10 Nama Marga Batak Terbanyak di Indonesia 2025, Ada Margamu?

Siregar jadi marga Batak yang paling banyak ditemukan di Indonesia, dengan jumlah mencapai 313,5 ribu orang. Dari 422 penduduk, 1 di antaranya bermarga Siregar.

10 Nama Marga Batak Terbanyak di Indonesia 2025, Ada Margamu? Ilustrasi masyarat Batak di Pulau Samosir, Danau Toba, Provinsi Sumatra Utara | Lenisecalleja/Shutterstock
Ukuran Fon:

Dalam budaya Batak, marga adalah nama keluarga atau garis keturunan patrilineal (dari ayah) yang menandakan asal-usul seseorang. Marga berfungsi sebagai identitas sosial, penanda hubungan kekerabatan, serta pengingat silsilah leluhur. Setiap marga memiliki sejarah dan peran adat yang khas di antara berbagai subetnis Batak.

Berdasarkan data Forebears, Siregar menempati urutan pertama sebagai marga Batak dengan jumlah terbanyak di Indonesia. Terdapat 313,5 ribu orang yang bermarga Siregar, menjadikannya sebagai salah satu marga yang paling populer. Marga ini berasal dari Batak Toba, salah satu subetnis terbesar dalam rumpun Batak yang banyak tersebar di wilayah Tapanuli dan sekitar Danau Toba.

Siregar memimpin daftar nama marga Batak terpopuler di Indonesia, dengan jumlah 313,5 ribu orang
Siregar memimpin daftar nama marga Batak terpopuler di Indonesia, dengan jumlah 313,5 ribu orang | GoodStats

Masih dari Batak Toba, posisi kedua ditempati oleh Sinaga dengan jumlah 221,9 ribu orang. Sementara itu, peringkat ketiga diduduki marga khas asal Batak Mandailing, yaitu Lubis dengan jumlah 211,6 ribu penduduk Indonesia.

Berikutnya, Nasution menempati posisi keempat dengan 203,3 ribu orang, diikuti Harahap dengan total sebanyak 184,2 orang. Kedua marga ini juga berasal dari Batak Mandailing yang dikenal luas di kawasan selatan Sumatra Utara dan banyak mendiami wilayah Mandailing Natal hingga Padang Lawas.

Adapun Purba asal Batak Simalungun menyusul di bangku keenam dalam pemeringkatan marga Batak paling banyak di Indonesia dengan jumlah 182,6 ribu orang. Sementara itu, marga Ginting dari subetnis Batak Karo yang menempati dataran tinggi Karo, menyusul dengan total 157 ribu orang.

Kembali ke Batak Toba, posisi kedelapan diduduki Simanjuntak dengan angka 151,4 ribu penduduk. Hasibuan dari Batak Mandailing bertengger di bangku selanjutnya dengan jumlah 139,1 ribu orang.

Pemeringkatan ditutup oleh Sihombing sebagai marga asal Batak Toba, kian menguatkan posisi subetnis ini dengan jumlah penduduk sebesar 125,7 ribu orang.

Secara keseluruhan, marga-marga dari Batak Toba dan Mandailing mendominasi daftar ini. Kedua subetnis ini masing-masing menyumbangkan empat marganya dalam daftar, dengan rincian Siregar, Sinaga, Simanjuntak, dan Sihombing untuk marga asal Batak Toba, serta Lubis, Nasution, Harahap, dan Hasibuan sebagai marga asal Batak Mandailing.

Sedangkan, Batak Simalungun dan Batak Karo masing-masing hanya berhasil memasukkan satu marganya dalam daftar marga Batak yang populer ini, yaitu secara berturut-turut Purba dan Ginting.

Apa Marga Batak yang Paling Langka?

Hutagaol menjadi marga Batak dengan jumlah penduduk yang paling sedikit, hanya 17,2 ribu orang di Indonesia, disusul oleh Sinambela dan Hutauruk yang masing-masing berjumlah 17,5 ribu penduduk. Meski ketiganya berasal dari Batak Toba, data ini menunjukkan bahwa persebaran marganya kini cenderung terbatas.

10 nama marga Batak terlangka di Indonesia, dari Hutagaol (17,2 ribu orang) hingga Sihite (20,8 ribu orang)
10 nama marga Batak terlangka di Indonesia, dari Hutagaol (17,2 ribu orang) hingga Sihite (20,8 ribu orang) | GoodStats

Bangku selanjutnya ditempati oleh Pandiangan dan Simanungkalit yang juga masih berasal dari Batak Toba dengan jumlah penduduk yang sama, yaitu 18,4 ribu orang.

Girsang dari Batak Simalungun berada di peringkat keenam sebagai nama marga Batak yang paling langka di Indonesia dengan angka 18,6 ribu penduduk, disusul Dalimunthe asal Batak Mandailing dengan jumlah 19,1 ribu orang.

Tiga bangku terakhir diduduki oleh marga asal Batak Toba. Pangaribuan dan Sidabutar mengisi bangku kedelapan dan kesembilan dengan jumlah penduduk masing-masing 20,1 ribu orang dan 20,3 ribu orang. Sihite berada di posisi terakhir dengan angka 20,8 ribu orang.

Tantangan Menjaga Warisan Marga

Kini, cara masyarakat Batak menampilkan identitas dan mempertahankan pewarisan marga menghadapi tantangan. Riset dari Universitas Palangka Raya (UPR) mengungkapkan beberapa faktor yang memengaruhi fenomena ini.

Studi kasus dalam penelitian yang menyoroti masyarakat Batak yang hidup di Kota Palangka Raya ini menunjukkan banyaknya perantau dari suku Batak di berbagai wilayah Indonesia, menyebabkan generasi penerus kerap tumbuh di lingkungan multikultural. Hal ini mengakibatkan marga tidak lagi menjadi identitas utama dalam interaksi sosial.

Selain itu, perkawinan lintas etnis atau lintas marga juga turut berperan. Dalam perkawinan semacam ini, pewarisan marga tidak diterapkan dengan ketat, terutama bila pasangan hidup di luar komunitas Batak atau memilih sistem penamaan modern tanpa embel-embel marga.

Faktor urbanisasi memperkuat perubahan tersebut. Di kota-kota besar, identitas individu sering kali lebih dikaitkan dengan profesi atau gaya hidup daripada asal-usul etnis. Hal ini menjadikan penggunaan marga kurang menonjol dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara itu, asimilasi budaya pun membentuk masyarakat Batak untuk beradaptasi dengan norma dan kebiasaan daerah tempat tinggalnya, misalnya generasi muda yang lahir dari keluarga campuran tidak lagi memahami makna mendalam di balik sistem marga.

Dalam upaya menjaga kelestarian marga dan identitas kekerabatan, masyarakat Batak kerap mempertahankan tradisi pernikahan pariban, yaitu pernikahan antara anak laki-laki dengan anak perempuan dari pihak tulang (saudara laki-laki dari ibu).

Menurut penelitian berjudul Pernikahan Pariban dalam Menjaga Tradisi Identitas Sosial dan Budaya Suku Batak dari Universitas Surabaya (Ubaya), pernikahan pariban memiliki peran penting dalam menjaga identitas sosial dan budaya masyarakat Batak.

Dari sisi sosial, praktik ini menegaskan posisi individu dalam struktur kekerabatan dan memperkuat hubungan antar kelompok melalui sistem Dalihan Na Tolu yang menjadi dasar tatanan sosial masyarakat Batak.

Sementara dari sisi budaya, pernikahan pariban berfungsi sebagai sarana pelestarian nilai, norma, dan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Prosesi adat yang menyertai pernikahan ini menjadi media pewarisan simbol dan makna budaya, sekaligus memperkuat rasa kebersamaan dalam komunitas Batak.

Dengan demikian, pernikahan pariban turut dimaknai sebagai mekanisme sosial dan budaya yang menjaga keberlangsungan identitas masyarakat Batak di tengah arus perubahan zaman.

Setiap marga menjadi bagian penting dari kekayaan identitas Batak. Dengan sejarah dan legendanya masing-masing, keberadaannya sebagai warisan budaya patut dilestarikan agar tidak hilang ditelan zaman.

Baca Juga: 10 Lagu Batak Terpopuler dengan Jumlah Views Terbanyak di YouTube

Sumber:

https://forebears.io/indonesia/surnames

https://jurnal.stkipbima.ac.id/index.php/ES/article/view/3267

https://jurnal.ranahresearch.com/index.php/R2J/article/view/1850

Penulis: Shahibah A
Editor: Editor

Konten Terkait

Daftar Gereja Terbesar di Indonesia, Ada yang Bisa Tampung Puluhan Ribu Jemaat

Gereja Bethany di Surabaya menjadi gereja terbesar di Indonesia, dengan kapasitas hingga 35.000 jemaat.

Gelombang 4 Meter Ancam Sejumlah Perairan, BMKG Imbau Waspada Area Pelayaran

BMKG memantau GRANT kategori 1, gelombang 1,25–4 meter di pesisir selatan Indonesia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook