Fenomena Dinasti Politik di Indonesia

Dinasti politik dalam demokrasi terus menjadi perbincangan publik, tak hanya memiliki hubungan kekerabatan namun mereka termasuk dalam golongan elite ekonomi

Fenomena Dinasti Politik di Indonesia Presiden Jokowi bersama Gibran, Wali Kota Solo. (Sumber: SINDO.news)

Bukan lagi hal yang asing bahwa dinasti politik memang terjadi di Indonesia. Bisa dikatakan dinasti politik di Indonesia bukan sekadar fenomena, melainkan tradisi.

Tradisi dinasti politik ini merupakan dampak dari budaya feodalisme sebelum Indonesia menjadi negara kesatuan, masih berbentuk kerajaan yang menganut patrimonialisme, yaitu bentuk dominasi politik.

Contoh yang paling dekat dapat dilihat pada relasi keluarga. Bapak dalam keluarga dipandang sebagai pemilik kekuasaan dan pengambil keputusan utama, sementara anggota lain akan mengikutinya. Pada skala yang lebih luas, sosok “bapak” ini merujuk pada kaum elite politik yang ingin mempertahankan kekuasaannya.

Demokrasi yang Tak Lepas dari Dinasti Politik

Semenjak berakhirnya Orde Baru, Indonesia memulai pemerintahan era baru yang dikenal dengan reformasi. Reformasi dielu-elukan karena membawa ideologi yang selama ini terkekang, yaitu demokrasi. Pada masa Orde Baru, kekuasaan terpusat, ruang gerak dan berpendapat dibatasi, itu sebabnya demokrasi sangat diinginkan masyarakat.

Mempermasalahkan demokrasi tidak akan lepas dari dinasti politik yang bertolak belakang dengan prinsip reformasi. Dinasti politik dianggap sebagai dampak dari lemahnya lembaga partai dan tidak berjalannya fungsi partai politik.

Hal tersebut menimbulkan kecenderungan menguatnya kekerabatan dalam birokrasi yang kerap dikenal sebagai nepotisme. Pasalnya, “empu”-nya partai bisa saja lebih mengutamakan kerabatnya dibanding calon lain yang lebih kompeten.

Sejatinya, akan selalu ada dinasti politik dalam tubuh demokrasi Indonesia. Karena setiap warga Indonesia memiliki hak untuk mencalonkan diri bahkan sebagai presiden sekalipun, termasuk seseorang yang memiliki kerabat di pemerintahan.

Bisa dikatakan praktik dinasti politik adalah wujud dari aji mumpung atau privilege yang dimiliki seseorang. Hal ini dapat menyebabkan kekuasaan hanya berpusat pada keluarga (dinasti) tertentu.

Kepala Daerah Berdarah Milenial

Muda, kaya raya, dan berkuasa adalah gambaran milenial yang saat ini menjabat sebagai bupati atau wali kota. Mereka berusia di bawah 40 tahun, sebagian bahkan masih berusia 20-an tahun saat pertama kali terpilih dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada 2020.

Dalam catatan Katadata, terdapat 24 milenial yang berhasil memenangi pertarungan Pilkada 2020. Beberapa dari mereka bahkan telah terpilih untuk kali kedua. .

Mereka dinilai berbeda dari para politisi senior yang sudah nyaman menempati bangku kekuasaan. Politisi muda dianggap lebih relevan atau dekat dengan isu-isu yang menjadi perhatian para pemilih muda.

Sebagai contoh, Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka dan Wali Kota Medan Muhammad Bobby Afif Nasution (Bobby Nasution). Gibran adalah anak Presiden Joko Widodo, sementara Bobby adalah menantu sang presiden. Keduanya bergabung di PDI Perjuangan, partai politik yang juga “membesarkan” nama Jokowi.

Politisi muda dianggap lebih relevan atau dekat dengan isu-isu yang menjadi perhatian para pemilih muda. Apalagi berdasarkan hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), sekitar 56,5% dari daftar pemilih tetap Pemilu 2024 termasuk pemilih muda. Rinciannya, sebanyak 33,6% generasi milenial (27-41 tahun) dan 22,9% generasi Z (17-26 tahun).

Bukan Hanya Privilige Namun Termasuk dalam Elite Ekonomi

Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) 2022, kekayaan tertinggi dimiliki Wali Kota Medan Bobby Nasution sebesar Rp55,9 miliar. Sedangkan yang terendah dimiliki Bupati Dharmasraya Sutan Riska Tuanku Kerajaan sebesar Rp3,6 miliar. 

Jadi meskipun ada kepala daerah milenial yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan tokoh politik senior, tetapi mereka termasuk dalam golongan elite ekonomi. 

Bisnis memang menjadi sumber utama kekayaan kepala daerah milenial. Ini juga dilakoni Gibran Rakabuming, Bobby Nasution, serta Bupati Kediri Hanindhito Himawan Pramana. 

Bobby Nasution menempati posisi pertama sebagai kepala daerah yang memiliki harta kekayaan sangat fantastis mencapai Rp55,9 miliar. Bobby Nasution menjabat sebagai komisaris perusahaan properti Wirasena Citra Reswara. Perusahaan ini menangani proyek rumah subsidi pemerintah di Sukabumi, Jawa Barat.  Sementara Gibran memiliki kekayaan Rp26 miliar mempunyai beragam bisnis dari kuliner, jasa perawatan produk Apple, sampai aplikasi pencari kerja. 

Hanindhito Himawan Pramana yang memiliki kekayaan Rp21,9 miliar saat ini diketahui menjabat Komisaris Sigfox Indonesia, perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan internet of things (IoT). Dia juga menjadi komisaris di PT Idana Solusi Sejahtera, yang menaungi layanan pinjaman daring Cairin.

Penulis: Adel Andila Putri
Editor: Iip M Aditiya

Konten Terkait

Program Makan Siang Gratis Dapat Dukungan dari China, Indonesia Bukan Negara Pertama

Langkah ini tidak hanya mengatasi permasalahan gizi, tetapi juga menjadi bagian dari upaya global untuk memerangi kelaparan dan mendukung pendidikan.

Survei GoodStats: Benarkah Kesadaran Masyarakat Akan Isu Sampah Masih Rendah?

Survei GoodStats mengungkapkan bahwa 48,9% responden tercatat selalu buang sampah di tempatnya, 67,6% responden juga sudah inisiatif mengelola sampah mandiri.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook