Jakarta tercatat sebagai provinsi dengan jumlah dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terbanyak sepanjang tahun 2024. Berdasarkan laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dibacakan pada peringatan hari HAM Sedunia, DKI Jakarta melaporkan sebanyak 337 kasus dugaan pelanggaran HAM. Angka ini menjadikan Jakarta sebagai wilayah dengan peristiwa pelanggaran HAM terbanyak, mengalahkan provinsi lain seperti Jawa Barat (232 kasus) dan Sumatra Utara (227 kasus).
Komisioner Komnas HAM, Hari Kurniawan, menjelaskan bahwa Jakarta selalu menduduki posisi teratas dalam hal pengaduan pelanggaran HAM setiap tahunnya.
"Wilayah terjadinya peristiwa dugaan pelanggaran HAM terbanyak terjadi di DKI Jakarta sebanyak 337 (kasus)," kata Hari di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (10/12/2024), dikutip dari kanal YouTube Komnas HAM. Menurut Hari, Jakarta konsisten menjadi provinsi dengan jumlah pengaduan pelanggaran HAM yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan daerah lain.
Selain Jakarta, Jawa Barat dan Sumatra Utara juga mencatatkan angka pengaduan yang signifikan. Namun, Jakarta tetap menjadi wilayah yang paling sering dilaporkan sebagai tempat terjadinya pelanggaran HAM. Kondisi ini menunjukkan bahwa permasalahan terkait hak asasi manusia di Jakarta masih menjadi tantangan besar yang perlu ditangani secara serius.
Baca Juga: KPAI Catat 33 Kasus Pelanggaran Hukum Libatkan Anak di Bawah Umur
Jenis Pelanggaran HAM yang Paling Banyak Dilaporkan
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengungkapkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang paling sering dilaporkan berkaitan dengan hak atas kesejahteraan, dengan total 813 aduan. Selain itu, hak untuk memperoleh keadilan tercatat sebanyak 758 aduan, dan hak untuk merasa aman tercatat 212 aduan.
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), penanganan kasus pelanggaran HAM dilakukan melalui pemantauan, pengawasan, penyelidikan, serta mediasi.
Atnike menjelaskan bahwa dari semua aduan yang diterima Komnas HAM, 354 kasus telah melalui proses pemantauan dan penyelidikan. Sementara itu, 63 kasus pelanggaran HAM berhasil diselesaikan melalui mediasi.
Dalam kesempatan yang sama, Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM Bidang Pemajuan HAM, menyatakan bahwa tingginya jumlah aduan yang diterima menunjukkan bahwa negara masih gagal dalam melindungi hak dasar warganya. Ia juga menambahkan bahwa kondisi ini tidak banyak berubah meskipun telah terjadi reformasi.
Dalam laporannya, Hari Kurniawan turut mengungkapkan bahwa pihak yang paling sering diadukan kepada Komnas HAM adalah Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dengan 663 aduan, diikuti oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat/kementerian dengan total 433 aduan, serta korporasi dengan 321 aduan. Dugaan pelanggaran HAM yang paling banyak dilaporkan berkaitan dengan hak atas kesejahteraan, yang mencapai 813 aduan. Selain itu, hak memperoleh keadilan juga tercatat sebagai isu utama dengan 758 aduan, dan hak atas rasa aman dengan 212 aduan.
Secara keseluruhan, Komnas HAM menangani total 2.305 kasus dugaan pelanggaran HAM sepanjang 2024, yang mencakup baik kejadian di dalam negeri maupun luar negeri. Meskipun angka ini masih cukup tinggi, jumlah pengaduan mengalami penurunan dibandingkan tahun 2023 yang tercatat sebanyak 2.500 kasus.
Peringati Hari HAM Se-Dunia, KontraS: Rezim Berganti, HAM Masih Dipinggirkan
Pada peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia 2024, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merilis catatan yang menyoroti kenyataan bahwa meski rezim politik berganti, masalah pelanggaran HAM di Indonesia tetap menjadi persoalan serius. Laporan yang berjudul Rezim Berganti, HAM Masih Dipinggirkan ini diterbitkan pada Jumat, 6 Desember 2024, dan mengungkapkan sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia sepanjang periode Desember 2023 hingga November 2024.
Laporan ini merupakan hasil pemantauan, advokasi, dan pendampingan hukum yang dilakukan oleh KontraS, yang mencatat adanya sejumlah pelanggaran berat terhadap hak hidup, kebebasan sipil, dan hak masyarakat adat.
Beberapa isu utama yang disorot dalam laporan tersebut antara lain adalah kasus extrajudicial killing, penyiksaan, pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi, serta pelanggaran HAM dalam sektor pembangunan dan sumber daya alam.
Kebebasan Sipil: Pembubaran Paksa dan Kekerasan terhadap Jurnalis
Laporan KontraS menyoroti pelanggaran terhadap kebebasan sipil, termasuk hak untuk berekspresi, berkumpul, berserikat, dan menyampaikan pendapat. Sepanjang tahun 2024, banyak aksi damai yang dibubarkan secara paksa oleh aparat, termasuk dalam beberapa aksi besar seperti #PeringatanDarurat, yang berujung pada tindak kekerasan terhadap peserta aksi oleh aparat Polri dan TNI.
Selain itu, jurnalis juga menjadi sasaran kekerasan. KontraS mencatat 20 peristiwa serangan terhadap jurnalis, yang terdiri dari 10 kekerasan fisik, 9 intimidasi, 1 kriminalisasi, dan 2 penangkapan sewenang-wenang. Sebanyak 23 jurnalis terluka akibat serangan ini, dengan mayoritas pelaku kekerasan berasal dari pihak kepolisian.
Pelanggaran terhadap kebebasan jurnalis ini mencerminkan ketidakmampuan pemerintah untuk melindungi mereka yang menjalankan tugasnya untuk mengungkapkan fakta dan informasi kepada publik. Kebebasan pers adalah pilar penting dalam demokrasi, dan serangan terhadap jurnalis adalah serangan terhadap hak publik untuk mengetahui.
Pelanggaran HAM dalam Sektor Sumber Daya Alam dan Proyek Strategis Nasional
Pembangunan yang seharusnya mendorong kesejahteraan masyarakat malah sering kali menjadi sumber pelanggaran HAM. Sepanjang tahun 2024, KontraS mencatat 161 peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di sektor sumber daya alam.
Pelanggaran ini meliputi okupasi lahan (70 kasus), kriminalisasi (48 kasus), perusakan (43 kasus), serta intimidasi (28 kasus). Banyak kasus pelanggaran ini melibatkan perusahaan swasta yang mengambil alih lahan masyarakat tanpa persetujuan atau kompensasi yang adil. Masyarakat adat menjadi pihak yang paling dirugikan oleh proyek-proyek pembangunan ini.
Selain itu, dalam sektor Proyek Strategis Nasional (PSN), KontraS mencatat 13 peristiwa pelanggaran HAM, di mana masyarakat adat menjadi korban utama. Banyak proyek pembangunan dilaksanakan di atas tanah adat, yang sering dipandang oleh pemerintah dan investor sebagai lahan untuk meraup keuntungan.
Peristiwa pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat ini melibatkan berbagai tindakan seperti okupasi lahan, pengrusakan, kriminalisasi, dan intimidasi, yang menyebabkan 27 orang ditangkap dan lima korban luka-luka.
Extrajudicial Killing: 45 Kasus dengan 47 Korban
Selama periode satu tahun tersebut, KontraS turut mencatat adanya 45 peristiwa extrajudicial killing (pembunuhan di luar proses hukum) yang mengakibatkan 47 korban. Dari total korban ini, 27 di antaranya merupakan tersangka tindak pidana, sementara 20 lainnya adalah warga sipil yang tidak terlibat dalam tindak kriminal.
Sebanyak 29 korban tewas akibat penembakan menggunakan senjata api, sementara 18 lainnya meninggal akibat penyiksaan. Ironisnya, laporan KontraS menunjukkan bahwa 24 dari 47 korban extrajudicial killing terbunuh meskipun tidak melakukan perlawanan terhadap aparat keamanan yang menembak mereka.
Baca Juga: Serangkaian Extra-Judicial Killing oleh Anggota Polri, Apa Termasuk Pelanggaran Serius?
Kasus-kasus seperti ini menimbulkan kekhawatiran terkait budaya kekerasan yang masih terjadi di tubuh aparat negara. Pembenaran atas tindak kekerasan terhadap tersangka sering kali didasarkan pada "perlawanan" yang dilakukan, namun data KontraS menunjukkan banyaknya korban yang tewas meskipun tidak melakukan perlawanan.
Vonis Pidana Mati: 29 Kasus dengan 57 Terpidana
Selain extrajudicial killing, KontraS juga mencatat adanya 29 vonis pidana mati sepanjang tahun 2024, dengan 57 orang terpidana. Mayoritas vonis pidana mati dijatuhkan dalam kasus narkotika, yang mencatatkan 16 kasus, sementara 13 kasus lainnya terkait dengan tindak pidana pembunuhan.
Hal ini menggarisbawahi keberlanjutan praktik hukum yang memungkinkan penerapan pidana mati, meskipun isu hak hidup menjadi salah satu pokok pembahasan dalam banyak konvensi internasional. Pemberlakuan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membuka ruang yang lebih luas bagi diterapkannya pidana mati, sebuah kebijakan yang terus menuai kritik dari banyak kalangan penegak hak asasi manusia.
Penyiksaan: 62 Kasus dengan 128 Korban
Sepanjang periode yang sama, KontraS mencatat sebanyak 62 peristiwa penyiksaan yang mengakibatkan 109 korban luka dan 19 korban tewas. Total ada 128 korban penyiksaan yang tercatat selama Desember 2023 hingga November 2024. Dari 128 korban tersebut, 35 di antaranya merupakan tersangka tindak pidana, sementara 93 lainnya adalah warga sipil biasa.
Peristiwa penyiksaan ini menunjukkan pola penggunaan kekerasan yang sistemik oleh aparat keamanan dalam menjalankan tugasnya. Penyiksaan sering kali menjadi metode yang digunakan untuk memaksa pengakuan atau menghukum individu, yang tentu saja bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM yang melarang segala bentuk penyiksaan.
Baca Juga: 5 Polda dengan Jumlah Tindak Pelanggaran Lalu Lintas Tertinggi di Indonesia
Penulis: Daffa Shiddiq Al-Fajri
Editor: Editor