Isu boy crisis yang belakangan viral di China sebenarnya bukanlah fenomena baru. “Boy crisis” mengacu pada kinerja akademis anak laki-laki yang lebih rendah di sekolah dibandingkan dengan anak perempuan dalam konteks global.
Di Amerika Serikat, dikutip dari Atlantis Press, fenomena ini terlihat pada nilai yang lebih rendah di Penilaian Nasional Kemajuan Pendidikan Amerika, tingkat putus sekolah dan skorsing yang lebih tinggi, serta masalah perilaku dan kemampuan belajar. Kesimpulan ini diambil dari data yang menunjukkan perbandingan antara anak laki-laki dan anak perempuan, atau data historis kinerja anak laki-laki.
Secara ringkas, dikutip dari buku Save The Boys, krisis anak laki-laki di ranah publik mencakup empat aspek utama: (1) prestasi akademik anak laki-laki tertinggal dari anak perempuan; (2) kualitas kesehatan fisik anak laki-laki menurun dibandingkan sebelumnya; (3) kondisi psikologis anak laki-laki memprihatinkan dengan lebih banyak yang mencari pertolongan dibandingkan anak perempuan; (4) kemampuan adaptasi sosial anak laki-laki terbatas, menyebabkan keterlibatan lebih tinggi dalam kekerasan dan kriminalitas.
Ada anggapan lain bahwa krisis ini juga disebabkan karena jumlah tenaga pengajar. Di dalam sekolah tenaga pengajar didominasi oleh perempuan sehingga proses pengajaran di sekolah akan lebih menguntungkan siswa perempuan daripada laki-laki.
Boy Crisis di China
Performa laki-laki yang menurun dan timpang dibandingkan perempuan tercermin dalam beberapa data. Data ini termasuk partisipasi perempuan dalam pendidikan tinggi. Diperkirakan bahwa perempuan menyumbang 59% dari seluruh lulusan sarjana di dunia. Laki-laki memperoleh lebih sedikit gelar (perguruan tinggi komunitas, sarjana, magister, dan doktoral) dibandingkan perempuan di antara orang kulit putih dan kulit hitam.
Dalam hal prestasi, dikutip dari NCES, laki-laki berkinerja lebih buruk daripada perempuan dari pendidikan menengah hingga pendidikan tinggi. Sebanyak 41% anak laki-laki mendapatkan nilai A atau B di sekolah menengah pertama, sementara jumlah anak perempuan yang mendapat nilai serupa adalah 55%. Di universitas, 21% laki-laki memperoleh nilai A atau lebih tinggi, sementara jumlah perempuan adalah 28%.
Di China, National Bureau of Statistics of China menyebutkan terdapat lebih banyak perempuan yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi (51,2%) pada tahun 2022. Selain itu, menurut statistik Kementerian Pendidikan China, dikutip dari Atlantis Press, sejak 2009, kesenjangan jumlah mahasiswa laki-laki dan perempuan di perguruan tinggi reguler telah meningkat, dengan perempuan melampaui laki-laki untuk pertama kalinya (10.825.501 perempuan, 10.621.069 laki-laki, mencapai 50,48%). Data dari 2015 hingga 2019 menunjukkan peningkatan jumlah mahasiswa perempuan dari 13,71 juta menjadi 15,68 juta, sekitar 52% dari total populasi mahasiswa.
Krisis pendidikan anak laki-laki di China dipengaruhi oleh berbagai faktor struktural, budaya, dan sosial yang saling terkait. Kurikulum pendidikan yang terlalu berfokus pada ujian dan kemampuan akademis menjadi salah satu akar masalah. Sistem pendidikan K-12 di China, dikutip dari Sage Journals, lebih menekankan pada penguasaan teks dan keterampilan numerasi, sehingga memprioritaskan nilai ujian. Persaingan akademis yang ketat mendorong guru untuk menggunakan metode pengajaran berbasis latihan intensif, yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan belajar anak laki-laki, sehingga menurunkan kinerja mereka di sekolah.
Dominasi guru perempuan di pendidikan dasar juga berkontribusi. Sistem pengajaran yang dirancang oleh dan untuk perempuan cenderung menguntungkan siswa perempuan karena gaya belajar mereka yang lebih sesuai dengan pembelajaran kooperatif dan interaksi emosional. Sebaliknya, gaya belajar anak laki-laki yang sering melibatkan gerakan dan penggunaan ruang dianggap tidak sesuai, sehingga perilaku mereka kurang mendapat panduan yang memadai.
Ketidakseimbangan ini diperparah oleh stereotip terhadap maskulinitas, yang menyebabkan perilaku anak laki-laki sering kali salah ditangani. Dikutip dari Harian Yanzhao Metropolis, meskipun ada upaya untuk merekrut lebih banyak guru laki-laki demi menyeimbangkan gender, pasokan guru laki-laki berkualitas masih sangat terbatas.
One Child Policy juga memainkan peran signifikan dalam memperburuk situasi ini. Kebijakan tersebut menciptakan bias budaya yang memanjakan anak laki-laki, dengan harapan besar dari keluarga terhadap mereka. Akibatnya, banyak anak laki-laki tumbuh tanpa tekanan yang cukup untuk mengembangkan kemandirian dan tanggung jawab, yang akhirnya berdampak pada penurunan kinerja akademis mereka. Sebaliknya, anak perempuan sering kali harus menghadapi lebih banyak hambatan sosial dan budaya, yang memaksa mereka bekerja lebih keras untuk mencapai tingkat kesuksesan yang sama.
Selain itu, perkembangan media modern, terutama budaya populer yang diakses melalui berbagai platform, turut memengaruhi persepsi peran gender di kalangan generasi muda. Program bakat dan budaya idola sering kali melebih-lebihkan perilaku yang berbeda dari norma gender tradisional, yang dapat mengubah pandangan anak-anak dan remaja tentang maskulinitas dan femininitas.
Krisis pendidikan ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga memiliki konsekuensi luas bagi pembangunan nasional. Penurunan kinerja anak laki-laki dianggap dapat menghambat inovasi teknologi dan memperlemah daya saing ekonomi China di masa depan. Dalam konteks nasionalisme, krisis ini bertentangan dengan upaya China untuk membangun citra negara kuat dan modern.
Oleh karena itu, pendidikan dilihat sebagai alat strategis untuk membentuk maskulinitas generasi muda demi menjaga stabilitas sosial, mendorong inovasi, dan mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Tanggapan Pemerintah China terhadap Fenomena Boy Crisis dan Maskulinitas
Dikutip dari NBC News, fenomena boy crisis mendorong pemerintah China untuk mengubah sistem pendidikan dengan fokus pada "pengembangan maskulinitas" anak laki-laki. Kebijakan ini melibatkan perekrutan guru olahraga, pendidikan jasmani wajib, dan penelitian dampak budaya pop terhadap remaja.
Selain itu, diambil dari Vice, pemerintah melakukan sensor terhadap media, seperti menyamarkan gambar pria dengan atribut feminin, untuk memperkuat citra maskulinitas tradisional.
Kebijakan ini memicu pro dan kontra. Pendukungnya menilai langkah tersebut penting untuk memperkuat ketahanan nasional, sementara kritik menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi definisi maskulinitas. Di dalam Cambridge Journals disebutkan beberapa pihak menilai kebijakan ini bertujuan melestarikan peran laki-laki dalam struktur kekuasaan, sesuai tradisi China yang mengaitkan maskulinitas dengan status politik dan stabilitas nasional.
Langkah ini mencerminkan upaya pemerintah China mengendalikan narasi gender demi memperkuat citra nasional. Namun, urgensinya dipertanyakan, karena kebijakan tersebut dinilai menentang perubahan zaman, termasuk pergeseran definisi maskulinitas.
Pergeseran maskulinitas yang dihindari inilah yang kemudian membuat publik berpikir bahwa pemerintah hanya memberikan jalan untuk melanggengkan sistem patriarki dengan mempertahankan maskulinitas tradisional yang berpengaruh pada kesetaraan gender di China.
China masih menempati posisi 107 dari 140 negara dalam hal kesetaraan gender. Hal ini tentu saja menjadi tamparan keras bagi China dan bukti konkret bahwa memang betul pemerintah masih melanggengkan maskulinitas tradisional sebagai bentuk mempertahankan sistem patriarki dalam masyarakat.
Baca Juga: WEF: Kesetaraan Gender Indonesia 2024 Naik 4,88% dalam 19 Tahun
Penulis: Aurellia Angelie
Editor: Editor