Para gubernur terpilih dari Pilkada Serentak 2024 resmi dilantik pada 20 Februari 2025, mengawali tugas mereka di berbagai daerah di Indonesia. Dalam 100 hari pertama pemerintahan, mereka mulai melaksanakan program-program yang mencakup janji kampanye serta kelanjutan dari kebijakan pendahulu, dengan fokus pada sektor ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Di Jawa Barat, kinerja gubernur mendapat sorotan karena tingkat kepuasan publik yang sangat tinggi berdasarkan survei terbaru.
Survei Indikator Politik Indonesia mengungkapkan bahwa 94,7% masyarakat Jawa Barat puas terhadap kinerja gubernur mereka dalam 100 hari pertama. Angka ini menjadikan Jawa Barat sebagai provinsi dengan tingkat kepuasan tertinggi di Pulau Jawa, jauh melampaui provinsi lain seperti Jakarta (60%), Jawa Tengah (62,5%), dan bahkan Daerah Istimewa Yogyakarta (83,8%).
Keberhasilan ini memunculkan pertanyaan tentang faktor-faktor yang mendorong tingkat kepuasan yang luar biasa ini. Menurut Prof. Burhanuddin Muhtadi, peneliti utama Indikator Politik Indonesia, ditemukan salah satu kunci utama yaitu kemampuan gubernur dalam memanfaatkan media sosial untuk mensosialisasikan kebijakan mereka.
“Faktor media dan media sosial sangat berperan. Gubernur Jawa Barat memiliki kemampuan positif dalam menggunakan platform seperti Facebook, YouTube, dan Instagram, yang meningkatkan awareness publik terhadap kebijakannya,” ujarnya pada acara peluncuran survei, Rabu (28/5/2025).
Baca Juga: Dedi Mulyadi Akan Jadikan Vasektomi sebagai Syarat Terima Bansos
Faktor Kepuasan Publik di Jawa Barat
Tingkat kepuasan 94,7% terhadap Gubernur Jawa Barat menunjukkan dominasi kategori “sangat puas” (41%) dan “cukup puas” (54%), dengan hanya 4% yang kurang puas dan 0% yang tidak puas sama sekali. Angka ini kontras dengan kepuasan terhadap wakil gubernur, yang hanya mencapai 61,3%, menunjukkan adanya kesenjangan persepsi antara gubernur dan wakilnya.
Salah satu aspek yang menjadi sorotan adalah kemampuan gubernur dalam menciptakan hubungan personal dengan masyarakat. Moch. Adam Kamil, Direktur Riset Indikator, menjelaskan bahwa pendekatan yang “menyentuh” secara personal, seperti kehadiran langsung di tengah masyarakat, menjadi faktor penting.
“Ketika pemimpin terlihat membela kepentingan masyarakat, terutama kelompok bawah, itu menciptakan sentuhan yang luar biasa,” katanya. Pendekatan ini tampaknya berhasil membangun ikatan emosional dengan warga.
Selain itu, sosialisasi kebijakan melalui media sosial menjadi pembeda utama. Dengan jumlah pengikut yang signifikan—12 juta di Facebook, 7 juta di YouTube, dan 3,5 juta di Instagram—gubernur Jawa Barat berhasil menciptakan “disrupsi” dalam komunikasi publik. “Dia bukan hanya pemimpin, tapi juga influencer yang mampu menyampaikan kebijakan dengan cara yang relevan bagi masyarakat,” tambah Prof. Burhanuddin.
Perbandingan dengan Provinsi Lain di Jawa
Di Pulau Jawa, survei Indikator Politik Indonesia membandingkan kepuasan publik terhadap kinerja gubernur di enam provinsi. Jawa Barat memimpin dengan 94,7%, diikuti oleh Yogyakarta (83,8%), Jawa Timur (75,3%), Jawa Tengah (62,5%), Jakarta (60%), dan Banten (50,8%). Kesenjangan ini menimbulkan pertanyaan mengapa Jawa Barat begitu unggul, sementara provinsi lain masih tertinggal dalam hal kepuasan publik.
Prof. Burhanuddin menjelaskan bahwa perbedaan ini tidak hanya terkait dengan kualitas kebijakan, tetapi juga efektivitas komunikasi.
“Gubernur di provinsi lain perlu meningkatkan speed dalam sosialisasi kebijakan agar publik tahu apa yang sudah dikerjakan,” ujarnya.
Di Jawa Barat, keberhasilan gubernur dalam memanfaatkan media sosial menciptakan efek perembesan, di mana kebijakan yang dipublikasikan tidak hanya dikenal di Jawa Barat, tetapi juga di wilayah lain.
Namun, ada catatan kritis terhadap provinsi dengan gubernur yang tidak dipilih melalui pemilu, seperti di Yogyakarta. Menurut Prof. Burhanuddin, kurangnya insentif elektoral dapat mengurangi motivasi untuk bekerja lebih keras.
“Tanpa kompetisi elektoral, insentif untuk bekerja secara maksimal cenderung lebih rendah,” katanya, menyoroti pentingnya demokrasi dalam mendorong kinerja pemimpin.
Implikasi Elektoral Menuju 2029
Tingginya kepuasan terhadap Gubernur Jawa Barat, yang dalam konteks ini merujuk pada Dedy Mulyadi (KDM), memunculkan spekulasi tentang potensinya sebagai kandidat presiden pada Pemilu 2029. Menurut Prof. Burhanuddin, tingkat approval rating yang tinggi memiliki implikasi elektoral karena publik cenderung memberikan “reward” kepada pemimpin yang dianggap berhasil. Namun, ia menegaskan bahwa masih terlalu dini untuk menyimpulkan potensi elektabilitas KDM di tingkat nasional.
Faktor populisme juga menjadi perbincangan. Meski beberapa kebijakan KDM, seperti program “cengkerik” untuk penerima bantuan sosial, tidak sepenuhnya populis, pendekatan personal dan keyakinan kuatnya dalam membuat kebijakan tampaknya resonan dengan masyarakat.
“KDM punya keyakinan bahwa dia tahu apa yang terbaik untuk warga, meski kadang kurang deliberatif,” ungkap Prof. Burhanuddin.
Di sisi lain, dinamika internal partai, khususnya Gerindra, juga mempengaruhi persepsi terhadap KDM. “Saat ini, KDM masih dianggap sebagai aset elektoral oleh elit Gerindra, tetapi situasi bisa berubah menjelang 2029,” kata Prof. Burhanuddin, menyoroti ketidakpastian politik di masa depan.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Evaluasi 100 hari ini menunjukkan bahwa motivasi elektoral menjadi pendorong utama kinerja gubernur. Prof. Burhanuddin menekankan bahwa insentif elektoral harus dilihat sebagai hal positif dalam demokrasi, karena mendorong kepala daerah untuk bekerja lebih keras demi memuaskan publik. Namun, ia juga mengingatkan bahwa ekspektasi publik perlu dikelola, mengingat 100 hari adalah waktu yang singkat untuk mewujudkan semua janji kampanye.
Tantangan bagi gubernur, terutama di provinsi lain, adalah beradaptasi dengan perubahan lanskap komunikasi.
“Politisi harus mengikuti perkembangan zaman, seperti memanfaatkan gadget dan media sosial, karena pemilih kini lebih banyak mencari informasi dari sana ketimbang tokoh tradisional,” ujar Prof. Burhanuddin.
Jawa Barat menjadi contoh bagaimana adaptasi terhadap teknologi dapat meningkatkan awareness dan kepuasan publik.
Ke depan, survei ini diharapkan memicu munculnya “local champion” di berbagai daerah, seperti KDM di Jawa Barat atau Shirley Laus di Maluku Utara.
“Kita ingin lebih banyak pilihan pemimpin berkualitas untuk 2029, dan survei ini bisa menjadi alat evaluasi agar kepala daerah tidak berleha-leha setelah terpilih,” tutup Prof. Burhanuddin.
Baca Juga: 'Akrobat' Dedi Mulyadi di Mata Warganet, Positif atau Negatif?
Penulis: Daffa Shiddiq Al-Fajri
Editor: Editor