SETARA Institute for Democracy and Peace kembali merilis Laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2021 pada (30/3) lalu. Laporan ini menjadi rilisan yang kelima sejak sebelumnya pernah merilis indeks yang sama pada tahun 2015, 2017, 2018, dan 2020.
Dalam rilisnya, Laporan IKT 2021 berusaha untuk memberikan baseline dan status kinerja pemerintah kota dalam mengelola kerukunan, toleransi, wawasan kebangsaan, dan inklusi sosial. Lebih lanjut, laporan ini dapat memberikan gambaran untuk masyarakat dan dunia mengenai kondisi toleransi 94 kota di Indonesia.
Alat ukur penilaian indeks kota toleran ini diambil dari empat variabel topik, yakni perihal regulasi pemerintah kota, tindakan pemerintah, regulasi sosial, dan demografi agama.
Kemudian, empat variabel tersebut diperinci lagi menjadi delapan indikator dengan proporsinya masing-masing, antara lain rencana pembangunan, kebijakan diskriminatif, peristiwa intoleransi, dinamika masyarakat sipil, pernyataan publik pemerintah kota, tindakan nyata pemerintah kota, heterogenitas agama, dan inklusi sosial keagamaan.
Ketentuan scoring dalam kajian ini menggunakan rentang 1-7. Selain itu, kajian ini menggunakan teknik triangulasi sumber, hasil self-assessment pemerintah kota melalui kuesioner, serta pertemuan serial para ahli untuk menjamin validitas data.
Dari indikator tersebut, Kota Singkawang memiliki nilai skor akhir tertinggi di antara 93 kota lain di Indonesia, yakni 6,48. Kota ini berhasil naik satu peringkat dari indeks tahun 2020 yang berada di posisi kedua.
Posisi kedua kota paling toleran di Indonesia diisi oleh Manado dengan skor akhir 6,40, diikuti oleh Salatiga dan Kupang dengan skor masing-masing 6,37 dan 6,34. Sementara itu, Kota Tomohon berada di posisi kelima dengan skor akhir 6,18.
Posisi keenam hingga kesepuluh dihuni oleh Magelang (6,12), Ambon (5,90), Bekasi (5,83), Surakarta (5,78), dan Kediri (5,73). Rerata skor indeks kota toleran tahun 2021 berada di skor tertinggi dibandingkan empat rilisan sebelumnya, yakni 5,24.
Objek kajian ini mengambil sampel 94 kota dari total 98 kota di Indonesia karena empat kota di Provinsi DKI Jakarta digabungkan menjadi satu penilaian. Hal ini karena kota-kota tersebut tidak memiliki kewenangan penuh untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan, sehingga lebih valid apabila dinilai secara menyeluruh.
Selain itu, pemilihan kota sebagai objek kajian mempertimbangkan komposisi penduduk perkotaan yang dinilai lebih heterogen ketimbang kabupaten, serta menimbang efektivitas dan efisiensi penilitian.
Penulis: Raihan Hasya
Editor: Iip M Aditiya