Di Indonesia, agama bukan sekadar identitas spiritual, melainkan juga identitas sosial dan politik. Dari KTP, akta nikah, hingga urusan administratif lainnya, warga negara diminta mencantumkan salah satu dari enam agama resmi yang diakui negara yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Namun bagaimana nasib mereka yang tidak percaya pada agama, atau bahkan menyebut diri sebagai ateis?
Tidak Ada Data Resmi Tentang Ateis di Indonesia, Bagaimana Mengukurnya?
Meskipun ateis nyata ada di Indonesia, sayangnya, hingga saat ini pemerintah belum pernah merilis data resmi mengenai keberadaan ateis. Tidak ada kolom “tanpa agama” yang diakui dalam dokumen administrasi dan survei nasional bahkan pemerintah sangat jarang menyinggung secara langsung tentang ateisme. Dengan kata lain, ateis di Indonesia adalah kelompok yang eksistensinya “terlihat namun tak diakui”.
Menurut data Kemendagri terbaru tahun 2025, terdapat sekitar 0,034% dari total penduduk Indonesia yang masuk dalam kategori “kepercayaan lain” di luar enam agama resmi. Dengan total populasi sekitar 286,693 juta jiwa, angka ini setara dengan sekitar 98.150 jiwa.
Laporan survei internasional Pew Research menyebutkan bahwa hanya sekitar 2% orang dewasa di Indonesia yang percaya bahwa seseorang bisa bermoral tanpa mempercayai Tuhan. Ini menunjukkan bahwa ateis adalah minoritas yang sangat kecil dan kerap dianggap berbeda dalam hal moralitas oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
Survei Pew lainnya, "The Global God Divide," menegaskan posisi Indonesia sebagai salah satu negara paling religius di dunia, dengan 96% responden menyatakan mempercayai Tuhan merupakan prasyarat utama untuk memiliki nilai moral baik. Hal ini menunjukkan ruang sosial bagi ateisme sangat terbatas dan mereka yang tidak beragama ditempatkan pada posisi yang terpinggirkan.
Jika memperhitungkan tren dan data yang ada, diperkirakan jumlah ateis di Indonesia berkisar antara 1-3% dari total penduduk nasional. Dengan jumlah penduduk sekitar 290 juta jiwa pada tahun 2025, ini berarti ada sekitar 2,9 juta hingga 8,7 juta orang Indonesia yang mungkin mengidentifikasi sebagai ateis.
Namun perlu ditekankan bahwa angka ini masih merupakan estimasi kasar yang didasarkan pada tren global dan survei terbatas, dan bukan angka pasti yang tercatat secara resmi. Namun demikian, estimasi tersebut memberikan gambaran bahwa ateis di Indonesia bukan fenomena yang hilang, tetapi merupakan sebuah kelompok yang ada meskipun jarang terlihat.
Bagaimana Peningkatan Jumlah Ateis di Indonesia dari Tahun ke Tahun?
Fenomena individu yang memilih "tanpa agama" atau religiously unaffiliated memang sedang meningkat secara global. Data Pew Research 2025 menunjukkan tren peningkatan jumlah orang di dunia yang melepas agama masa kecilnya, dengan pertumbuhan pesat di negara-negara Barat, terutama di kalangan generasi muda.
Namun di Indonesia, pola ini berjalan sangat lambat. DW Indonesia menulis bahwa mereka yang mengaku ateis seringkali memilih menjalani kehidupan ganda seperti berpura-pura mengikuti agama tertentu di ruang publik, tetapi diam-diam tidak menjalankannya dalam kehidupan pribadi. Strategi ini dianggap cara bertahan dari stigma, diskriminasi, bahkan ancaman yang mungkin muncul jika seseorang terlalu terbuka tentang pandangan ateistiknya.
Meski lambat, fenomena ini tetap menunjukkan adanya perubahan. Generasi muda yang lebih terhubung dengan informasi global cenderung lebih kritis terhadap otoritas agama dan membuka ruang diskusi tentang pilihan untuk tidak beragama. Namun sekali lagi, karena tidak ada data longitudinal resmi, sulit memastikan apakah jumlah ateis di Indonesia benar-benar meningkat signifikan dari tahun ke tahun, atau hanya semakin terlihat berkat media sosial dan akses informasi.
Status Hukum dan Pengakuan Negara terhadap Ateis
Dalam tataran hukum, Indonesia tidak mengakui ateisme sebagai identitas resmi. Kolom agama di KTP tidak menyediakan opsi “tidak beragama”. Bahkan, aturan lama sempat mewajibkan kolom tersebut harus diisi dengan salah satu agama yang diakui. Meski kini ada opsi untuk mengosongkan kolom, praktiknya masih menimbulkan kebingungan administratif.
Secara formal, ateisme tidak dianggap ilegal. Namun, ia berada dalam wilayah abu-abu. Pemerintah pernah menyatakan bahwa seseorang bebas memeluk atau tidak memeluk agama, asalkan tidak menyebarkan ajaran ateistik yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum. Dengan kata lain, ateis boleh ada, tapi tidak boleh tampak.
Di ranah sosial, situasinya jauh lebih kompleks. Artikel KBB.id menyoroti bahwa ateis seringkali dianggap ancaman oleh masyarakat beriman. Mereka rawan didiskriminasi, disalahpahami, bahkan dibungkam. Kasus-kasus di media sosial memperlihatkan bahwa mereka yang terang-terangan menyatakan diri ateis kerap menuai hujatan atau ancaman. Hal ini membuat banyak ateis memilih diam, menyembunyikan keyakinannya demi keamanan.
Kasus ateisme paling mencolok terjadi pada 2012, ketika seorang pegawai negeri sipil bernama Alexander Aan dijatuhi hukuman 30 bulan penjara atas tuduhan penistaan agama setelah membagikan konten ateis di Facebook. Ini menjadi contoh nyata bagaimana penyebaran paham ateisme dapat berhadapan dengan hukum.
Menurut Pasal 302 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru yang berlaku sejak 2023, setiap orang yang menghasut orang lain untuk tidak beragama dapat dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda. Meskipun ateisme sebagai paham tidak dikriminalisasi, penyebaran ide ateistik yang dianggap menghasut sangat dibatasi secara hukum
Ateis di Indonesia: Antara Ada dan Tiada
Kisah para ateis di Indonesia pada akhirnya adalah kisah jalan sunyi. Mereka hidup dalam masyarakat yang menempatkan agama sebagai syarat kewarganegaraan penuh, padahal Konstitusi sebenarnya menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Di atas kertas, ateisme memang tidak dilarang. Namun dalam praktik, ateis kerap harus bersembunyi.
Realitas ini memperlihatkan bahwa Indonesia adalah negara yang bangga dengan keragaman agama, namun belum siap mengakui keberadaan mereka yang memilih untuk tidak beragama. Selama stigma masih kuat dan kolom agama masih menjadi kewajiban administratif, jalan sunyi para ateis Indonesia kemungkinan besar akan tetap sama, sepi, tersembunyi, dan penuh risiko.
Baca juga: Inilah Agama dengan Persentase Penganut Tertinggi
Penulis: Emily Zakia
Editor: Muhammad Sholeh