Saat ini, tengah ramai soal Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang menyamaratakan tembakau dengan zat adiktif lainnya, seperti narkotika, alkohol, dan psikotropika. RUU ini menuai kontra dari banyak pihak, pasalnya aturan ini dapat berpotensi menjadi gerbang kriminalitas dan hilangnya mata pencaharian para petani tembakau.
“Para petani sedang dihadapkan pada rancangan regulasi yang tidak adil. Di dalam RUU Kesehatan ada aturan yang mau menyejajarkan tembakau dengan narkotika, psikotropika, dan alkohol. Ini menyakiti hari kami yang sudah turun temurun menanam tembakau sebagai sumber penghidupan,” kata Ketua Dewan Perwakilan Cabang Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kabupaten Temanggung Siyamin seperti yang dikutip dari Medcom.id pada Kamis, (8/6) kemarin.
Penolakan juga datang dari sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI agar pasal soal tembakau tersebut dicabut dari RUU Kesehatan. Hal tersebut diungkap oleh Anggota Komisi IX DPR RI, Yahya Zaini.
“Jadi, ada beberapa fraksi yang menginginkan agar pasal soal tembakau itu dicabut. Ada juga pandangan yang menginginkan pengaturannya kembali ke Undang-Undang Kesehatan yang ada,” tuturnya seperti yang dikutip dari Tribunnews.com pada Jumat, (9/6).
Ia mengaku juga tidak menyetujui isi dari RUU Kesehatan tersebut. Menurutnya, kontribusi tembakau pada perekonomian nasional juga masih terbilang signifikan. Nilainya bahkan sudah lebih dari Rp200 triliun melalui cukai rokok pada tahun 2022.
“Sekarang sudah Rp218 triliun. Itu cukainya dan tiap tahun diharapkan untuk naik terus, sedangkan pekerja yang terlibat dalam industri rokok ada 6 juta orang, baik langsung maupun tidak. Jadi, posisinya (tembakau) sangat berbeda. Sumbangsihnya kepada negara sangat besar,” papar Yahya.
Adapun, wacana yang menuai banyak kritikan tersebut tertuang dalam Pasal 154 dari draf RUU Kesehatan yang berbunyi:
(1) Produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
(2) zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi semua bahan atau produk yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat.
(3) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
- narkotika;
- psikotropika;
- minuman beralkohol;
- hasil tembakau; dan
- hasil pengolahan zat adiktif lainnya.
Lalu, bagaimana kontribusi tembakau bagi perekonomian nasional dan bagaimana tren produksi rokok di tanah air?
Indonesia jadi salah satu produsen tembakau terbesar di dunia
Indonesia berada di peringkat keempat dalam daftar negara produsen utama tembakau dengan total produksi mencapai 0,23 juta ton pada 2021. Selain itu, tembakau juga dinilai menjadi salah satu komoditi unggulan tanah air pada sektor pertanian.
Menurut data dari Kementerian Pertanian (Kementan), luas ladang tembakau di Indonesia mencapai 236.687 Ha pada tahun 2021. Kementan juga melaporkan bahwa produktivitas tembakau nasional diprediksi telah mencapai 1.124 kg/Ha pada tahun yang sama.
Sementara berdasarkan laporan dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), China merupakan produsen tembakau nonmanufaktur terbesar di dunia. Diperkirakan, nilainya tumbuh sebesar 2,1 juta metrik ton pada tahun 2021. Diikuti oleh India dan Brasil dengan total produksi tembakau masing-masing 0,75 juta ton dan 0,74 juta ton.
Melansir laporan Badan Pusat Statistik (BPS), total produksi tembakau di Indonesia turun menjadi 225,7 ribu ton sepanjang tahun 2022 lalu. Hanya ada 15 provinsi yang tercatat memproduksi tembakau, yang mana Jawa Timur menjadi provinsi penghasil tembakau terbesar dengan total 100,6 ribu ton atau menyumbang sekitar 45% dari total produksi nasional.
Jika melihat trennya, produksi tembakau nasional tercatat mengalami fluktuasi dalam satu dekade terakhir. Sementara, angka produksinya dilaporkan mengalami penurunan secara signifikan dari periode tahun 2020 hingga 2022.
Produksi tembakau nasional paling banyak berasal dari kebun rakyat dengan total mencapai 224.700 ton di tahun 2022. Sementara, produksi tembakau dari perkebunan besar hanya menyumbang sebanyak 1.000 ton.
Produksi rokok di Indonesia mengalami penurunan di tahun 2022
Tarif cukai rokok mengalami kenaikan tiap tahunnya. Namun, pengecualian terjadi pada tahun 2014 dan 2019. Tarif cukai tidak naik pada 2014 dikarenakan terjadi transisi aturan baru mengenai pajak rokok daerah. Sementara, pada tahun 2019, karena adanya inflasi.
Menurut laporan statistik dari Kemenkeu, harga rokok di Indonesia mencapai Rp23.361 per bungkus (isi enam) pada tahun 2022. Diprediksi bahwa penurunan produksi rokok pada tahun 2022 salah satunya disebabkan oleh naiknya tarif cukai hasil tembakau (CHT).
Lebih lanjut, produksi rokok di Indonesia tercatat mengalami penurunan sebesar 3,26% di tahun 2022. Dilaporkan, produksi rokok nasional mencapai 323,9 miliar batang pada 2022. Sementara, tahun sebelumnya yaitu 2021 memproduksi sebanyak 334,8 miliar batang.
Indeks kemahalan rokok meningkat tipis menjadi 12,2% pada tahun 2022. Produksi rokok bahkan diproyeksikan bakal makin menurun pada tahun 2023, mengingat pemerintah telah menaikkan tarif cukai sebesar 10% untuk dua tahun, yaitu 2023 dan 2024.
Sementara itu, Indonesia dinobatkan menjadi negara dengan jumlah perokok tertinggi di dunia. Mengutip Statista, angkanya bahkan mencapai 63% pada jenis kelamin laki-laki di tahun 2023. Sedangkan, tingkat merokok di kalangan perempuan secara nasional termasuk yang terendah di dunia, yaitu hanya sebesar 2,2%.
Penulis: Nada Naurah
Editor: Iip M Aditiya