Di Indonesia, setiap penyandang disabilitas memiliki hak-hak yang telah diatur dalam undang-undang khusus guna mengurangi diskriminasi akibat keterbatasan yang mereka alami. Adapun hak untuk penyandang disabilitas diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas). UU tersebut dicetuskan dengan tujuan agar setiap penyandang disabilitas dapat hidup dan menikmati akses layaknya orang biasa tanpa dibatas-batasi, terutama oleh keadaan.
Beberapa hak dari penyandang disabilitas adalah hak kesetaraan,, hak aksesibilitas, hak untuk hidup, hak atas kebebasan dari kekerasan, dan hak peningkatan kesadaran. Pada akhirnya, penyandang disabilitas wajib memperoleh akses yang sama seperti orang lain, entah itu terhadap layanan kesehatan, sistem pendidikan yang layak, hingga kesetaraan.
Di Indonesia, guna menunjang akses pendidikan yang layak bagi anak penyandang disabilitas, pemerintah telah menyiapkan sekolah inklusi dan sekolah luar biasa (SLB). Sekolah inklusi memperlakukan anak berkebutuhan khusus sama dengan anak-anak lainnya, dengan pembelajaran dan lingkungan yang sama. Dengan demikian, tidak ada perlakuan khusus bagi anak-anak penyandang disabilitas. Sementara itu, SLB menyediakan sistem pendidikan yang dikhususkan bagi penyandang disabilitas, mulai dari kompetensi guru, struktur bangunan, dan lain sebagainya, semuanya disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan setiap anak.
Dengan adanya sekolah inklusi dan SLB, diharapkan akses pendidikan terhadap anak penyandang disabilitas dapat terus ditingkatkan. Setiap anak berkebutuhan khusus dapat diterima di sekolah umum maupun menempuh pendidikan di SLB. Sayangnya, banyak anak disabilitas Indonesia yang tidak melanjutkan pendidikan.
Menurut laporan Statistik Pendidikan 2024 dari Badan Pusat Statistik (BPS), anak penyandang disabilitas lebih banyak yang keluar dari sekolah (out of school children) ketimbang anak-anak nondisabilitas.
Lebih rinci, 19,48% anak disabilitas usia 7-12 tahun tidak melanjutkan sekolah, 41,9% dari kelompok usia 13-15 tahun, dan 69,24% dari usia 16-18 tahun.
Sementara itu, untuk anak nondisabilitas, proporsinya tercatat lebih rendah, yakni 0,57% untuk usia 7-12 tahun, 6,11% untuk usia 13-15 tahun, dan 18,87% untuk kelompok 16-18 tahun.
Lebih lanjut, berdasarkan jenis kelaminnya, maka terdapat 0,76% laki-laki di kelompok usia 7-12 tahun yang tidak sekolah, 7,49% dari kelompok 13-15 tahun, dan 21,51% dari usia 16-18 tahun. Untuk perempuan, maka terdapat 0,57% anak usia 7-12 tahun yang tidak sekolah, 5,20% usia 13-15 tahun, dan 16,83% usia 16-18 tahun.
Peningkatan inklusivitas menjadi hal yang penting untuk mengayomi seluruh anak disabilitas agar bisa memperoleh hak pendidikan yang setara dengan anak nondisabilitas. Komisi Nasional Disabilitas (KND) menyebutkan bahwa akses pendidikan masih minim bagi penyandang disabilitas di Indonesia, yang mendorong perlunya kolaborasi lintas kementerian dan lembaga untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang inklusif.
Menurut Komisioner KND Dante Rigmalia, hanya sekitar 4% penyandang disabilitas yang mendapat layanan pendidikan formal.
“Dari data BPS tahun 2022 itu, artinya masih banyak sekali yang usia sekolah, tapi tidak sekolah. Nah, kami sangat berharap yang belum sekolah ini dipetakan kebutuhan pendidikannya lewat kolaborasi berbagai pihak, utamanya inisiasi dari Kemendikbudristek untuk menjangkau mereka,” tutur Dante pada Jumat (22/3/2024), mengutip Antara.
Ia menekankan agar stigma negatif terhadap penyandang disabilitas segera dihilangkan, terutama dari keluarga inti yang harusnya memberi dukungan dan bukannya merasa malu serta cenderung menyembunyikan anak penyandang disabilitas. Perlu adanya edukasi dan peningkatan kesadaran bahwa penyandang disabilitas berhak mendapat akses yang sama tanpa adanya diskriminasi dengan nondisabilitas.
Baca Juga: Kualifikasi Pengalaman dan Pendidikan Jadi Hambatan Utama dalam Mencari Kerja
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor