Glencore, perusahaan perdagangan komoditas dan pertambangan terbesar di dunia, mengumumkan rencananya untuk melepas 49% sahamnya dalam Koniambo Nickel SAS (KNS), sebuah perusahaan nikel multinasional yang beroperasi di Kaledonia Baru.
Langkah ini diambil karena KNS sedang menghadapi tekanan keuangan yang signifikan, dan sebagai upaya untuk mengatasi situasi ini, produksi mereka akan dihentikan sementara selama enam bulan sambil mencari investor baru untuk menggantikan peran Glencore dalam bisnis KNS.
KNS sendiri merupakan hasil dari kolaborasi antara Glencore dan Society Miniere du Sud Pacifique SA (SMSP), dan telah menjadi salah satu pemain utama dalam industri nikel internasional. Namun, dengan kondisi pasar yang tidak menguntungkan, terutama dengan penurunan harga nikel hampir 50% dalam satu tahun terakhir, perusahaan ini menghadapi tantangan besar.
Penurunan harga ini disebabkan oleh kelebihan pasokan nikel yang diprediksi akan terus meningkat, ditambah dengan biaya produksi yang terus melonjak serta ketegangan politik yang meruncing di beberapa wilayah penghasil nikel.
Pemerintah Prancis turut menawarkan bantuan sebesar $200 juta atau sekitar 3,35 triliun rupiah untuk membantu KNS melewati masa sulit ini. Selain itu, ada spekulasi bahwa investor dari China juga tertarik untuk turut serta dalam restrukturisasi perusahaan ini. Namun, di sisi lain, persaingan di pasar nikel semakin sengit tentunya dengan banjirnya pasokan dari produsen nikel terbesar di dunia, yaitu Indonesia.
Meskipun langkah ini akan membawa dampak keuangan yang signifikan bagi Glencore, yang diperkirakan menghindari kerugian hingga $400 juta atau sekitar 6,24 triliun rupiah terhadap EBITDA mereka, langkah tersebut diharapkan dapat memberikan dorongan bagi bisnis KNS yang sedang terpuruk. Potensi penghematan tahunan yang mulai efektif pada 2025 juga menjadi faktor penting dalam strategi ini.
KNS bukanlah satu-satunya perusahaan nikel yang terdampak oleh kondisi pasar yang tidak menguntungkan ini. Perusahaan-perusahaan lain seperti Wyloo Metals Pty Ltd, BHP Group, dan First Quantum Minerals juga mengalami tekanan serupa dan bahkan beberapa di antaranya telah terpaksa menutup tambang nikel mereka sebagai bagian dari upaya restrukturisasi bisnis mereka. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan dalam industri nikel tidak hanya dirasakan oleh KNS, tetapi juga merata di seluruh sektor.
Penulis: Willy Yashilva
Editor: Iip M Aditiya