Diabetes melitus (DM) menjadi penyakit tak menular (PTM) yang banyak diderita masyarakat. Melansir Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), diabetes merupakan penyakit kronis yang dapat memengaruhi bagaimana tubuh manusia dalam mengubah makanan menjadi energi.
Penyakit ini membuat tubuh kekurangan insulin atau tidak bisa digunakan sebagaimana mestinya. Ketika tidak ada cukup insulin atau sel berhenti merespons insulin, akan ada terlalu banyak gula darah di dalam aliran darah. Jika hal ini tidak segera ditangani, seiring waktu, itu dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius, seperti penyakit jantung, kehilangan penglihatan, hingga penyakit ginjal.
Terdapat tiga jenis diabetes, yakni diabetes tipe 1. Jenis ini diduga disebabkan oleh reaksi autoimun. Menurut CDC, sekitar 5-10 persen pasien yang menderita diabetes memiliki tipe ini. Adapun, diabetes tipe 1 biasanya didiagnosis pada pasien usia anak-anak, remaja, dan young adult.
Selanjutnya, ada diabetes tipe 2, di mana sekitar 90-95 persen penderita diabetes memiliki tipe 2. Ini berkembang selama bertahun-tahun dan biasanya didiagnosis pada orang dewasa (tetapi juga banyak ditemukan pada anak-anak dan remaja).
Jenis yang terakhir adalah diabetes gestasional, di mana tipe ini berkembang pada wanita hamil yang belum pernah menderita diabetes. Jika menderita diabetes gestasional, hal ini menjadi berisiko dengan kesehatan bayi. Diabetes gestasional biasanya akan hilang setelah bayi lahir, namun ini bisa meningkatkan risiko untuk terkena diabetes tipe 2.
Lalu, bagaimana kasus diabetes dan bagaimana proporsi kebiasaan konsumsi manis di Indonesia?
Prevalensi diabetes di Indonesia
Laporan dari Ikatan Dokter Anak di Indonesia (IDAI) mencatat, lonjakan prevalensi DM tipe-1 sebesar 70 kali lipat pada anak di bawah 18 tahun dari tahun 2010 ke 2023. Total pasien penderita diabetes sebanyak 1.645 orang yang tersebar di 13 kota, yakni Medan, Padang, Palembang, Bandung, Jakarta, Jogja, Solo, Semarang, Malang, Surabaya, Denpasar, Manado, dan Makassar.
“Pada tahun 2023, angkanya meningkat 70 kali lipat dibandingkan pada 2010 yang 0,028 per 100 ribu dan 0,004 per 100 ribu jiwa pada 2000,” tutur Muhammad Faizi selaku Ketua Unit Kerja Koordinasi Endokrinologi IDAI pada Rabu, (1/2) lalu.
Adapun, sebanyak 46,23 persen penderita diabetes berada pada rentang usia 10-14 tahun, sementara 31,05 persen lainnya berada di rentang 5-9 tahun, 19 persen berusia 0-4 tahun, kemudian 3 persen lainnya berusia lebih dari 14 tahun. Sedangkan, mayoritas penderita diabetes pada anak berjenis kelamin perempuan dengan persentase 59,3 persen dan sisanya laki-laki.
Mengutip laporan dari International Diabetes Federation (IDF), terdapat sebanyak 8,75 juta jiwa penderita diabetes tipe-1 di seluruh dunia pada tahun 2022. Seperlima atau 1,9 juta individu pengidap penyakit tersebut tinggal di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah hingga rendah.
Jika dilihat berdasarkan rentang usia pasien dari total populasi pengidap tipe-1 pada tahun 2022, sekitar 1,52 juta orang (17,0 persen) berusia di bawah 20 tahun, 5,56 juta (64,0 persen) lainnya berusia antara 20 dan 59 tahun, dan 1,67 juta (19,9 persen) pasien berusia 60 tahun atau lebih.
Sementara itu, Indonesia menempati urutan pertama dalam daftar negara dengan jumlah penderita diabetes tipe-1 terbanyak di wilayah Asia Tenggara pada tahun 2022. Menurut data IDF, jumlah pasien penderita diabetes tipe-1 di Indonesia mencapai 41,8 ribu jiwa.
Selain menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di ASEAN, angka tersebut juga mengantarkan Indonesia menduduki peringkat ke-34 dari total 204 negara di skala global.
Total penderita DM tipe-1 dalam rentang usia di bawah 20 tahun di Indonesia mencapai 13.311 jiwa. Adapun, Filipina menempati posisi kedua dengan jumlah pasien di bawah 20 tahun sebanyak 6.100 jiwa. Diikuti oleh Vietnam dan Myanmar dengan masing-masing penderita diabetes tipe-1 sebanyak 4.061 orang dan 2.569 orang.
Disusul oleh Thailand dengan pasien di bawah 20 tahun mencapai 2.196 orang, Malaysia dengan 1.490 orang, Kamboja dengan 874 orang, Singapura 564 orang, Laos dengan 412 orang, Timor Leste 86 orang, serta Brunei Darussalam dengan jumlah 19 orang.
Proporsi kebiasaan konsumsi makanan dan minuman manis di Indonesia
Berbeda dengan diabetes tipe-1, diabetes tipe-2 sangat erat kaitannya dengan pola makan. Piprim Yanuarso selaku Ketua Pengurus Pusat IDAI mengatakan, makanan yang tinggi gula, karbohidrat, tepung, dan minyak bisa menjadi cikal bakal penyakit diabetes tipe-2.
Apabila meninjau data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, konsumsi makanan manis di Indonesia paling banyak terdapat pada rentang usia muda, di mana semakin muda golongan usia maka akan semakin banyak mengonsumsi makanan manis.
Ini terlihat dari persentase kelompok usia 3-4 tahun yang mengonsumsi makanan dengan kadar gula tinggi sebanyak satu kali lebih per harinya dengan persentase mencapai 59,6 persen.
Tren serupa juga ditemui pada persentase dalam konsumsi minuman manis. Kelompok usia yang paling banyak mengonsumsi minuman manis adalah anak-anak rentang usia 3-4 tahun dengan persentase mencapai 68,6 persen.
Angka ini diikuti oleh kelompok usia 5-9 tahun dengan persentase mengonsumsi minuman kadar gula tinggi sebanyak satu kali atau lebih per harinya mencapai 66,5 persen. Disusul oleh kelompok usia 10-14 tahun dengan 61,9 persen dan kelompok usia 15-19 tahun dengan 56,4 persen.
Berdasarkan laporan dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), kopi instan merupakan jenis minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
Dari segi jumlah porsi, rata-rata konsumsi kopi instan di rumah tangga adalah 29 kemasan per bulan. Sedangkan, susu kental manis menjadi minuman yang paling sedikit dikonsumsi dengan jumlah rata-rata konsumsi 5 kemasan per bulan. Hal ini nyatanya juga dipengaruhi oleh harga, yang mana harga kopi instan lebih murah dibandingkan harga susu kental manis.
Sehubungan dengan ini, Piprim menyebut bahwa gula darah anak-anak ketika diberi makan/minum dengan kadar glycemic index yang tinggi akan cepat naik, kemudian turun drastis. Hal ini menyebabkan tingginya kadar insulin di dalam tubuh.
“Mereka lapar lagi craving, makan yang seperti itu lagi terus seperti itu, sehingga insulinnya akan diproduksi terus menerus. Insulinnya terus menerus tinggi kadarnya dalam darah, sehingga pankreas bekerja terlalu berlebihan,” paparnya.
Penulis: Nada Naurah
Editor: Iip M Aditiya