Pencemaran udara yang semakin mengkhawatirkan di Indonesia dalam beberapa hari terakhir banyak diperbincangkan oleh publik. Dampak yang dihasilkan dari kualitas udara yang buruk ini tidak hanya mengganggu kesehatan manusia, namun juga mengganggu keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem.
Melansir situs IQAir, Kota Depok menjadi wilayah paling berpolusi di Indonesia dengan indeks kualitas udara (AQI) mencapai 254 AQI US. Angka tersebut menunjukkan tingkat polusi udara di kota itu sangat tidak sehat. Adapun, data ini tercatat per pukul 09.00 WIB pada tanggal 24 Agustus 2023 secara real time.
Sehubungan dengan hal ini, Kurious dari Katadata Insight Center (KIC) melakukan sebuah studi mengenai persepsi masyarakat terhadap kualitas udara di Indonesia, termasuk tindakan yang biasa dilakukan untuk mengurangi polusi udara hingga upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengatasinya.
Sebagai informasi, survei tersebut dilakukan pada periode 21-22 Agustus 2023 dengan melibatkan sebanyak 512 responden. Survei ini menggunakan metode CAWI (Computer Assisted Web Interviewing) dengan tingkat toleransi kesalahan (margin of error) 4,318% dan tingkat kepercayaan 95%. Berikut selengkapnya.
Mayoritas publik menilai sumber pencemaran udara berasal dari transportasi
Beberapa hari terakhir, Pemprov DKI Jakarta mulai menerapkan sistem kerja dari rumah atau work from home (WFH) guna mengurangi polusi di ibu kota. Penerapan langkah ini sebagai upaya untuk mengurangi emisi yang dikeluarkan dari transportasi.
Berdasarkan riset Kurious-KIC, terdapat sederet persepsi publik mengenai sumber pencemaran udara di Indonesia. Hasilnya, sebagian besar responden (82,2%) beranggapan bahwa emisi dari transportasi menyumbang polusi terbesar.
Ini diikuti oleh sejumlah persepsi lain, yaitu banyaknya pembakaran sampah (72,3%), asap rokok (57,0%), kebakaran hutan (54,5%), pembangkit listrik tenaga uap (39,8%), hingga emisi rumah tangga (31,4%).
Terkait masifnya jumlah pembakaran sampah di Indonesia, survei Jakpat menunjukkan bahwa ternyata masih banyak masyarakat yang membakar sampah rumah tangganya. Ini terlihat dari sebanyak 2.768 responden yang disurvei, persentase responden yang membakar sampah mencapai 31,1% responden.
Lebih lanjut, Presiden Joko Widodo membeberkan tiga penyebab utama pencemaran udara yang kian parah, yakni kemarau panjang selama tiga bulan terakhir, gas emisi transportasi, serta banyaknya industri yang menggunakan batubara.
Mengutip Katadata.co.id, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) justru memaparkan bahwa sektor transportasi menyumbang polusi terbesar dari sektor lainnya mencapai 44%. Disusul oleh sederet sektor lainnya, seperti industri (31%), perumahan (14%), energi manufaktur (10%), dan komersial (1%).
Bagaimana upaya pemerintah untuk mengurangi pencemaran udara?
Polusi udara merupakan salah satu ancaman lingkungan terbesar bagi kesehatan manusia selain perubahan iklim. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) memasukkan polusi udara dalam daftar ancaman lingkungan terbesar di dunia.
Upaya untuk meningkatkan kualitas udara di suatu negara dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan mitigasi perubahan iklim dan pengurangan emisi. Dengan begitu, negara dapat melindungi kesehatan masyarakat dan menjaga ekosistem lingkungan sekaligus mengurangi dampak perubahan iklim global.
Merujuk pada hasil studi Kurious-KIC, terdapat sejumlah upaya pemerintah dalam mengurangi polusi udara menurut persepsi publik. Adapun, pengembangan ruang terbuka hijau dan dorongan penggunaan transportasi berbasis listrik menjadi upaya pemerintah yang paling banyak disebut oleh responden dengan persentase masing-masing sebesar 83,6% dan 60,5%.
Selanjutnya, ada pula beberapa program lain yang gencar digadang oleh pemerintah menurut responden, di antaranya ialah pelaksanaan car free day (59,4%), membuat standar emisi untuk semua industri (56,3%), serta penindakan terhadap pembakar sampah terbuka (40,6%).
Adapun Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Bondan Andriyanu kepada Suara.com mengatakan bahwa polusi udara menjadi masalah bersama yang harus diselesaikan secara bersama-sama. Ia menyebut bahwa Jakarta tidak bisa mengatasi permasalahan polusi udara ini sendirian.
“Jakarta memerlukan sinergi dengan kota-kota penyangganya untuk mengendalikan pencemaran udara,” tutur Bondan dikutip dari Suara.com pada Selasa, (22/8/2023) lalu.
Bondan melanjutkan, untuk mengatasi pencemaran udara yang makin parah di Indonesia ini perlu menambah alat pantau, uji emisi, serta riset mengenai sumber-sumber pencemaran. Ia juga beranggapan bahwa wilayah Jawa Barat dan Banten harus turut serta dalam menekan laju polusi udara.
“Jakarta mungkin saja menyumbang polutan terbanyak. Namun, bisa jadi industri di luar Jakarta juga menyumbang polutan,” paparnya.
Penulis: Nada Naurah
Editor: Iip M Aditiya