Kepulan asap kendaraan bermotor bercampur dengan hiruk pikuk kesibukan di pagi hari. Belum lagi teriknya matahari yang nyaris membutakan, menambah beribu alasan lain untuk tidak menginjakkan kaki keluar rumah. Ditambah orang berdesak-desakkan di tempat umum, masing-masing berusaha secepat mungkin tiba di lokasi tujuan. Mungkin, itulah yang dialami oleh pekerja di kota-kota besar Indonesia, sebut saja Jakarta dan Tangerang Selatan.
Polusi Udara dan Kesehatan Mental
World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa sekitar 9 dari 10 orang dunia menghirup udara yang tercemar. Polusi udara ini juga diproyeksi mengakibatkan 7 juta jiwa meninggal tiap tahunnya. Tidak hanya itu, Air Quality Life Index (AQLI) turut menyebutkan bahwa usia harapan hidup penduduk Indonesia diperkirakan akan berkurang 2,5 tahun akibat polusi udara saat ini.
Meski begitu, tidak hanya kesehatan fisik, polusi udara yang berlebihan dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang. Penelitian dari jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America pada 2021 lalu menyebutkan bahwa polusi udara dapat mengakibatkan perubahan sirkuit otak pada mereka yang memiliki risiko genetik depresi.
Penelitian dilakukan pada 350 orang dewasa di Beijing, yang terkenal dengan polusi udaranya yang parah. Hasilnya, responden dengan risiko genetik depresi yang tinggi cenderung mengalami depresi apabila tinggal di daerah dengan tingkat polusi udara yang tinggi.
Untuk itu, tidak heran jika orang-orang yang tinggal di kota dengan polusi udara tinggi cenderung mengalami stres, bahkan dapat berujung pada depresi. Sudah kesehatan paru-paru terganggu, kesehatan mental juga turut kena imbasnya. Kurang apa coba?
Polusi Indonesia di Mata Dunia
Menurut laporan AQLI, Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang polusi udara global terbesar di dunia. Indonesia ditemani China, India, Pakistan, Bangladesh, dan Nigeria, menyumbang sekitar 75% dari total polusi udara global.
Laporan Indeks Kualitas Udara (AQI) turut menyampaikan hal serupa. Indonesia berada di urutan ke-14 negara dengan kualitas udara terburuk di dunia, menjadikannya yang tertinggi di Asia Tenggara. AQI memberi Indonesia skor sebesar 37,1, yang berarti kualitas udara di tanah air melampaui batas kualitas udara terbaik yang direkomendasikan WHO sebanyak 7-10 kali.
Kota paling berpolusi di Indonesia secara real-time dipegang oleh Jakarta dengan skor 140 dan Tangerang Selatan dengan 139. Sebaliknya, kota terbersih di Indonesia kini dipegang oleh Kota Palangkaraya dengan skor 44, Pekanbaru dengan 50, dan Pagak dengan 52.
Adapun pengelompokan nilainya adalah sebagai berikut.
- Skor 0-5 berarti selalu memenuhi acuan kualitas udara rekomendasi WHO.
- Skor 5,1-10 berarti pernah melampaui batas kualitas udara terbaik yang direkomendasikan WHO sebanyak 1-2 kali.
- Skor 10,1-15 berarti pernah melampaui batas kualitas udara terbaik yang direkomendasikan WHO sebanyak 2-3 kali.
- Skor 15,1-25 berarti pernah melampaui batas kualitas udara terbaik yang direkomendasikan WHO sebanyak 3-5 kali.
- Skor 25,1-35 berarti pernah melampaui batas kualitas udara terbaik yang direkomendasikan WHO sebanyak 5-7 kali.
- Skor 35,1-50 berarti pernah melampaui batas kualitas udara terbaik yang direkomendasikan WHO sebanyak 7-10 kali.
- Skor lebih dari 50,1 berarti pernah melampaui batas kualitas udara terbaik yang direkomendasikan WHO sebanyak lebih dari 10 kali.
Kota dengan Polusi Udara Terendah dan Tertinggi di ASEAN Ada di Indonesia
Sementara itu, IQAir turut mengungkapkan bahwa kota paling bebas polusi di Asia Tenggara di tahun 2023 berasal dari Indonesia, yakni Mamuju di Sulawesi Barat. Mamuju memperoleh skor AQI sebesar 3,7, menjadikannya kota terbersih di Asia Tenggara versi IQAir.
Posisi kedua masih berasal dari Indonesia, yakni Kupang dengan skor 4,6, disusul Tra Vinh di Vietnam (5,6), Bongawan di Malaysia (6,7), dan Ban Klang (8,1).
Dalam daftar 10 besar kota dengan polusi terendah di Asia Tenggara, Indonesia menyumbang total empat kota, yakni Mamuju, Kupang, Kendari, dan Indrapuri.
Sebaliknya, Tangerang Selatan menjadi kota dengan polusi udara tertinggi di Asia Tenggara, skornya mencapai 71,7, nyaris 20 kali lipat lebih tinggi dibanding skor Mamuju.
Meski sama-sama di Indonesia, nyatanya ketimpangan polusi udara ini masih dirasakan. Kota-kota metropolitan besar cenderung memiliki polusi udara yang tinggi, berbeda dengan kota-kota kecil yang suasananya masih asri.
Adanya perbedaan yang signifikan antara kedua kota ini seharusnya menjadi bahan kajian bagi pemerintah, apa yang bisa dilakukan untuk memperkecil jarak di antara keduanya. Jangan sampai polusi udara yang tinggi ini dibiarkan terus menerus, seolah sudah menjadi bagian dari peninggalan kota. Indonesia harus bisa berbenah untuk mencapai tingkat kebersihan yang lebih baik lagi.
Strategi Ekonomi untuk Minimasi Polusi
Terdapat dilema antara sektor ekonomi dan lingkungan, terutama di tanah air. Penggunaan batu bara yang murah membuat perekonomian bertumbuh signifikan, harga listrik semakin terjangkau.
Meski begitu, pembangkit listrik batu bara merupakan salah satu penyumbang polusi udara terbesar di Indonesia. Data International Energy Agency (IEA) menyebutkan bahwa 51% emisi CO2 di Indonesia dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga batu bara.
Masih agak sulit bagi Indonesia untuk beralih sepenuhnya ke penggunaan energi terbarukan. Menurut PLN, penggunaannya memang meningkat dari 11% di 2019 menjadi 14% di 2023. Namun, harganya yang relatif mahal, ketersediaannya yang kurang pasti, hingga efisiensinya yang masih rendah membuat rakyat tentu memilih menggunakan batu bara yang lebih murah dan efisien.
Lantas, strategi ekonomi apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi polusi udara? Mengutip laman Sekretariat Kabinet RI, berikut beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan.
- Tetap menggunakan batu bara, namun dalam jangka pendek. Keterjangkauan listrik untuk penduduk Indonesia masih menjadi isu utama.
- Menerapkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon untuk meminimasi emisi CO2 dari batu bara.
- Mendorong inovasi energi terbarukan dalam jangka panjang. Pemerintah dapat memberi insentif untuk investor energi terbarukan di Indonesia. Insentif dapat berupa infrastruktur hingga skema pembiayaan yang rendah.
- Lakukan sosialisasi terhadap masyarakat terkait trade-off antara biaya tinggi energi terbarukan dengan dampak positifnya terhadap polusi udara.
- Subsidi terhadap transportasi massal, tidak hanya untuk kendaraan listrik saja. Sektor transportasi menyumbang 24% dari total emisi CO2 di Indonesia. Subsidi transportasi umum dapat membantu mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan berujung pada berkurangnya emisi dan polusi udara.
Pada akhirnya, selalu ada yang harus dikorbankan untuk memulai perubahan. Indonesia tidak bisa terus diam dalam keterpurukannya, memandang polusi udara sebagai hal yang lumrah. Perlu adanya inisiatif dari masyarakat, sedikit demi sedikit, untuk membangun Indonesia yang bebas dari kepulan asap dan polusi udara. Prosesnya memang panjang dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun kembali lagi, memang ada yang lebih penting dibanding kesehatan dan kesejahteraan penduduk Indonesia?
Baca Juga: Dari Sekian Kota Besar Dunia, Udara Jakarta Paling Berpolusi
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor