Udara merupakan salah satu faktor abiotik paling penting dalam keberlangsungan makhluk hidup. Udara mengandung banyak senyawa yang berbentuk gas, salah satunya adalah oksigen. Sekitar 20 persen gas oksigen terkandung dalam atmosfer di bumi, yang mana sangat penting bagi kehidupan.
Pencemaran atau polusi udara adalah masuknya unsur-unsur yang berbahaya ke dalam udara menjadi salah satu kerusakan lingkungan. Menurut laporan dari Energy Policy Institute at the University of Chicago (EPIC), menghirup udara yang tercemar dalam jangka waktu yang lama jauh lebih berbahaya daripada dampak yang ditimbulkan oleh rokok atau mengonsumsi minuman beralkohol.
Diketahui bahwa polusi udara dapat mengurangi rata-rata 2,2 tahun harapan hidup tiap orang secara global. Angka ini lebih tinggi dari angka harapan hidup yang dikurangi oleh rokok dan alkohol atau narkotika, yaitu masing-masing sekitar 1,9 tahun dan 8 bulan. Butuh waktu selama 17 miliar tahun untuk mengurangi polusi udara dan memenuhi pedoman kesehatan internasional.
Polusi udara sangat berbahaya karena tidak mungkin untuk dihindari, terutama bagi orang-orang yang tinggal di lokasi tercemar. Polusi udara dapat mempengaruhi semua orang dengan skala lebih besar daripada kondisi lain sebab semua orang harus menghirup udara.
Bahan pencemar udara bisa masuk ke tubuh melalui tiga cara, yaitu inhalasi (masuknya bahan pencemar melalui saluran pernapasan), ingetasi (masuknya bahan pencemar ke saluran pencernaan), serta penetrasi kulit (masuknya bahan pencemar ke pori-pori kulit).
Menurut World Health Organization (WHO), polusi udara dapat menyebabkan stroke, penyakit jantung, kanker paru-paru, serta penyakit pernapasan lainnya. Bahkan, kematian akibat polusi udara mencapai tujuh juta kasus per tahunnya.
Tahun lalu, WHO merevisi panduannya mengenai tingkat polusi udara yang dapat diterima dan dihirup karena meningkatnya risiko kesehatan. Sebelumnya, batas yang direkomendasikan adalah 10 mikrogram/m³ direvisi menjadi 5 mikrogram/m³. Sementara itu, sekitar 97 persen populasi di dunia tinggal di wilayah-wilayah yang polusi udaranya melebihi tingkat yang direkomendasikan.
Adapun, mengutip situs perusahaan teknologi kualitas udara IQAir, terdapat beberapa negara di dunia yang memiliki kualitas udara terbaik berdasarkan konsentrasi PM2.5 rata-rata tahunan (μg/m³). Berikut ini adalah data grafik di tahun 2021.
Kaledonia Baru tercatat sebagai negara dengan indeks kualitas udara (Air Quality Index/AQI) dan konsentrasi PM2.5 terbaik di dunia pada tahun 2021. AQI negara tersebut ada di angka 16 secara rata-rata tahunan dan dengan konsentrasi PM2.5 sebesar 3,8 mikrogram/m³. Sementara itu, di urutan kedua ada Kepulauan Virginia dengan AQI di angka 19 dan konsentrasi PM2.5 sebesar 4,5 mikrogram/m³.
Mengutip Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), konsentrasi polutan Partikulat Matter (PM) 2.5 merupakan partikel udara dengan ukuran yang lebih kecil dari 2.5 mikron (mikrometer). PM 2.5 bisa menjadi pertanda bahaya karena dapat memicu gangguan pernapasan.
Bagaimana dengan kualitas udara di Indonesia?
Menurut situs IQAir, Jakarta menjadi wilayah dengan indeks kualitas udara paling buruk di dunia sejak Rabu, (15/6) pagi. Indeks kalitas udara di Jakarta tercatat di angka 160 dengan level tidak sehat per Kamis, (16/6) pada jam 9.30 WIB.
Indeks kualitas udara dibagi menjadi enam kategori. Masing-masing kategori sesuai dengan tingkat masalah kesehatan yang ditimbulkan, sebagai berikut.
Indeks | Kategori |
0-50 | Bagus |
51-100 | Sedang |
101-150 | Tidak sehat untuk kelompok rentan/sensitif |
151-200 | Tidak sehat |
201-300 | Sangat tidak sehat |
>301 | Berbahaya |
Adapun, berdasarkan data di tahun 2021, Indonesia menjadi negara di Asia Tenggara dengan indeks kualitas udara rata-rata tahunan paling buruk. Konsentrasi PM2.5 di tahun 2021 tercatat mencapai 34,3 mikrogram/m³.
Meski Indonesia memiliki konsentrasi PM2.5 paling besar di Asia Tenggara, namun kualitas udara di Tanah Air pada tahun 2021 masih lebih baik atau PM2.5 yang dihasilkan turun sebesar 16 persen dibanding tahun sebelumnya. Konsentrasi PM2.5 di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 40,7 mikrogram/m³.
Sementara itu, dari laporan IQAir, konsentrasi PM2.5 di Jakarta saat ini adalah 17 kali nilai pedoman kualitas udara tahunan oleh WHO dengan angka 70 mikrogram/m³ per Kamis, (16/6) pukul 9.30 WIB.
Sumber pencemaran udara terbanyak di DKI Jakarta berasal dari transportasi. Selain itu, ada juga sumber polutan lain yang berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara, pembakaran sampah, hingga aktivitas industri.
Melansir Kompas.com, Humas Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Yogi Ikhwan menjelaskan alasan udara di Jakarta tidak sehat pada Rabu, (15/6) kemarin. Menurutnya, berdasarkan data dari Stasiun Pemantauan Kualitas Udara (SPKU) sejak dini hari kemarin, kelembapan udara di Jakarta sangat tinggi, sedangkan suhu udaranya rendah. Akibatnya, polutan pencemar udara terakumulasi di lapisan troposfer.
"Maka, akan terlihat kondisi kualitas udara seperti kabut, didukung juga dengan cuaca yang mendung," ujarnya.
Penulis: Nada Naurah
Editor: Editor