.
Konflik ini tidak hanya menyangkut lingkungan, tetapi juga menggambarkan polarisasi antara kelompok pro dan kontra hilirisasi. Aktivis dan tokoh publik seperti Susi Pudjiastuti dan Dandhy Laksono memperkuat narasi penolakan, sementara kelompok pro-hilirisasi menyebut isu kerusakan sebagai hoaks.
“Kampanye #SaveRajaAmpat yang digaungkan aktivis lingkungan dan masyarakat menyoroti dampak negatif tambang dan mendorong protes publik,” tulis DroneEmprit pada publikasi barunya.
Baca Juga: Bukan Raja Ampat, Ini 5 Kawasan Konservasi Perairan Nasional Terluas
Latar Belakang Konflik Hilirisasi Nikel
Hilirisasi nikel di Raja Ampat menjadi isu sensitif karena bertentangan dengan status kawasan ini sebagai UNESCO Global Geopark, yang mengutamakan konservasi lingkungan. Penambangan oleh PT Gag Nikel di pulau-pulau kecil memicu kekhawatiran atas dampak jangka panjang, seperti deforestasi dan kerusakan ekosistem laut yang menjadi daya tarik pariwisata global. Selain itu, aktivitas ini dinilai melanggar UU No. 1 Tahun 2014 tentang pengelolaan pulau-pulau kecil, yang memprioritaskan pelestarian.
Kampanye #SaveRajaAmpat yang dipelopori aktivis lingkungan berhasil menarik perhatian publik, baik di dalam maupun luar negeri. Kampanye ini menyoroti ancaman terhadap biodiversitas laut yang menjadi salah satu yang terkaya di dunia, serta potensi hilangnya pendapatan dari sektor pariwisata. Meskipun pemerintah menghentikan sementara operasi tambang untuk evaluasi izin, pernyataan bahwa tambang tidak berada di zona Geopark memicu skeptisisme dan kontroversi.
Polemik ini mencerminkan dilema klasik antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
“Kekecewaan muncul karena hilangnya potensi wisata dan warisan alam yang dianggap tak tergantikan oleh manfaat hilirisasi,” kata DroneEmprit dalam keterangan tertulisnya lewat temuannya.
Metode Analisis dan Sumber Data
Laporan DroneEmprit menggunakan pendekatan analisis sentimen untuk memetakan persepsi publik terhadap hilirisasi nikel di Raja Ampat. Pertanyaan penelitian mencakup isu-isu yang muncul, tren pembahasan, sentimen publik, peta percakapan di media sosial, dan alasan viralitas isu ini. Data dikumpulkan dari berbagai platform, termasuk Twitter, Instagram, Facebook, YouTube, TikTok, dan media online, selama periode 1–9 Juni 2025.
Kata kunci seperti “Raja Ampat” dan “#SaveRajaAmpat” menjadi kunci utama untuk melacak percakapan. Twitter mendominasi interaksi dengan 14,27 miliar interaksi (97% dari total), menunjukkan peran besar platform ini dalam mengamplifikasi isu. Media sosial lain seperti TikTok menyumbang 2,85%, sementara media online hanya 0,0001% dari total interaksi.
Sentimen Publik dan Polarisasi Narasi
Sentimen negatif mendominasi media sosial dengan 95%, mencerminkan kemarahan dan kesedihan publik atas kerusakan lingkungan di Raja Ampat. Kritik tajam ditujukan pada aktivitas tambang yang dianggap menghancurkan ekosistem laut dan darat, serta mengancam identitas budaya masyarakat adat. Tagar #SaveRajaAmpat menjadi viral berkat dukungan tokoh publik seperti Susi Pudjiastuti dan organisasi seperti Greenpeace.
Polarisasi antara kelompok pro dan kontra hilirisasi semakin memperkeruh situasi. Kelompok pro-hilirisasi, seperti influencer @Fdonghun, menyebut isu kerusakan sebagai hoaks dan menekankan komitmen pemerintah untuk melindungi Raja Ampat. Sebaliknya, aktivis seperti @ilhampid mengecam eksploitasi tambang sebagai “kolonialisme modern” yang merugikan masyarakat lokal.
Kritik terhadap Perizinan dan Ketidakadilan
Publik di media sosial mengkritik proses perizinan tambang yang dianggap tidak transparan dan diduga melibatkan praktik korupsi. Tuduhan bahwa hilirisasi hanya menguntungkan pejabat dan perusahaan besar memicu narasi “kolonialisme modern,” khususnya di kalangan masyarakat adat Papua yang merasa hak mereka diabaikan.
“Perizinan tambang yang dianggap tidak transparan dan merugikan masyarakat lokal, terutama masyarakat adat Papua,” ujar DroneEmprit dalam temuannya.
Ketimpangan manfaat ekonomi menjadi sorotan utama dalam protes publik.Konflik dengan masyarakat lokal juga meningkat, dengan aksi demonstrasi yang menentang aktivitas tambang. Masyarakat adat menuntut keterlibatan dalam pengambilan keputusan, yang selama ini dianggap didominasi kepentingan korporasi. Kampanye #TegasTanganiRajaAmpat mencerminkan harapan publik akan kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Desakan untuk Kebijakan Tegas
Publik mendesak Presiden Prabowo untuk menghentikan seluruh aktivitas tambang di Raja Ampat, dengan tagar #TegasTanganiRajaAmpat menjadi simbol harapan akan kepemimpinan yang pro-lingkungan. Kritik terhadap Menteri ESDM Bahlil dan narasi hoaks dari kelompok pro-hilirisasi memicu polarisasi lebih lanjut, dengan aktivis menuntut transparansi dalam proses perizinan.
Isu ini juga memunculkan perdebatan tentang manfaat hilirisasi nikel dibandingkan kerugian jangka panjang terhadap pariwisata dan biodiversitas. Publik mempertanyakan apakah keuntungan ekonomi sepadan dengan hilangnya warisan alam yang tak ternilai. Aktivis menyerukan kebijakan hijau yang melibatkan masyarakat lokal sebagai solusi berkelanjutan.
Hasil temuan DroneEmprit ini menegaskan bahwa kebijakan pemerintah akan menentukan masa depan kawasan ini.
Penulis: Daffa Shiddiq Al-Fajri
Editor: Editor