Tidak ada satupun negara di dunia yang menawarkan kehidupan sempurna. Setiap negara di dunia pasti tengah menghadapi permasalahan. Bahkan negara adidaya atau adikuasa yang mampu memberikan pengaruh di skala global pun, memiliki carut-marut di salah satu aspek kehidupan.
Amerika Serikat, negara maju sekaligus negara terkaya dalam hal total PDB, tengah mengalami rasisme yang mengakar kuat. Dalam laporan Paw Research Center, setidaknya 8 dari 10 warga kulit hitam di Amerika Serikat pernah mengalami diskriminasi karena ras dan etnis mereka. Bahkan, 15% di antaranya sering mengalami diskriminasi rasial.
“Survei itu, yang meliputi wawancara dengan 3.000 lebih warga kulit hitam Amerika di seluruh negeri yang dilakukan musim gugur lalu, menemukan bahwa 82 persen responden menganggap rasisme sebagai masalah utama bagi warga kulit hitam di Amerika Serikat,” tulis laporan tersebut, dikutip dari Antara, Rabu (15/11).
Akhir-akhir ini, setelah lengsernya Donald Trump yang disebut sebagai presiden paling rasis di Amerika Serikat, fokus pemerintah dan masyarakat terhadap isu ras dan ketaksetaraan rasial semakin meningkat. Meski demikian, peningkatan fokus tersebut belum menghasilkan perubahan yang dapat memperbaiki kehidupan warga kulit hitam.
“Temuan ini menandai perubahan yang pesimistik: Pada September 2020, mayoritas wargaa kulit hitam (56%) merasa perhatian yang lebih besar tentang isu ras dan kesetaraan menyusul protes pada musim panas yang dipicu oleh pembunuhan George Floyd akan mengarah pada perubahan yang memperbaiki kehidupan masyarakat kulit hitam,” imbuh laporan tersebut.
Pesimisme Generasi Muda di Bidang Politik dan Hukum Semakin Meningkat
Berbeda dengan Amerika Serikat yang memiliki permasalahan di bidang sosial, Indonesia justru pesimis dengan kondisi politik dan hukum yang dinilai “kurang bersih”. Skor optimisme masyarakat, khususnya generasi muda di bidang politik dan hukum hanya mencapai 5,72. Angka tersebut berada jauh di bawah rata-rata Indeks Optimisme sebesar 7,77.
Ini artinya, masyarakat Indonesia pesimis dengan kondisi dan kualitas politik dan hukum di negara yang disebut sebagai “Negara Hukum”.
Dalam Survei Optimisme Generasi Muda Indonesia 2023 yang merupakan hasil kolaborasi antara Good News From Indonesia (GNFI) bersama platform survei online Populix mengungkapkan, dari lima aspek: kebutuhan dasar, ekonomi dan kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, kehidupan sosial, serta politik dan hukum, indeks optimis tertinggi ada di aspek pendidikan dan kebudayaan. Sementara itu, indeks optimisme terendah ada di aspek politik dan hukum.
Indeks optimisme di bidang tersebut menunjukkan angka yang fluktuatif. Pada 2021 skor indeks optimisme mencapai 6,5, kemudian merosot tajam pada 2022 yang hanya 5,2, dan kemudian naik menjadi 5,72 pada 2023.
Lebih lanjut, dari tiga unsur di bidang politik dan hukum sebagaimana yang tercantum dalam statistik di atas, generasi muda Indonesia merasa sangat pesimis dengan kondisi berkurangnya korupsi di masa depan.
Dari 1.289 responden, hanya 38% di antaranya generasi muda Indonesia yakin terhadap perbaikan pada masalah korupsi. Sementara itu, anak muda yang optimis terhadap terciptanya masa depan pemerintahan yang bersih & transparan serta penegak hukum yang adil mencapai 45% responden.
Ini artinya masalah terbesar di Indonesia yang juga sulit untuk diperbaiki menurut anak muda ialah masalah korupsi. Perlu digarisbawahi, anak muda atau pemuda menurut Pasal 1 ayat 1 UU Kepemudaan ialah individu yang berusia 16 (enam belas) hingga 30 (tiga puluh tahun).
Bagaimana Kredibilitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?
Ketidakyakinan pemuda Indonesia terhadap berkurangnya kasus korupsi juga dibuktikan dengan laporan KPK yang menunjukkan sejak 2019, kasus korupsi di Indonesia selalu mengalami kenaikan. Pada 2022, tercatat ada 1.396 tersangka dan 579 kasus korupsi yang berhasil diungkap.
Kejaksaan Agung (Kejagung) menjadi lembaga penegak hukum yang paling banyak menangani korupsi pada 2022, dengan total 405 kasus dan 909 orang tersangka rasuah. Sebanyak 138 kasus korupsi dengan 307 tersangka ditangani oleh Polri. Sementara, hanya 36 kasus dengan 150 tersangka yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selain dari kuantitas kasus korupsi, kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap KPK mulai menurun sejak disahkannya Rancangan Revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) menjadi UU No 19 Tahun 2019. Padahal, rancangan tersebut telah mendapatkan penolakan dan kecaman dari berbagai pihak, baik dari pegiat anti korupsi maupun ahli dan akademisi.
Dalam beberapa pasal pada UU terbaru tersebut, fungsi dan kewenangan KPK dinilai semakin dilemahkan.
“Kita meminta pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan RUU KPK,” ujar Prof Koentjoro, Ketua Dewan Guru Besar UGM saat itu, mewakili sivitas akademika yang menolak pelemahan KPK saat membacakan pernyataan sikap pada Minggu (15/9/2020) di Balairung, Kampus UGM, dikutip dari Cegah Korupsi FEB UGM.
Selain itu, Bagir Manan, yang saat itu menjadi pemohon uji materi terhadap RUU juga menyoroti, proses pembentukan UU KPK mulai dari pembahasan hingga pengesahan hanya memerlukan 12 hari kerja yang dinilai tergesa-gesa.
"Ada ketergesa-gesaan, pembentuk UU kurang sekali merespons pendapat publik dan negara demokrasi, mengabaikan pendapat publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat digolongkan sebagai pelanggaran atas asas-asas umum peraturan perundang-undangan yang baik," ujar dia, yang juga mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) ini, dikutip dari CNN Indonesia, Rabu (15/11).
Penulis: Aslamatur Rizqiyah
Editor: Iip M Aditiya