Hari Populasi Sedunia diperingati pada 11 Juli tiap tahunnya. Peringatan ini dimulai pada 1990, ditetapkan oleh Dewan Program Pembangunan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memusatkan perhatian pada pentingnya isu kependudukan.
Peringatan Hari Populasi Sedunia tahun ini bertepatan dengan 30 tahun Program Aksi International Conference on Population and Development (ICPD). Program ini mendukung hak masyarakat untuk memperoleh kesehatan seksual dan reproduksi sebagai untuk landasan pembangunan berkelanjutan. Salah satu aspek penting yang dibahas adalah terkait angka kematian ibu di dunia.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres menyebut bahwa angka kematian ibu turun 34% sejak 2000. Akan tetapi, kemajuan ini belum stabil dan belum merata.
Di era modern ini, ada sekitar 800 perempuan meninggal setiap hari, dalam keadaan hamil atau melahirkan. Ironi ini lebih banyak terjadi di negara berkembang.
Saat ini, Indonesia menjadi negara keempat dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, hingga pertengahan 2024, penduduk Indonesia telah mencapai 281,6 juta jiwa. Meskipun begitu, laju pertumbuhan penduduk Indonesia berada di angka 1,11 dan merupakan yang terendah sejak tahun 1970-an.
Secara global, India memimpin jumlah penduduk terbanyak, yaitu mencapai 1.441.719.852 jiwa. Posisi kedua diisi oleh China dengan 1.425.178.782 jiwa, lalu disusul Amerika Serikat pada posisi ketiga dengan 341.814.420 jiwa.
Lalu, Apa Masalah Kependudukan di Indonesia?
PBB melalui peringatan Hari Populasi Sedunia, menekankan empat poin Sustainable Development Goals (SDGs), yakni kehidupan sehat dan sejahtera, kesetaraan gender, berkurangnya kesenjangan, dan kemitraan untuk mencapai tujuan.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, kematian ibu menjadi salah satu aspek yang perlu diperhatikan, terutama terkait dengan poin kehidupan sehat dan sejahtera. Pada 2023, Maternal Perinatal Death Notification Kementerian Kesehatan mencatat 4.129 kematian ibu. Sementara itu, kematian bayi mencapai 29.945 jiwa.
Sebagian besar faktor kematian bayi disebabkan oleh berat lahir rendah atau prematuritas dan asfiksia. Bayi yang dilahirkan kurang dari 37 minggu atau yang memiliki berat badan di bawah 2,5 kilogram, cenderung mengalami prematuritas.
Persoalan tersebut juga dialami secara global, di mana UNICEF menyebut ada sekitar 15 juta bayi di dunia yang lahir prematur setiap tahunnya.
Tidak hanya isu kematian ibu dan bayi, penting pula untuk memperhatikan isu kelahiran bayi di Indonesia. Proporsi perempuan usia subur yang melahirkan anak hidup (dalam dua tahun terakhir) tanpa fasilitas kesehatan mencapai skor 0,126. Sementara itu, proporsi perempuan usia subur yang melahirkan anak pertama di usia lebih dari 20 tahun mencapai skor 0,258. Semakin mendekati angka nol, maka semakin baik situasinya.
Selain masalah kematian ibu, ketimpangan gender juga masih terjadi di Indonesia. Indeks Ketimpangan Gender 2023 di Indonesia berada di angka 0,447 dari 1, nilai yang masih cukup rendah. Terdapat 20 provinsi yang memperoleh skor di atas skor nasional, dan 14 provinsi dengan skor di bawah angka nasional.
Terbukti, dimensi pemberdayaan menunjukkan ada 42,62% laki-laki dan 37,60% perempuan Indonesia usia 25 tahun ke yang tamat SMA. Angka tersebut menunjukkan selisih yang cukup tipis. Akan tetapi, pada aspek keterlibatan di legislatif, angkanya sangat jauh, yaitu 22,14% perempuan dan 77,86% laki-laki.
Terakhir, berdasarkan tingkat partisipasi angkatan kerja, terdapat 84,26% dari total laki-laki usia produktif dan baru ada 54,52% dari total perempuan usia produktif.
Baca Juga: Ketimpangan Gender Indonesia Makin Tipis, Kesetaraan di Depan Mata
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Editor