Pemerintah Indonesia mengatur usia perkawinan pertama dengan adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menetapkan bahwa usia minimal pernikahan adalah pada usia minimal 19 tahun, baik bagi pria maupun wanita. Adanya peraturan ini dimaksudkan utuk mencegah pernikahan dini dan melindungi hak-hak perempuan.
Usia perkawinan pertama memiliki dampak yang signifikan terhadap tingkat kelahiran. Semakin muda usia seorang wanita saat memiliki anak pertama, semakin tinggi kemungkinan bahwa wanita tersebut akan memiliki anak kedua, ketiga, dan seterusnya yang kemudian akan mengakibatkan peningkatan jumlah penduduk. Wanita yang berusia muda, yang memulai reproduksi pada usianya yang muda, maka siklus reproduksi akan lebih panjang dan akhirnya berdampak pada angka kelahiran yang tinggi di tingkat keluarga dan masyarakat.
Hal ini kemudian berpotensi mempercepat laju pertumbuhan penduduk, terutama di negara yang angka fertilitasnya masih relative tinggi. Peningkatan jumlah anak akan berdampak pada pengeluaran rumah tangga yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Perkawinan Wanita Berumur 10+ tahun Menurut Usia Perkawinan Pertama
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase wanita berusia 10 tahun ke atas yang pernah kawin menurut usia perkawinan pertama pada tahun 2023 hingga 2024 yakni, persentase pada wanita yang berusia 10-15 tahun pada 2023 adalah sebanyak 8,34%, dan menurun pada 2024 dengan persentase 8,16%. Sedangkan pada wanita yang berusia 16-18 tahun, pada 2023 sebanyak 25,53%, dan menurun pada 2024 menjadi 25,08%.
Ini berarti upaya pemerintah untuk menekan angka kelahiran pada wanita yang belum matang, seperti usia 10-18 tahun sudah ada kemajuan walaupun belum signifikan. Karena perkawinan dini memiliki risiko kesehatan pada perempuan dan adanya potensi kanker leher rahim, yang akan menimbulkan permasalahan baru. Usia perkawinan yang rendah akan berdampak pada pola pengasuhan anak, dan berdampak pada gizi, serta kesehatan anak. pernikahan dini memiliki risiko kesehatan.
Persentase tertinggi perkawinan pertama adalah wanita berusia 19-24 tahun, pada 2023 sebanyak 49,01%, dan meningkat menjadi 49,58% pada 2024. Pada wanita yang berusia 25 tahun ke atas dengan usia perkawinan pertama tahun 2023 adalah 17,12%, dan ada sedikit peningkatan pada tahun 2024 sebanyak 17,18%. Kenaikan ini dapat mencerminkan tren sosial untuk menunda kehamilan hingga wanita berada di usia yang lebih siap secara fisik, dan mental.
Persentase tertinggi perkawinan pertam adalah wanita berusia 19-24 tahun, pada 2023 sebanyak 49,01%, dan meningkat menjadi 49,58% pada 2024. Pada wanita yang berusia 25 tahun ke atas dengan usia perkawinan pertama tahun 2023 adalah 17,12%, dan ada sedikit peningkatan pada tahun 2024 sebanyak 17,18%. Kenaikan ini dapat mencerminkan tren sosial untuk menunda kehamilan hingga wanita berada di usia yang lebih siap secara fisik, dan mental.
Usia Wanita Berdasarkan Kehamilan Pertama
Terdapat target bahwa setiap pasangan suami istri untuk setidaknya memiliki satu anak perempuan agar regenerasi berjalan di masa mendatang. “Angka kelahiran di Indonesia menurun, dan mencapai angka ideal pada satu dekade terakhir,” ujar Hasto Wardoyo, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) melansir Kumparan.
Wanita yang berusia 10-15 tahun memiliki persentase terendah pada dua tahun terakhir, pada 2023 ada 2,68%, dan 2,32% pada 2024. Disusul dengan usia 16-18 tahun dengan persentase pada 2023 yakni sebesar 18,47%, dan pada 2024 sedikit menurun menjadi 17,58%.
Usia kehamilan pertama dengan persentase tertinggi berada pada wanita berusia 19-24 tahun, pada 2023 ada 57,22%, dan pada 2024 sedikit menaik menjadi 58,08%. Usia wanita yang dianggap ideal untuk bereproduksi adalah pada usia 19-24 tahun untuk kehamilan pertama. Sedangkan pada wanita berusia 25 tahun ke atas dengan kehamilan pertama pada 2023 ada 21,64%, dan sedikit menaik pada tahun 2024 sebanyak 22,02%.
Penggunaan Alat Kontrasepsi pada Wanita
Alat kontrasepsi memungkinkan pasangan untuk menunda kehamilan hingga mereka merasa siap secara fisik dan mental, dan ekonomi, yang sering kali berujung pada kehamilan pertama di usia yang ideal. Salah satu peraturan Presiden 72/2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting di mana terdapat tiga indicator yang diamanatkan yakni berkaitan dengan program keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, yakni meningkatnya KB Pasca Persalinan (KB PP), menurunnya kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), dan menurunnya angka tidak memakai kontrasepsi (Unmet need) KB.
Salah satu upaya pemerintah untuk menekan angka kelahiran adalah dengan penggunaan alat kontrasepsi yang perlahan membuahkan hasil. Pada tahun 2023 ada sebanyak 52,62% wanita yang berusia 15-49 tahun dan berstatus pernah kawin yang sedang menggunakan cara KB. Sedangkan pada tahun 2024 meningkat dengan pesat sebanyak 53,47%.
Berdasarkan durasi efektivitasnya, kontrasepsi terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
- MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang), yang meliputi implant, IUD, sterilisasi pria (MOP), dan sterilisasi wanita (MOW).
- Non-MKJP yang meliputi kondom, pil, suntik, serta metode lain yang memiliki durasi perlindungan yang lebih pendek dibandingkan metode MKJP.
Metode dengan persentase terbanyak adalah Suntikan KB, pada 2023 sebesar 53,30%, dan 52,87% pada 2024. Disusul dengan Pil KB, pada 2023 18,72%, dan 10,09% pada 2024. Pada urutan ketiga, metode yang paling banyak digunakan adalah Susuk KB/Norplan/Implanon/Alwalit/Norplant Contraceptive Implants, pada 2023 ada 10,75%, dan sedikit naik menjadi 18,09% pada 2024.
Persentase metode yang paling sedikit digunakan adalah intravag/tissue/kondom wanita pada tahun 2023 dan 2024 dengan persentase 0,09% pada tiap tahunnya. Sedangkan metode paling sedikit yang digunakan kedua adalah MOP/Vasektomi, pada 2023 hanya 0,21%, dan menaik sedikit menjadi 0,29% pada 2024.
Baca Juga: 10 Provinsi dengan Persentase Ibu Tunggal dengan Anggota 2-3 Orang Terbanyak 2024
Penulis: Vhebedyzarel Putri
Editor: Editor