Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat penurunan kasus pidana atas perburuan atau perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar di Indonesia. Dalam catatan tersebut, penurunan berlangsung hingga 2022 setelah terjadi kenaikan angka pada 2019.
Berdasarkan laporan International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) Red List Index, Indonesia memperoleh nilai 0,75 pada 2022. Secara keseluruhan, risiko kepunahan spesies di Indonesia tergolong rendah.
Indeks tersebut diukur dalam rentang nilai 0-1, dimana nilai 0 artinya risiko kepunahan sangat tinggi, bahkan artinya sudah punah. Mendekati angka 1, artinya risiko kepunahan semakin rendah. Meskipun Indonesia tergolong berisiko rendah, kondisi ke depannya sangat bergantung pada program konservasi yang diterapkan.
IUCN Red List Index juga menyusun spesies prioritas yang kondisinya membutuhkan perhatian. Terdapat 25 spesies di Indonesia yang termasuk dalam daftar tersebut, diantaranya Harimau Sumatera, Gajah Sumatera, Badak, Banteng, Jalak Bali, Macan Tutul Jawa, Kasturi Tengkuk Ungu, dan Penyu.
Dalam hasil pantauan yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2019, terlihat peningkatan populasi yang signifikan pada beberapa spesies di daftar tersebut. Peningkatan signifikan tersebut dialami oleh Owa, Orangutan, Bekantan, dan Kakaktua.
Sementara itu, sejumlah penurunan signifikan juga terjadi pada beberapa spesies, diantaranya Komodo dan Maleo. Lebih ironis, dalam daftar tersebut, Kanguru Pohon alami penurunan dari 10 ekor menjadi 2 ekor saja.
Dalam Laporan Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tahun 2023, terdapat dua tantangan utama dalam mempertahankan keanekaragaman hayati di Indonesia. Pertama, perburuan ilegal atas satwa yang dilindungi. Kedua, perubahan vegetasi yang menjadi ekosistem satwa untuk hidup dan berkembang biak.
Tak hanya diperjualbelikan secara utuh, seringkali satwa liar juga hanya dimanfaatkan beberapa bagian tubuhnya. Salah satu kasusnya terjadi pada 2023 lalu.
KLHK menangkap sindikat perdagangan satwa ilegal di Kalimantan Barat dan menyita 57 kg sisik trenggiling (Manis javanica) yang hendak dijual. Berbekal laporan awal dari masyarakat, Tim Gakkum KLHK menangkap tiga pelaku dalam waktu dan tempat terpisah.
Ketiga pelaku dijerat Pasal 21 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Akibatnya, pelaku harus dipidana hukuman penjara selama 5 tahun dan denda senilai 100 juta rupiah.
Kasus ini juga berkaitan dengan jual beli sisik trenggiling di Kalimantan Selatan. Barang buktinya mencapai 360 kg sisik trenggiling. Untuk mengumpulkan 1 kg sisik, membutuhkan sekitar 4 ekor trenggiling. Oleh karena itu, lebih dari 200 ekor trenggiling harus hilang dari alamnya.
Tak hanya itu, kerugian material juga muncul akibat hal ini. Dalam kasus jual beli sisik trenggiling, kerugian material diperkirakan mencapai sekitar Rp84,36 Miliar. Penegakkan hukum tak hanya menjaga keanekaragaman hayati, namun sekaligus berperan untuk kepentingan ekologi, sosial, ekonomi, serta kesejahteraan masyarakat.
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Iip M Aditiya