Menyoal Kasus dan Penanganan HIV di Indonesia

Menurut data Kemenkes, jumlah pengidap HIV di Indonesia per Juni 2022 mencapai lebih dari 500 ribu orang dengan jumlah terbanyak ditemukan di DKI Jakarta.

Menyoal Kasus dan Penanganan HIV di Indonesia Ilustrasi simbol pita merah HIV | Alexkixh/Shutterstock

HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Jika HIV tidak diobati, dapat menyebabkan AIDS (acquired immunodeficiency syndrome). Tetapi dengan perawatan medis yang tepat, HIV dapat dikendalikan. Pasien pengidap HIV yang mendapatkan pengobatan HIV yang efektif dapat hidup lama, hidup sehat dan melindungi pasangannya.

Penularan HIV ditularkan melalui transfusi darah, hubungan badan, berbagi jarum suntik, dan dari ibu ke anak selama proses kelahiran dan menyusui. Sebagian besar pasien yang didiganosis positif HIV akan turut mengidap AIDS dalam kurun waktu sepuluh tahun jika tidak diobati. Pasien dapat hidup selama lebih dari sepuluh tahun atau bahkan rentang hidup normal jika melakukan pengobatan rutin.

Lalu, bagaimana dengan statistik perkembangan kasus HIV dan penanggulangannya di Indonesia?

Perkembangan kasus HIV di Indonesia

Merujuk pada data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), tercatat total pengidap HIV mencapai 519.158 orang yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia pada Juni 2022 lalu. Secara kumulatif, DKI Jakarta menempati posisi pertama sebagai provinsi dengan penderita HIV terbanyak dari seluruh provinsi.

Provinsi dengan jumlah penderita HIV terbanyak di Indonesia | Fauziah/Goodstats

Total pengidap HIV di Jakarta tercatat sebanyak 90.956 kasus. Diikuti oleh provinsi Jawa Timur dengan 78.238 kasus, Jawa Barat sebanyak 57.246 kasus, Jawa Tengah mencapai 47.417 kasus, serta Papua yang mencapai 45.638 kasus.

Selain itu, ada bali dengan total 28.376 kasus, Sumatera Utara dengan 27.850 kasus, dan Banten sebanyak 15.167 kasus. Sulawesi Selatan dan Kepulauan Riau juga menyusul dengan total pengidap masing-masing mencapai 14.810 kasus dan 12.943 kasus.

Perkembangan HIV di Indonesia dinilai cukup memprihatinkan. Menurut laporan dari Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), jumlah infeksi HIV di Indonesia tercatat menurun 3,6 persen pada 2021. Meski begitu, Indonesia tetap menjadi salah satu negara dengan jumlah kasus HIV tertinggi di kawasan Asia dan Pasifik.

Indonesia menjadi negara dengan jumlah penderita HIV terbesar se-Asia Tenggara

Adapun, Thailand menjadi negara dengan jumlah pengidap HIV terbanyak kedua dengan estimasi total 520 ribu kasus per 2021. Diikuti oleh Myanmar dengan 270 ribu kasus, Vietnam 240 ribu kasus, Filipiana 140 ribu, dan Malaysia yang mencapai 82 ribu kasus.

Sementara itu, kemenkes juga melaporkan, sejak tahun 2010 hingga 2022 tercatat ada sebanyak 12.553 anak berusia di bawah 14 tahun yang terinfeksi HIV di Indonesia. Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi, tidak semua anak yang terjangkit virus HIV sudah mendapatkan pengobatan.

“Dari 12 ribu anak, yang sudah mulai mendapat pengobatan baru sekitar 7.800 anak. Di mana, anak laki-laki lebih banyak terinfeksi HIV dibandingkan perempuan,” ujarnya pada acara temu media Hari AIDS Sedunia November 2022 lalu.

Stigma dan diskriminasi pada ODHA di Indonesia

Stigma dan diskriminasi pada penderita HIV/AIDS masih kerap terjadi di Indonesia. Adapun, stigma dan diskriminasi terkait HIV mencakup berbagai pengalaman stigmatisasi, seperti perilaku penghindaran, gosip, pelecehan verbal, dan penolakan sosial.

Menurut UNAIDS, diskriminasi dapat mencakup perilaku stigmatisasi di mana mereka membatasi hak, pelecehan fisik, penolakan layanan kesehatan atau sosial, penolakan atau kehilangan kesempatan kerja atau pendidikan, bahkan penangkapan. Ini juga dapat terjadi dalam hukum pidana, pembatasan perjalanan, dan pembatasan pekerjaan. Orang mungkin mengalami diskriminasi atau stigma interseksional dengan beberapa alasan, termasuk ras, disabilitas, dan status sosial ekonomi.

Berdasarkan jurnal ilmiah oleh Flauk dkk, terdapat sejumlah faktor yang mendorong atau melatar belakangi munculnya stigma HIV dan diskriminasi terhadap ODHA (orang dengan HIV/AIDS). Faktor-faktor ini mungkin termasuk kurangnya kesadaran atau pengetahuan tentang HIV, takut tertular infeksi HIV melalui kontak dengan ODHA, takut akan konsekuensi sosial, menyalahkan, stereotip, prasangka, dan norma-norma sosial budaya.

Tingginya stigma negatif terhadap ODHA di Indonesia turut menyulitkan upaya penanggulangan penyakit itu. Sebab, pasien yang terinfeksi HIV menjadi enggan untuk melakukan tes karena rasa takut dan malu terhadap stigma yang didapat dari orang-orang di sekitar.

Padahal, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung dr. Ira Dewi Jani menyebut, penularan virus HIV bukan hanya disebabkan oleh perilaku seks bebas atau penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif.

“Padahal, penularan HIV selain oleh faktor-faktor tersebut ada juga yang disebabkan oleh penularan dari ibu ke anak, atau pekerjaan seperti kami yang nakes ini kan juga sebetulnya berisiko,” ujarnya seperti yang dikutip dari Kompas.com.

Oleh sebab itu, Ira menekankan pentingnya menormalisasi tes HIV/AIDS di tengah masyarakat. menurutnya, pemeriksaan terkait HIV/AIDS seharusnya tidak menjadi hal yang tabu. Ia juga mengimbau masyarakat agar menjauhi stigma dan diskriminasi terhadap ODHA untuk memudahkan penanganan penularan penyakit tersebut.

“Jauhi stigma dan diskriminasi, hindari penyakitnya dan bukan orangnya. Karena, dengan menghilangkan stigma dan diskriminasi, maka akses layanan kesehatan akan lebih mudah,” paparnya.

Penanganan HIV di Indonesia

Melansir laman Kemenkes, penanganan kasus HIV di Indonesia dinilai cukup sulit karena tidak banyak pasien yang mau menjalani pengobatan dengan terapi antiretroviral (ARV). ARV dapat membantu ODHA untuk menjalani hidup yang lebih berkualitas, dan bisa mencegah risiko penularan ke orang sekitar.

Banyaknya pasien yang menolak pengobatan tersebut membuat banyak ODHA yang akhirnya meninggal dunia. Menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI, dr. Maxi Rein Rondonuwu, Indonesia sebaiknya mencontoh penanganan pencegahan HIV/AIDS di Thailand.

“Thailand itu yang sudah dilakukan yaitu edukasi ke masyarakat. Sudah aware di sana kan termasuk salah destinasi yang disukai, kemudian preventif di sana contohnya ada kondom, di sana sudah biasa dan ada dimana-mana. Jaringan komunitas di sana juga berperan penting sekali dalam penanggulangan HIV,” tuturnya.

Sementara, perempuan yang mengalami kekerasan disebut lebih rentan berisiko terkena HIV. Dinamika kekuatan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan ini menjadi faktor peningkatan kerentanan perempuan dan anak perempuan terhadap HIV. Maka dari itu, pemerintah mengajak seluruh masyarakat untuk mendukung kerja-kerja program penanggulangan HIV untuk memberantas risiko penularan terhadap para korban kekerasan.

Kemenkes memiliki tujuan untuk mengakhiri epidemi HIV pada tahun 2030 mendatang. Adapun, jalur cepat yang ditempuh Indonesia dalam menanggulangi penularan HIV adalah dengan mencapai target indikator sebesar 95 persen orang dengan HIV (ODHIV) untuk mengetahui status HIV-nya.

"Kemenkes RI berkomitmen mengakhiri endemi HIV 2030 dengan upaya melakukan skrining pada ibu hamil dan penguatan edukasi terkait kesehatan reproduksi kepada kelompok anak/remaja di sekolah, selain itu juga melibatkan kelompok agama atau organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk melakukan sosialisasi dan edukasi terkait dengan kesehatan reproduksi terhadap remaja di masjid ataupun di gereja. Tentu ini dimulai dari sendiri yakni komitmen diri sendiri untuk menolak, karena tidak ada cara lain untuk mencegah HIV.”

Penulis: Nada Naurah
Editor: Iip M Aditiya

Konten Terkait

Apa Pendapat Publik Soal Putusan MK Atas Sengketa Pemilu 2024?

Dalam beberapa survei, opini publik soal sengketa Pemilu 2024 menunjukkan keberagaman. Salah satu latar belakang yang berpengaruh adalah pilihan di Pemilu lalu.

Menormalisasi Skincare bagi Kaum Pria

Tidak hanya wanita, skincare dibutuhkan oleh semua kalangan, termasuk laki-laki. Bahkan penggunaan skincare justru lebih dibutuhkan oleh laki-laki.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

Dengan melakukan pendaftaran akun, saya menyetujui Aturan dan Kebijakan di GoodStats

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook
Student Diplomat Mobile
X