Kesehatan mental bukanlah topik yang dibuat secara sengaja atau mengada untuk mendramatisir keadaan. Sama seperti meningkatnya jenis penyakit dan persentase manusia yang terkena penyakit fisik, fenomena mengenai gangguan mental memang nyata dan mulai memperlihatkan angka yang memprihatinkan.
Saat ini, angka populasi dunia yang berjuang melawan penyakit mental mencapai 970 juta orang. Dari angka tersebut, sebanyak 284 populasi dunia mengalami gangguan kecemasan, sedangkan sekitar 264 juta orang atau lebih dari 7% populasi usia dewasa mengalami depresi.
Sebuah survei pada 2015 menunjukkan jumlah penderita kecemasan terbesar berada di wilayah Asia Tenggara dan Amerika. Namun, angka kasus depresi tertinggi terjadi pada populasi di Asia Tenggara dan Pasifik Barat.
Sayangnya, sebagian orang memilih melakukan bunuh diri untuk mengakhiri penderitaan tersebut. Sebuah fakta terbaru menunjukkan, bunuh diri menjadi penyebab kematian keempat terbesar pada kelompok usia 15-29 tahun.
Selain dengan cara mengakhiri hidup, sebagian besar orang lebih memilih untuk tetap bertahan dan menjangkau layanan profesional. Meski kemungkinan kecil penyakit mental dapat disembuhkan, konsumsi obat antidepresan yang diresepkan oleh dokter mungkin dapat lebih membantu.
Negara dengan Konsumsi Anti Depresan Tertinggi di Eropa
Gangguan mental, terutama depresi sangat memengaruhi kehidupan seseorang. Seseorang dapat merasakan gejala-gejala, seperti lelah, sedih, cemas, gangguan selera makan, hingga sulit tidur. Penggunaan antidepresan menjadi hal yang sangat krusial untuk membantu menurunkan gejala-gejala tersebut.
Data dari Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang menghimpun tingkat konsumsi antidepresan di Eropa menunjukkan, negara Islandia memiliki angka konsumsi antidepresan yang cukup tinggi. Konsumsi obat-obatan AD per 1.000 orang perhari mencapai 153 Daily Define Dose (DDD) di negara tersebut.
Negara Islandia merupakan negara paling bahagia kedua di dunia pada tahun 2020 menurut Laporan Kebahagiaan Dunia. Akan tetapi, konsumsi antidepresan di negara tersebut lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain di Eropa.
Ini artinya, tingkat kebahagiaan tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan tingkat depresi Seseorang. Data di negara-negara Eropa tidak menunjukkan bahwa semakin bahagia seseorang, semakin sedikit pula mereka mengonsumsi antidepresan.
Akan tetapi, tingkat konsumsi antidepresan di suatu negara juga tidak sepenuhnya menjadi gambaran akurat mengenai tingkat depresi. Sebab, tingkat konsumsi antidepresan di suatu negara berkorelasi antara tingkat depresi, stigma masyarakat, kemampuan masyarakat menjangkau layanan profesional, hingga ketersediaan obat-obatan yang dibutuhkan.
Misalnya di Korea Selatan, sebuah data menunjukkan negara tersebut memiliki tingkat konsumsi antidepresan yang cukup rendah. Akan tetapi, angka bunuh diri di Negeri Gingseng justru lebih tinggi.
Di Indonesia, merujuk pada data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.
Riskesdas 2019 lebih lanjut mengungkap, hanya 9 persen masyarakat Indonesia dengan gangguan depresi yang mencari bantuan untuk mengatasi kesehatan mentalnya.
Sementara itu, penggunaan antidepresan di Jerman meningkat 46% hanya dalam empat tahun. Sedangkan di Spanyol dan Portugal, konsumsi antidepresan meningkat sekitar 20% pada periode yang sama.
Menurut tinjauan penelitian mengenai depresi di negara-negara Nordik , penyebab penggunaan antidepresan yang sangat tinggi di Islandia adalah efektivitas obat tersebut yang dirasakan penggunanya, juga akibat dari terbatasnya akses terhadap pengobatan alternatif seperti psikoterapi.
Oleh karena itu, tinjauan tersebut juga mencatat, "peningkatan konsumsi antidepresan telah memicu perdebatan yang sedang berlangsung apakah antidepresan diresepkan secara berlebihan (medikalisasi) atau kurang diresepkan (akses yang buruk terhadap pengobatan),” dikutip dari Business Insider .
Penulis: Aslamatur Rizqiyah
Editor: Iip M Aditiya