Meski jarang diperhatikan, tinggi badan nyatanya memainkan peran signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, beberapa orang mungkin menganggap tinggi badan sebagai faktor penentu daya tarik fisik dalam hubungan. Selain itu, tinggi badan juga mampu memengaruhi persepsi diri dan bagaimana seseorang dilihat oleh orang lain dalam kehidupan bersosial.
Di luar hubungan personal, tinggi badan pun banyak dibicarakan ketika membahas kesehatan fisik, kesejahteraan hidup, peluang karier, hingga prestasi olahraga. Tinggi badan seseorang biasanya diturunkan secara genetik dari orang tua ke anak.
World Population Review merilis data mengenai tinggi badan penduduk dunia. Dengan merujuk pada tinggi anak laki-laki usia 19 tahun, rata-rata tinggi badan penduduk dunia adalah 171 sentimeter (cm). Belanda menjadi negara dengan penduduk tertinggi di dunia, yakni sekitar 183 cm. Sementara itu, Timor-Leste merupakan negara dengan rata-rata tinggi terendah, di angka 160 cm.
Melalui peta di atas, terlihat bahwa penduduk Eropa cenderung memiliki tubuh yang lebih tinggi dari kebanyakan masyarakat dunia. Sebaliknya, negara-negara di benua Asia biasanya memiliki tubuh yang lebih pendek. Ini pun sejalan dengan data tertinggi dan terendah global yang masing-masing berada di dua benua tersebut.
Beberapa faktor yang memengaruhi tinggi badan antara lain faktor genetik, gizi dan nutrisi pada masa kanak-kanak, serta kondisi kesehatan lain selama masa pertumbuhan.
Penduduk Eropa, terutama dari ras Kaukasia seperti Belanda, Skandinavia, dan Jerman, memiliki variasi genetik yang mendukung pertumbuhan tinggi tubuhnya. Penelitian membuktikan bahwa gen yang mengatur pertumbuhan tulang lebih aktif pada populasi Kaukasoid dibandingkan ras manusia lainnya.
Sebaliknya, penduduk Asia memiliki variasi genetik yang berbeda. Variasi genetik di Asia cenderung kurang mendukung hormon pertumbuhan dibandingkan yang ditemukan pada populasi Kaukasoid.
Selain genetik, faktor diet seimbang ala Eropa yang kaya protein dan kalsium, serta akses terhadap layanan kesehatan yang baik juga mendukung pertumbuhan fisik yang optimal ini. Berbeda dengan Asia yang masih bermasalah dengan gizi buruk dan stunting sehingga menghambat pertumbuhan fisik pada anak, nyaris tidak ada masalah gizi buruk di Eropa.
Peringkat Tinggi Badan Rata-Rata Negara ASEAN
Asia Tenggara secara khusus memiliki rata-rata tinggi badan yang lebih rendah dibandingkan negara Asia lain, dengan Timor-Leste yang juga dinobatkan sebagai negara terpendek di 2024.
Mengingat penduduk Asia Tenggara cenderung memiliki rumpun genetik serupa, perbedaan tinggi badan di wilayah ini nyatanya lebih disebabkan oleh faktor eksternal ketimbang genetik.
Faktor ekonomi negara dalam hal ini turut memainkan peran. Singapura dengan ekonominya yang kuat, memungkinkan akses yang lebih baik terhadap makanan bergizi dan perawatan kesehatan berkualitas. Sebaliknya, negara berkembang seperti Timor-Leste sering kali kesulitan memberikan akses gizi dan nutrisi yang merata pada penduduknya. Akibatnya, tidak semua anak di negara itu memiliki akses kesehatan yang terjamin.
Kombinasi dari faktor-faktor eksternal menyebabkan perbedaan yang signifikan dalam tinggi badan rata-rata antara penduduk di Asia Tenggara. Perbedaan tinggi badan rata-rata bukan hanya tentang fisik, tetapi juga mencerminkan perbedaan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Data ini mengingatkan sekali lagi pentingnya perhatian terhadap kesehatan dan gizi untuk pembangunan bangsa.
Indonesia sendiri berada di peringkat yang relatif rendah di ASEAN yakni urutan ke-7. Kendati demikian, kondisi tersebut dapat diperbaiki melalui upaya berkelanjutan. Pemerintah Indonesia telah berusaha meningkatkan gizi melalui perbekalan kesehatan bagi anak-anak, remaja, hingga ibu hamil.
Tapi, berjalannya program-program ini harus selalu diawasi agar bisa berlangsung optimal. Pada akhirnya, ukuran rata-rata tinggi badan penduduk akan mencerminkan tingkat kualitas kesehatan dan kesejahteraan masyarakat ke depannya.
Baca Juga: Terus Turun, Simak Angka Terkini Stunting Balita Indonesia
Penulis: Afra Hanifah Prasastisiwi
Editor: Editor