Ketimpangan ekonomi di Indonesia bukanlah kisah baru, tetapi masih menjadi kenyataan yang menantang dari tahun ke tahun. Di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi yang kerap diklaim positif, distribusi pengeluaran penduduk masih menunjukkan celah besar antara kelompok kaya, menengah, dan miskin.
Laporan terbaru menunjukkan betapa timpangnya porsi konsumsi antarlapisan masyarakat. Sebagian besar pengeluaran masih didominasi oleh kelompok terkaya. Sementara itu, kelompok menengah, yang seharusnya menjadi pendorong utama ekonomi, justru mengalami penurunan tren konsumsi, seakan terjebak dalam pusaran ketidakpastian ekonomi. Di sisi lain, ketimpangan di wilayah perkotaan semakin mempertegas masalah struktural yang tak kunjung usai.
Sebagian Besar Uang Dinikmati Sedikit Orang
Dalam klasifikasi Bank Dunia yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk dikelompokkan ke dalam tiga kategori untuk melihat distribusi pengeluaran: 40% penduduk dengan pengeluaran terendah, 40% kelompok menengah, dan 20% penduduk terkaya.
Berdasarkan data BPS, 20% kelompok terkaya mendominasi porsi konsumsi nasional dengan kontribusi mencapai 45,91%. Angka ini begitu kontras jika dibandingkan dengan kelompok menengah yang hanya menyumbang sekitar 35,69% dari total pengeluaran, apalagi kelompok terbawah yang hanya mampu mengakses 18,40% dari porsi tersebut.
Data ini mengungkapkan realitas pahit bahwa sebagian besar komoditas dan layanan hanya dinikmati oleh segelintir orang, sementara kelompok lainnya harus puas dengan sisa-sisa yang terbatas.
Kelompok Menengah Makin Susah
Menteri Keuangan Sri Mulyani melalui akun Instagram-nya, menyatakan bahwa kelas menengah punya peran strategis untuk mendorong perekonomian. Ini memperkuat anggapan bahwa kelompok menengah merupakan tulang punggung ekonomi, mendorong roda konsumsi dan menjadi indikator stabilitas ekonomi nasional. Namun, tren distribusi pengeluaran menunjukkan hal yang mengkhawatirkan.
Pada tahun 2020, kelompok menengah menyumbang 36,78% dari total pengeluaran nasional. Angka tersebut perlahan menurun hingga mencapai titik terendah pada 2023, yaitu 35,25%, dan hanya mengalami sedikit kenaikan di tahun 2024 menjadi 35,69%.
Tren penurunan ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan dari tekanan ekonomi yang semakin berat dihadapi oleh kelompok menengah. Biaya hidup yang terus meningkat, inflasi yang merangkak naik, dan ketidakstabilan ekonomi global menjadi faktor utama yang menggerus daya beli mereka. Ditambah lagi, ketergantungan pada kredit dan utang untuk mempertahankan standar hidup membuat kelompok ini semakin rentan.
Ketimpangan Lebih Tinggi di Perkotaan
Di tengah keterpurukan kelompok menengah, ketimpangan di wilayah perkotaan turut menambah kompleksitas permasalahan. Rasio gini, yang digunakan BPS untuk mengukur ketimpangan pendapatan, menunjukkan bahwa ketimpangan di kota jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di desa.
Pada tahun 2024, rasio gini di perkotaan tercatat sebesar 0,399, sedangkan di perdesaan lebih rendah, yakni 0,306. Meskipun angka ini sedikit menurun dibandingkan tahun sebelumnya, ketimpangan di perkotaan masih sangat mencolok.
Pada 2023, rasio gini di perkotaan sempat mencapai 0,409, sementara di perdesaan hanya 0,313. Perbedaan ini mengindikasikan bahwa urbanisasi yang berlangsung cepat tidak diiringi dengan pemerataan akses ekonomi.
Banyak penduduk yang pindah ke kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, tetapi ekspektasi ini sering kali berakhir dengan kekecewaan. Biaya hidup yang tinggi, lonjakan harga properti, mahalnya biaya transportasi, serta kebutuhan dasar lainnya justru semakin membebani kelompok menengah dan bawah.
Kelompok atas, dengan akses yang lebih baik terhadap pekerjaan berkualitas dan sektor ekonomi formal, mampu menikmati keuntungan dari pertumbuhan ekonomi perkotaan. Sebaliknya, kelompok menengah dan bawah terjebak dalam ketimpangan struktural yang sulit diatasi.
Perhatian untuk Kelompok Menengah dan Penduduk Perkotaan
Ketimpangan konsumsi yang terjadi saat ini adalah cerminan realitas ekonomi Indonesia. Kelompok terkaya masih mendominasi, kelompok menengah terus tertekan, dan masyarakat perkotaan dihadapkan pada kesenjangan yang sulit diatasi.
Untuk mengatasi ketimpangan ini, diperlukan langkah-langkah konkret yang berfokus pada peningkatan kesejahteraan kelompok menengah dan penduduk perkotaan. Strategi seperti memberikan insentif ekonomi, memperluas akses pendidikan dan pelatihan vokasi, serta mendukung pertumbuhan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) harus menjadi prioritas. Selain itu, kebijakan yang berfokus pada penyediaan perumahan terjangkau dan akses layanan publik yang merata akan membantu mengurangi beban hidup di kota.
Dengan memberikan perhatian lebih pada kelompok menengah dan masyarakat perkotaan, konsumsi diharapkan dapat kembali meningkat secara merata dan berkelanjutan. Jika ketimpangan bisa dikurangi, kesejahteraan yang adil akan lebih mudah diwujudkan, bukan hanya bagi segelintir orang, tetapi bagi seluruh lapisan masyarakat.
Penulis: Aghnan Yarits Anggara
Editor: Editor